SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (9/5/2018). Esai ini karya Hakiman, dosen di Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah hakiman.iman@gtmail.com<strong>.<br /></strong></p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO–</strong>Buruh dipersepsikan sebagai seseorang yang bekerja untuk orang lain di tempat atau instansi tertentu dengan menerima imbalan atau upah atas jerih payahnya. Imbalan atau upah disebut juga dengan gaji. Orang yang bekerja akan mendapatkan gaji berapa pun nilainya dan apa pun pekerjaannya.</p><p>Tenaga pendidik seperti guru dan dosen mendapat gaji, baik dari pemerintah atau dari yayasan. Beberapa waktu lalu di media sosial ada konten yang menjadi <em>viral</em>, yaitu unggahan slip gaji guru fikih yang nilainya membuat saya mengelus dada. Gaji yang diterima hanya Rp35.000.</p><p>Gaji ini tidak sebanding dengan perjuangan untuk mendapatkan ijazah S1. Nasib Guru honorer memang sangat memilukan. Mereka dituntut memenuhi kewajiban dengan maksimal, tapi hak-hak mereka kurang dipenuhi. Guru honorer di sekolah negeri, selain harus mau berjuang dan mengabdi, juga mengalami kesenjanagan sosial dengan guru-guru yang statusnya pegawai negeri.</p><p>Guru honorer di sekolah swasta pun mengalami nasib yang tidak jauh berbeda, walaupun sekolah swasta yang kaya bisa ditekan oleh pemerintah untuk memerhatikan kesejahteraan guru. Secara ekonomi guru honorer dan guru swasta termarginalkan, baik oleh pemerintah maupun oleh yayasan tempat mereka mengabdi.</p><p>Guru honorer sampai sekarang dalam posisi <em>hopeless</em> (tanpa pengharapan). Situasi buruk yang dialami guru honorer dan guru swasta merupakan akibat dari saling lemparnya tanggung jawab antara pemerintah dan yayasan. Pemerintah menganggap guru swasta merupakan tanggung jawab pengusaha sekolah.</p><p>Yayasan pengelola sekolah ketika mendirikan sekolahan harus bertang jawab terhadap kesejahteraan guru. Sebaliknya, yayasan berdalih hanya membantu pemerintah dalam pemerataan pendidikan dan membantu mencerdaskan masyarakat. Oleh sebab itu pemerintah diharapkan memerhatikan orang-orang yang telah membantu mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut.</p><p>Sedikit sekali sekolah swasta yang memerhatikan kesejahteraan guru. Sekolah swasta sebagai komoditas industri pendidikan hanya dijadikan ajang meraup keuntungan oleh jajaran pimpinan&nbsp; yayasan. Guru swasta seperti buruh yang terkadang mengemis jam pengajaran. Nasib guru honorer di sekolah negeri tergantung budi baik kepala sekolah.</p><p>Terkadang guru honorer di sekolah negeri juga dimanfaatkan oleh guru berstatus pegawai negeri dan senior untuk menggantikan peran dia. Sekolah seharusnya mengajarkan tentang kebenaran, keadilan sosial, dan solidaritas. Pada praktiknya masih banyak yang berlawanan dengan yang seharusnya diajarkan.</p><p>Tidak sedikit guru honorer atau guru swasta yang bekerja sampingan seperti buruh Gojek, buruh menjahit, buruh &nbsp;bimbingan belajar, dan lainnya. Mereka tidak peduli dengan status pekerjaan tambahan itu, yang penting halal. Pada masa Orde Baru, para guru berstatus pegawai negeri memang sangat termarginalkan dalam kehidupan masyarakat, tetapi sejak reformasi, secara ekonomi mereka mengalami perbaikan.</p><p>Perbaikan terutama terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Nasib guru berstatus pegawai negeri kini tak lagi seperti Oemar Bakri karena mereka mendapatkan kehidupan yang layak. Kebijakan sertifikasi guru yang diterapkan pada 2005 lalu telah mengangkat status sosial guru menjadi meningkat signifikan.</p><p>Adanya sertifikasi guru membuat guru honorer dan guru swasta sedikit bernapas lega karena ada harapan akan mendapatkan pendapatan tambahan, tetapi untuk mendapatkan tunjangan profesi guru (dengan lulus sertifikasi) mereka diribetkan oleh administrasi seperti masa kerja dan surat keterangan dari yayasan.</p><p>Mereka harus mengantre dan bersabar untuk mendapatkan tunjangan profesi guru. Tunjangan profesi guru juga tidak dapat dirasakan oleh seluruh guru karena ada ketentuan masa khususnya guru yang statusnya guru honorer dan guru swasta. Buruh guru honorer selalu diberi angin segar melalui janji politik dengan diiming-imingi akan diangkat menjadi pegawai negeri.</p><p>Janji pemerintah mengangakat gunur honorer menjadi pegawia negeri pada akhirnya sirna ditelan bumi. Harapan guru honorer dan swasta untuk hidup sejahtera dari profesi mulia ini hanya mimpi belaka. Pada 2018 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi setelah bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan pemeirntah akan mengangkat guru honorer menjadi pegawia&nbsp; negeri.</p><p>Berita ini merupakan angin surga bagi para buruh guru honorer. Kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi pegawai negeri kalau terealisasi juga tidak akan dinikmati oleh semua guru honorer dan guru swasta karena syarat administrasi calon pegawai negeri sipil maksimal berumur 35 tahun.</p><p><strong>Tak Berarti</strong></p><p>Kebijakan ini tidak akan pernah berarti bagi guru honorer dan guru swasta kalau pemerintah tidak merevisi syarat administrasi tersebut. Guru honorer dan guru swasta yang sudah mengabdi bertahun-tahun selamanya akan menjadi buruh pendidikan yang selalu meratapi nasib.</p><p>Mmereka tidak dapat berdemonstrasi menuntut kenaikan upah minimum seperti buruh lainnya. Buruh guru honorer dan guru swasta hanya dapat mengadukan nasib melalui untaian doa kepada Tuhan. Mereka tidak bisa menuntut kepada siapa pun kecuali kepada yang memberikan takdir hidup.</p><p>Belum ada titik terang urusan nasib buruh guru honorer dan guru swasta, para pemangku kepentingan urusan pendidikan dikejutkan dengan berita dari Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang akan mendatangkan 200 dosen asing ke Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini.</p><p>Para dosen asing akan mendapatkan gaji US$3.000 hingga US$5.000 atau setara dengan Rp39 juta hingga Rp65 juta per bulan. Pemerintah lebih menghargai dosen asing daripada dosen pribumi dengan menggaji dosen asing beberapa kali lipat, padahal kita melihat seorang dosen di Universitas Islam Negeri di Sumatra Utara, Sumiyati, menjadi buruh Gojek untuk membayar kuliah doktornya.</p><p>Kondisi ini membuktikan bahwa gaji dosen belum mampu mencukupi kebutuhan studi. Demi karier akademis, seorang perempuan berumur 50 tahun mencari tambahan penghasilan demi menyelesaikan kuliah. Semoga nasib buruh pendidikan Indonesia menjadi lebih baik.</p><p>&nbsp;</p><p align="center">&nbsp;</p>

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya