SOLOPOS.COM - Ilustrasi pil koplo. (JIBI-Dok)

Narkoba Sragen, pil koplo yang disalahgunakan remaja lebih berbahaya daripada narkoba karena dijual bebas.

Solopos.com, SRAGEN — Peredaran pil yang masuk daftar G di kalangan generasi muda lebih berbahaya daripada narkoba karena obat-obatan tersebut dijual secara bebas dan mudah diakses para pelajar.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Konsumsi pil obat keras ini menjadi awal coba-coba atau sebagai pintu masuk ke narkoba. Hal itu disampaikan Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati saat ditemui wartawan seusai rapat paripurna di Gedung DPRD Sragen, Senin (10/4/2017).

Yuni, sapaan akrab Bupati, berkomitmen memberantas narkoba termasuk penyalahgunakan obat golongan G lewat pembuatan regulasi khusus. Sebagai tahap awal, Yuni segera mengeluarkan surat edaran (SE) yang ditujukan kepada sekolah-sekolah agar mewaspadai dan memerangi narkoba dan sejenisnya. (Baca juga: Waspadai Fenomena Penyalagunaan Obat Keras di Kalangan Pelajar)

Ekspedisi Mudik 2024

“Tadi pagi Kepala Satpol PP [Tasripin] meminta izin untuk melakukan razia pelajar yang menggunakan pil koplo atau obat golongan G itu. Saya memberi izin tetapi harus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Pelajar beli pil ini lebih mudah daripada beli narkoba yang butuh sembunyi-sembunyi,” kata Yuni yang juga seorang dokter.

Yuni menyampaikan kalau ada apotek yang nakal harus ditindak tegas. Dia menyatakan Dinas Kesehatan dan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) bisa melakukan operasi bila kondisinya memang gawat.

Salah seorang ketua OSIS di SMK swasta di Sragen Kota, AN, 16, mengaku sering ditawari teman sewaktu SMP untuk meminum pil golongan G. Siswa kelas XI itu menolak ajakan temannya itu karena mengetahui bahayanya.

“Tawaran untuk minum pil-pil memabukkan itu dilakukan teman saya itu sejak masih SMP dan hingga sekarang duduk di kelas XI SMK juga masih menawari. Awalnya hanya ajak main atau nongkrong di jalan pada Sabtu malam. Kemudian ditawari agar menggunakan pil itu,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com di ruang bimbingan konseling sekolahnya, Senin siang.

AN menyampaikan temannya itu mengonsumsi pil itu sejak masih duduk di kelas IV SD. Pil yang biasa dikonsumsi itu, kata AN, seperti tramadol yang dibeli dengan harga Rp2.000 per kaplet. Selain itu, AN juga menjumpai sekitar 10 orang temannya satu sekolahan yang masih menggunakan pil-pil golongan G itu.

Bahkan dua temannya terpaksa dikembalikan ke orang tua agar tidak memengaruhi pelajar lainnya dalam satu kelas. Selain itu, satu teman AN lainnya masih menjalani terapi di Semarang sampai sekarang karena termasuk pengguna berat.

AN bisa mengetahui temannya pengguna pil koplo atau tidak dari ciri-ciri fisik dan perilaku yang berbeda. “Kalau pengguna pil itu biasanya sering mengantuk, susah diajak bergaul, dan sering meminta minum karena tenggorokannya kering. Anak ini bisa tahan lapar seharian tetapi maunya minum terus. Saya pernah bertanya sama dia, manfaatnya apa? Jawabnya agar kalau mikir tidak pusing,” katanya.

Seorang pelajar dari SMK swasta lainnya di Sragen, Gita, 15, mengetahui obat-obatan golongan G yang sering disalahgunakan itu dari Internet. Ia tidak pernah menyentuhnya karena tahu itu berbahaya dan bisa merusak syaraf otak.

Dia pernah mendengar dari media massa bila mengonsumsi obat itu tidak hanya sebutir tetapi sampai beberapa butir sekali minum. “Kami sudah mengantisipasi bahaya itu dengan mengundang aparat kepolisian untuk memberi sosialisasi di sekolah dan adanya pembinaan rohani,” ujarnya saat ditemui Solopos.com.

Seorang guru bimbingan konseling salah satu SMK swasta di Sragen, YA, mengaku pernah menemukan anak didiknya yang membawa obat-obatan terlarang. Setelah beberapa kali ketahuan, YA sempat meminta aparat kepolisian untuk membina anak didinya itu.

“Setelah dibina ternyata anak itu masih mengulangi lagi dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Saya pernah menanyai mereka tentang asal obat-obat itu. Mereka bungkam. Ngaku-nya ya dari orang yang tidak dikenal. Jadi peredaran pil ini seperti lingkaran setan. Bisa jadi kalau mengaku, nyawa mereka mungkin terancam, akhirnya bungkam,” tuturnya.

YA pernah bertanya alasan anak-anak mengedarkan pil obat keras itu ternyata terkait ekonomi. Setelah YA menyelidiki pelajar pengguna pil itu berasal dari keluarga yang kurang perhatian orang tua, misalnya tinggal bersama nenek atau kakeknya sementara orang tuanya merantau ke luar negeri atau luar Jawa. YA menyatakan perhatian dan pengawasan keluarga menjadi kunci pendidikan karakter anak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya