SOLOPOS.COM - Maria Y. Benyamin (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO — Anda tentu masih ingat permainan ini. Seorang pembawa pesan utama berbisik kepada rekannya. Oleh rekannya, pesan tersebut diteruskan kepada orang selanjutnya. Begitu seterusnya hingga orang terakhir dalam barisan.

Si pembawa pesan utama mendapatkan informasi yang utuh. Dari pemberi pesan, informasinya jelas. Terkadang lewat tulisan. Bisa juga langsung diucapkan. Atau, lewat gerakan tertentu. Intinya, pesan itu diterima dengan mudah pada awalnya.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Namun, ketika disampaikan kepada orang kedua, cerita lain terjadi. Begitu pula dari orang kedua kepada orang ketiga. Dan seterusnya. Tentu mudah ditebak apa jadinya begitu pesan tersebut sampai kepada orang terakhir.

Entah karena lupa atau tak menyimak dengan baik atau terganggu dengan situasi sekitar, si penerima pesan menerjemahkan dan menyampaikan pesan yang diterima kepada orang selanjutnya sesuai dengan apa yang dia tangkap.

Yang terjadi kemudian mudah ditebak. Pesan berubah dari aslinya. Ada kata-kata yang hilang. Tiba-tiba muncul kata baru. Juga gerakan tangan. Yang semula adalah gerakan merangkul, bisa jadi sampai kepada orang terakhir malah gerakan menonjok. Itu baru di permainan. Jika terjadi dalam kondisi riil, tentu saja urusannya bisa berabe. Kalau sudah begitu, repot bukan?

***

Ini masih soal Covid-19. Maklum saja. Kasus harian di Indonesia masih relatif tinggi. Per kemarin, Kamis (6/5/2021), kasus positif Covid-19 bertambah sebanyak 5.647 kasus.

Secara kumulatif, menurut data Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19, kasus positif di Indonesia kini telah mencapai 1.697.305 orang. Tambahan kasus datang dari Jawa Barat (1.038 orang), DKI Jakarta (905 orang), dan Riau (520 orang).

Dibandingkan dengan Januari-Februari 2021, angka kasus positif saat ini memang telah turun signifikan. Pada dua bulan pertama tahun ini, rata-rata kasus positif berada di atas 12.000-an kasus.

Penurunan kasus ini terjadi karena kombinasi program vaksinasi yang terus digencarkan dan diperluas cakupan penerimanya dan disertai dengan kampanye protokol kesehatan yang terus digalakkan. Kondisi yang mulai membaik ini tentu memberi optimisme tersendiri bagi masyarakat.

Ini terlihat dari geliat aktivitas masyarakat yang kembali terasa. Di Jakarta, misalnya. Kemacetan mulai terjadi di mana-mana. Pusat perbelanjaan mulai ramai disesaki pengunjung. Aktivitas di tempat-tempat umum mulai hidup.

Satu sisi, ini pertanda yang cukup baik. Paling tidak mulai ada kepercayaan diri untuk beraktivitas. Namun, di sisi lain, tetap ada kekhawatiran yang muncul. Euforia vaksinasi dikhawatirkan turut membuat kita terlena, lalu kemudian mengabaikan protokol kesehatan.

Kalau ini yang terjadi, jangan harap jumlah kasus bisa ditekan. Yang ada, kurva kasus baru makin menanjak. Kekhawatiran ini makin kuat begitu memasuki masa libur Lebaran. Apalagi kalau bukan karena mudik, aktivitas yang telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia setiap menjelang Lebaran.

Aktivitas ini telah dilarang oleh pemerintah untuk periode 6-17 Mei 2021. Tujuannya jelas. Menekan laju kenaikan angka kasus harian Covid-19. Sayangnya, sebelum periode pelarangan mudik ini aktivitas tersebut telah marak dilakukan.

Ini terlihat dari kepadatan di jalanan. Juga di bandara yang mulai ramai hingga sehari sebelum larangan mudik diberlakukan. Bahkan, hari pertama peniadaan mudik, aktivitas pemudik langsung terlihat. Kemacetan panjang terjadi, salah satunya di jalur tol ke luar Jakarta.

Susah memang menahan keinginan masyarakat untuk tidak mudik. Namun, pilihan ini harus ditempuh jika ingin penambahan kasus baru bisa dikendalikan. Belajar pada pengalaman sebelumnya, selama periode liburan kasus baru selalu melonjak hingga 40%.

Risiko penularan kasus juga kian besar, apalagi setelah mutasi virus dari India dan Afrika Selatan telah ditemukan di Indonesia. Daya tular varian baru ini tentu saja perlu diwaspadai. Namun, tingkat kesadaran masyarakat terhadap risiko yang muncul sepertinya masih rendah, sehingga cenderung abai.

Coba tengok India. India pernah mencatat penurunan kasus pada periode akhir Januari 2001 hingga awal Maret 2021. Namun, lihatlah kondisi India sekarang ini. Kasus aktif di negara itu kini melambung tinggi.

Video dan foto yang beredar—yang terbaru tentunya—memberi gambaran yang jelas tentang situasi negara itu saat ini. Kita tentu tak ingin seperti India, bukan? Namun, harus disadari pula, komunikasi dari atas ke bawah soal penanganan Covid-19 belum seragam.

Banyak indikasi yang membuktikan kurangnya koordinasi soal ini. Saat kali pertama melarang mudik, misalnya. Ketika mudik atau pulang kampung dilarang, justru masyarakat didorong untuk berwisata.

Bahaya yang timbul dari aktivitas berwisata ini juga sama seperti mudik ke kampung halaman. Risiko timbulnya klaster baru, yaitu klaster destinasi wisata, juga besar. Seharusnya mobilitas masyarakat yang dibatasi.

Indikasi lainnya adalah perbedaan suara pusat dan daerah. Ada daerah yang seiring sejalan dengan kebijakan pusat. Namun, ada juga yang keluar jalur. Malah belakangan muncul kebijakan baru mudik lokal yang sebetulnya tidak pernah datang dari pusat.

Ketua Satuan Tugas Penangan Covid-19 Doni Monardo telah menegaskan sejak awal bahwa kebijakan larangan mudik ini merupakan keputusan politik negara yang tentu saja telah melewati berbagai pertimbangan. Salah satunya perkembangan data-data setahun terakhir ini. Alhasil, keputusan tersebut seharusnya menjadi narasi tunggal.

Jadi, pilihan untuk melarang mudik ini adalah pilihan yang sangat strategis. Kita semua harus mengikuti keputusan ini. Ini adalah keputusan politik negara. Kepala Negara adalah Presiden Joko Widodo dan tidak boleh ada satu pun pejabat pemerintah yang berbeda narasinya!



***

Bayangkan narasi awal yang datang dari Presiden Joko Widodo adalah melarang mudik untuk mengendalikan persebaran kasus Covid-19. Oleh Presiden, pesan tersebut disampaikan dengan jelas. Dari Presiden, pesan itu masih tersampaikan dengan baik dan diterima pula dengan baik oleh bawahannya.

Dari bawahannya, pesan itu mulai ditangkap berbeda-beda dan tersebar ke mana-mana. Distorsi informasi mulai terjadi. Kepentingan yang berbeda-beda juga menjadi salah satu penyebab menyimpangnya keputusan yang diambil sebagai bagian dari eksekusi pesan yang disampaikan dari atas.

Begitu seterusnya. Pesan sudah menyebar ke mana-mana. Isi pesan yang diterima pun mulai tak seragam. Dan, kalau sudah begini, bisa ditebak bagaimana pesan itu diterima oleh masyarakat. Narasi tunggal soal pengendalian Covid-19 yang diharapkan terjadi justru tak tercapai.

Padahal, kita sedang berkejaran dengan waktu untuk menuntaskan Covid-19 sampai titik terendah. Semakin lama berhadapan dengan Covid-19 yang persebarannya kian meluas tentu semakin besar pula energi yang dikeluarkan.

Itu berarti biaya ekonomi yang harus dikeluarkan pun makin tinggi. Ujungnya, ekonomi pun akan makin sulit bangkit. Kondisi ini bisa jadi buruk buat kita. Setelah berhasil mendorong ekonomi kian mendekati level positif pada kuartal I/2021, kita punya semangat dan optimisme yang baru terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal-kuartal mendatang.

Namun, jika pertambahan jumlah kasus tidak bisa diredam, bukan tidak mungkin harapan itu akan menjauh. Saya jadi teringat kalimat Presiden Joko Widodo pada Rabu (17/2/2021) siang di Istana Merdeka.

”Sudah empat kali [periode liburan], kasus naik signifikan. Kalau terjadi lagi, kebangeten,” kata Presiden Joko Widodo. Lalu, bagaimana jika kasus melonjak dengan tajam pascalibur Lebaran kali ini? Jangan sampai. Kebangeten!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya