SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bento (bukan nama sebenarnya) tertangkap lagi. Kejadiannya pekan lalu. Ini adalah kali keduanya dia digulung polisi saat menikmati putaw. Kali ini, dia ditangkap bersama dua rekannya.

Nama Bento tertulis jelas pada papan putih yang tergantung di dinding salah satu sudut gedung Polresta Solo. “Iya dia tertangkap lagi. Sebenarnya kami juga pusing,” ujar Wakasat Narkoba Polresta Solo, AKP Edison Panjaitan, mewakili Kapolresta Kombes Pol Asjima’in, Jumat (22/6).

Promosi BRI Siapkan Uang Tunai Rp34 Triliun pada Periode Libur Lebaran 2024

Masalahnya, menurut Edison, Bento adalah penderita AIDS yang sudah open status. Kali pertama ditangkap, Polresta hanya mengenakan Pasal 127 UU 35/2009 tentang Narkotika dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Sebuah pasal yang merekomendasikan pecandu untuk menjalani rehabilitasi. Dalam penangkapan kali kedua ini, Polresta tak bisa lagi memberikan pasal sama.

Edison berkilah pasal rehabilitasi hanya bisa diberikan kepada mereka yang belum pernah ditangkap. Apabila ada kejadian berulang, pasal senada tak bisa lagi diberikan. Polisi kemungkinan menggunakan Pasal 112 dan 114 yang menjerat Bento cs dengan pidana penjara paling singkat empat tahun hingga lima tahun.

Namun, lagi-lagi Polresta harus melihat kondisi Bento. Edison mengakui selama menjadi tahanan titipan di Rutan Solo, lembaga itu menyuarakan keberatan. Alasan yang mereka ajukan tahanan itu mengidap AIDS. Sungguh berisiko. Risiko kedua, saat ditangkap, Bento dan teman-temannya menggunakan jarum secara bergantian sehingga kemungkinan besar kedua rekan Bento tertular HIV. “Ketakutan orang-orang rutan bukan lagi pada Bento tapi juga pada kedua temannya.”

Ketakutan tak hanya dialami petugas rutan. Edison berterus terang aparat yang menangkap Bento juga mengalami kekhawatiran sama. “Waktu akan menangkap Bento, petugas kami beberapa kali menelepon minta arahan. Saya katakan pegang saja tangannya. Kalau Bento berontak ya jangan melawan sebab risikonya kan akan tertular AIDS. Mau bagaimana lagi,” ujarnya geleng-geleng kepala.

Sulitnya memperoleh Pasal 127 secara tunggal diakui anggota legal HIV Cooperation Program for Indonesia (HCPI) Ausaid, Simplexius Asa, dalam diskusi tentang Mencari Alternatif Sistem Pemidanaan Bagi Korban Peredaran Gelap Narkoba di Hotel Agas, Solo, Selasa (16/6). Dari pantauannya di kota/kabupaten se-Indonesia, polisi hampir selalu menggunakan pasal berlapis, semisal 112 dan 127 atau 114 dan 127.

Salah satu penyusun UU No 35/2009 tentang Narkotika ini menyatakan penyebutan kata-kata memiliki pada Pasal 112 dan membeli pada Pasal 114 tergolong blunder. Bagaimanapun, menurut Simplexius, penyebutan korban atau penyalah guna pada Pasal 127 yang berhak mendapatkan rehab, memperoleh narkotika dengan cara membeli hingga akhirnya memiliki.

“Ibaratnya pecandu rokok. Agar bisa menikmati rokok maka dia harus beli kemudian memiliki. Tanda memiliki itu apa, misalnya dimasukkan ke kantong baju. Sama kan dengan narkotik. Yang namanya korban atau pemakai ya harusnya beli dulu. Masak gratis?” ujarnya.

Susahnya, ketika terjerat Pasal 112 dan 114, seorang pecandu akan kehilangan hak mendapatkan rehabilitasi.

Simplexius menyatakan ketika menyusun draf UU No 35/2009, Pasal 112 dan 114 digunakan untuk menjerat pengedar hingga bandar narkotika. Faktanya, pasal itu hampir 90% digunakan untuk menjerat korban.

Menjadi tugas aktivis HIV/AIDS saat ini, lanjut Simplexius, adalah memperjuangkan lahirnya vonis pasal tunggal di PN yang dimulai dari BAP di kepolisian. Sudah ada contoh yakni kasus artis Sammy Simorangkir yang berhasil mendapatkan pasal tunggal walau untuk memperoleh itu, isu suap memang berembus kencang.

Sebaliknya, apabila Pasal 112 dan 114 tetap, Simplexius menengarai celah polisi bermain menjadi makin besar. “Bisnis penentuan lama tahanan sudah jadi rahasia umum. Saya lihat di sejumlah kabupaten/kota, banyak oknum polisi yang menawarkan jasa meringankan masa tahanan dengan imbalan rupiah yang tak kecil jumlahnya,” ujarnya.

Setelah diperas, imbuh Simplexius, korban narkoba juga tidak mendapatkan hak pengobatan sehingga kecanduannya selama ditahan menjadi lebih parah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya