SOLOPOS.COM - Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten, Rabu (11/3/2020). (Antara-Fauzan)

Solopos.com, JAKARTA -- Nasib para pekerja informal dan banyak buruh kian rentan karena terus bekerja di tengah ancaman pandemi virus corona. Banyak buruh yang tak mungkin bekerja dari rumah, slogan yang dianjurkan pemerintah.

Tatkala pegawai kantoran di DKI Jakarta mulai bekerja dari rumah untuk mengantisipasi virus corona Covid-19, para buruh masih harus terus bekerja. Mereka masih berdesakan di pabrik, berkeliling kota membawa antaran, dan bertemu banyak orang setiap hari.

Promosi Klaster Usaha Rumput Laut Kampung Pogo, UMKM Binaan BRI di Sulawesi Selatan

Mereka rentan terpapar virus corona karena tak bisa mengisolasi diri selama pandemi. Sayangnya kesehatan sebagian besar buruh garmen, kurir, dan pegawai restoran itu tidak ditanggung pemberi kerja.

Nasib buruh di tengah pandemi corona kian terancam. Pilihan mereka kini terbatas, antara bekerja keluar rumah demi tetap berpenghasilan atau mengkarantina diri tapi menganggur di rumah.

Ekspedisi Mudik 2024

Tak ada keramaian orang yang setiap hari biasa terlihat di Sarinah, Jakarta. Pada jam pulang kantor, antrean nyaris selalu mengular di setiap restoran cepat saji di pusat perbelanjaan tersebut.

Namun 23 Maret 2020 lalu, saat lebih dari separuh penderita virus corona Indonesia terdeteksi di Jakarta, Sarinah sepi dan gelap. Hanya tampak para kurir makanan cepat saji yang menunggu pesanan matang sebelum mereka membelah jalanan ibu kota menuju rumah para pelanggan.

Kurir Makanan

Dede, salah satu kurir itu, mengaku cemas tetap beraktivitas di luar rumah. Meski begitu, ia lebih khawatir tak memberi nafkah keluarganya ketimbang tertular virus corona dari salah satu pelanggannya. Seperti nasib banyak buruh di tengah pandemi corona, Dede tak mungkin bekerja dari rumah.

"Saya ada rasa takut, tapi kalau tidak masuk kerja, saya enggak digaji. Kurir digaji per jumlah antaran. Kalau antaran banyak, gaji lumayan besar, kalau sepi ya gaji kecil," ujar Dede yang dikutip Suara.com dari BBC Indonesia, Selasa (24/3/2020).

"Jadi mau enggak mau saya tetap kerja, anak-istri enggak makan kalau saya enggak kerja," tuturnya.

Dede berkata, walau berisiko tertular virus corona dalam aktivitasnya dari rumah ke rumah pelanggan, perusahaannya tidak menanggung ongkos kesehatan. Tak bersentuhan dengan pelanggan saat mengantarkan makanan adalah satu-satunya inisiatif yang disebut Dede bisa menjauhkan para kurir dari penyakit.

"Sejak ada virus corona, walau kurir sakit, tetap tidak ada jaminan, harus kami tanggung sendiri risiko itu," ujarnya.

Merujuk Surat Edaran Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta yang terbit 20 Maret lalu, semua perusahaan didesak mengikuti seruan untuk bekerja dari rumah. Empat bidang dikecualikan dalam surat itu, yaitu kesehatan, energi, jasa keuangan, dan pangan.

Pemprov DKI meminta para pelaku usaha di empat bidang itu untuk melaporkan siasat pencegahan penyebaran virus corona di antara pekerja mereka. Faktanya, di Jakarta, sejumlah perusahaan di luar empat bidang itu tetap beroperasi selama kondisi darurat Covid-19.

Tak ada yang menjamin nasib para buruh itu saat pandemi corona mengancam.

"Harus Kerja Selagi Belum Meninggal"

Linda, buruh pabrik garmen berorientasi ekspor di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, juga serupa. Namun perusahaannya tak mengambil kebijakan strategis untuk mengurangi risiko penularan virus corona.

Linda berkata, ia dan sekitar 900 buruh lain di pabriknya masih terus beraktivitas normal: memproduksi 60 potong pakaian per 30 menit selama delapan jam di ruang kerja yang padat.

"Kami tentu sangat khawatir dan ketakutan, apalagi kami kerja berdekatan, tidak ada jarak satu sama lain," kata Linda.

"Sudah dua hari ini ada pengecekan suhu tubuh setiap pagi. Kami diberi masker, tapi itu kami sendiri yang buat menggunakan bahan sisa pabrik. Itu tidak menghilangkan kecemasan."

"Kami wajib bekerja semua. Selagi belum meninggal, ya harus bekerja. Kalau tidak masuk, upah kami tidak dibayar, kecuali ada surat keterangan sakit dari dokter," ujar Linda.

Linda menuturkan, ia dan para koleganya sudah mendorong perusahaannya melonggarkan aktivitas produksi selama pandemi virus corona. Namun kesepakatan urung terjalin. Nasib dia dan buruh lainnya belum jelas, meski pandemi corona kian memakan korban.

Seperti saat banjir Jakarta di awal tahun 2020, Linda khawatir libur yang didapatkannya justru harus ditebus dengan bekerja saat libur akhir pekan dan tanggal merah.

"Saya ingin ada ketegasan pemerintah, jika kami diliburkan, kami jangan dibiarkan bernegoisasi sendiri tentang upah. Harusnya soal upah jangan berdasarkan kesepakatan perusahaan dan buruh," ujarnya.

Mudik Meskipun Dilarang

Namun tak semua pekerja informal merasa buntung karena wajib beraktivitas layaknya tak ada pandemi. Khoirul, seorang pelayan restoran di kawasan Menteng, berkata majikannya cekatan menyiasati penyebaran virus corona yang bisa saja dibawa para pelanggannya.

"Tidak ada opsi untuk tidak masuk karena kami sudah diberi libur tiga hari dalam satu minggu. Sekarang restoran juga cuma buka layanan bawa pulang, tidak bisa makan di sini lagi," ujarnya.



Khoirul berkata, selain memberlakukan sistem 'satu hari kerja, tiga hari libur', jumlah pegawai dalam satu sif di restorannya pun dikurangi. Menjaga jarak antarorang, kata dia.

Masalahnya bukan seperti nasib buruh lain yang tak bisa di rumah, justru dia ingin selalu pulang kampung -- aktivitas "terlarang" di tengah pandemi corona.

Di sela kecemasannya berada di Jakarta yang menjadi kota dengan kasus positif corona terbanyak, Khoirul berharap bisa pulang-pergi ke kampungnya di Karawang.

Khoirul tahu bahwa pemerintah menganjurkan isolasi diri dan meminimalkan sosialiasi dengan sanak saudara di kampung halaman. Namun ia mengaku sulit menjalankan upaya memutus penyebaran virus corona itu.

"Mumpung ada libur tiga hari, sebisa mungkin saya manfaatkan untuk pulang kampung. Sebenarnya tidak disarankan, tapi kalau hanya berkomunikasi lewat video call, orang tua saya tetap kepikiran keselamatan saya terus," kata Khoirul.

Akhir darurat virus corona belum dapat diprediksi. Mayoritas pelaku usaha dan pemberi kerja mendorong pemerintah memberlakukan keringanan pajak, penundaan tagihan listrik, hingga penurunan suku bunga kredit pinjaman.

Kepentingan Pengusaha

Dalam konferensi pers virtual, Senin (23/3/2020), misalnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jemmy Kartiwa, meminta pemerintah turun tangan. Pemerintah diminta merelaksasi pembiayaan industri tekstil agar arus kas perusahaan tidak macet.

Strategi itu disebut Jemmy vital untuk mencegah pemutusan hubungan kerja massal terhadap para pekerja mereka. "Kami juga meminta stimulus modal kerja untuk tetap berproduksi sehingga tidak jadi PHK," ucapnya.

Belum ada kebijakan khusus pemerintah untuk menjawab permintaan para pengusaha tersebut. Begitu pula nasib buruh yang masih harus bekerja di tengah pandemi corona.

Dalam teleconference dengan gubernur seluruh Indonesia, Selasa (24/03) siang, Jokowi mengumumkan sejumlah strateginya menghadapi gelojak ekonomi akibat virus corona.

Program kartu prakerja yang dijanjikannya pada masa kampanye pilpres 2019 diklaim Jokowi bisa menanggulangi risiko tersebut.

"Akan segera dimulai kartu prakerja implementasi kartu prakerja antisipasi para pekerja yang kena PHK, pekerja harian yang kehilangan penghasilan dan pengusaha mikro yang kehilangan omzet," kata Jokowi.

"Anggaran disiapkan Rp10 triliun agar provinsi-provinsi dapat mendukung ini, Siapa yang harus diberi, mulai data dengan baik," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya