SOLOPOS.COM - Hery Trianto (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Dalam tiga pekan terakhir linimasa media sosial Anda pasti penuh dengan unggahan ”tsunami corona” di India. Negeri ini terus-menerus mencatakan rekor terburuk, kematian harian maupun kasus baru. Media arus utama memberitakan hal serupa.

Krisis terbaru yang mencolok adalah membeludaknya tempat pembakaran mayat sehingga kremasi jenazah korban Covid-19 harus menunggu antrean dua atau tiga hari dan mulai membusuk. Rumah sakit telah lumpuh. Para pasien telantar tak terurus hingga ajal menjemput.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Hati saya patah ketika melihat tayangan video dua kakak beradik yang ”memboncengkan” mayat ibunda mereka. Tak ada lagi layanan ambulans. Polisi sempat menghentikan sebelum terpaksa melepas kembali karena memang tak tahu harus berbuat apa.

India seperti tengah berjuang antara hidup dan mati ketika bantuan sejumlah negara mulai berdatangan seperti tabung oksigen, ventilator, dan obat-obatan. Betapa mencekam sebuah kota jika obat-batan dan tabung oksigen langka; harus ditebus di pasar gelap dengan harga selangit.

Pandemi covid-19 yang melanda dunia ini memang kembali mencapai puncak dengan tingkat penularan harian menembus 850.000 orang. Ini adalah kabar buruk ketika vaksin sudah ditemukan tetapi kurva penularan justru menuju puncak kedua atau bahkan ketiga.

Semestinya kita cepat belajar dari India, negeri yang pernah jemawa telah mencapai imunitas kawanan dan mengendalikan kasus pada Januari 2021, lalu abai dengan menggelar upacara keagamaan kolosal di Sungai Gangga, menghidupkan kebali pasar, dan menggelar pemilihan umum di lima negara bagian.

Saya ingat betul, saat Indonesia mulai kewalahan menghadapi puncak kasus pada Januari 2021 dengan 176.000 kasus aktif, India dengan 1,35 miliar penduduk telah melandaikan kurva penularan dan menekannya hingga di bawah kita.

Dikombinasikan dengan vaksinasi yang cukup cepat, India seolah-olah meraih kemenangan melawan pandemi. Disebut sebagai ”tsunami corana”, negeri dengan jumlah penduduk lima kali lipat Indonesia itu kini berada pada puncak krisis dalam menghadapai pandemi dengan kasus harian melampaui 300.000 orang dan angka kematian menembus 2.000 jiwa.

Hingga kemarin, negeri ini mencatatkan 3,08 juta kasus aktif, kedua terbanyak setelah Amerika Serikat. Satu tempat tidur untuk merawat dua orang sakit, perebutan tabung oksigen, dan antrean jenazah menunggu dikremasi  adalah yang terjadi kini.

India bersama sejumlah negara seperti Turki, Jerman, dan Papua Nugini tengah menghadapi kenaikan kasus sangat signifikan. Para epidemolog menyebut India adalah studi kasus yang sempurna betapa herd imunity–kekebalan kawanan--yang diharapkan telah berubah menjadi herd ignorance–kebebalan kawanan.

Kekhawatiran atas kejadian serupa kini tengah menghantui Indonesia. Secara sosial dan kultural Indonesia memiliki kemiripan dengan India. Pada zaman kolonial, Indonesia bahkan disebut sebagai Hindia Belanda untuk membedakan dengan (H)India yang dijajah oleh Inggris. Kita mau menghindari nasib serupa? Tentu saja ada syaratnya.

***

Hingga Kamis (29/4/2021), angka penularan Covid-19 dunia telah menembus 150 juta orang dengan jumlah kematian 3,16 juta jiwa. Di Indonesia, kasus telah melampaui 1,66 juta orang dan telah merenggut 45.334 nyawa, berdasarkan data Covid19.go.id.

Saya termasuk orang yang rajin mengecek angka-angka itu dalam satu tahun terakhir, mungkin juga Anda. Pasti banyak perasaan yang berkecamuk setiap kali memperhatikan data kematian, orang tertular, rumah sakit kewalahan, juga para tenaga kesehatan kelelahan.

Angka 150 juta atau 1,6 juta bukanlah sekadar statistik. Di sana ada 150 juta cerita, 3,1 juta duka dan nestapa, sekaligus pelajaran. Angka-angka tersebut bukan saja penanda, tetapi juga jadi saksi dari jiwa-jiwa yang hilang, penderitaan keluarga, juga penyesalan.

Saya menyesal mengapa tidak berusaha lebih keras lagi mencegah keluarga kakak sulung saya mudik ketika libur Natal dan tahun baru 2021 dari Jepara ke Blitar. Ibu saya telah sepuh, tertular Covid-19 pada saat Indonesia mencatat puncak kasus pada pertengahan Januari 2021.

Kakak saya? Sudah terlebih dahulu sakit bersama suami dan anak sepekan sebelumnya.  Saya ingat betul pada pekan-pekan tersebut terjadi penularan harian 15.000 orang di seluruh Nusantara. Rumah sakit penuh, baik di Blitar dan Jepara, juga Pekalongan hingga Ciamis.

Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan empat kota tersebut memiliki tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit 100%, ketika itu. Ada empat rumah sakit yang kami datangi, tiga di antaranya menolak.

Satu rumah sakit mau merawat ibu saya di instalasi gawat darurat (IGD) dan tak memiliki ruang perawatan ketika tes PCR menunjukkan hasil positif. Ibu saya dua malam menginap di tenda depan IGD sebelum akhirnya dipindahkan di rumah sakit di Kota Malang.

Pada ujungnya, penyesalan itu memang selalu pada akhir. Seperti yang dikisahkan kemarin oleh Gubernur Jawa Barat Barat Ridwan Kamil dalam rapat koordinasi pelarangan mudik bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo, bupati/wali kota, camat, hingga kepala desa di Jawa Barat.

Kang Emil menuturkan kisah penderitaan dan penyesalan satu keluarga di Ciamis yang kehilangan ibu mereka karena memaksa mudik dari Bogor tahun lalu. Sang ibu memiliki penyakit bawaan, tak kuasa menahan ganasnya virus dan meninggal dunia, ketika anak cucu mereka tertular terlebih dahulu dan nyaris tanpa gejala.

Bahwa kluster mudik itu nyata sebenarnya sudah berhari-hari dikisahkan oleh media massa. Seperti kejadian di Pati, Jawa Tengah, ketika warga yang pulang kampung dari perantauan menggelar syukuran dan mengundang warga setempat makan malam. Akibatnya, 39 warga Desa Kuryokalangan, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, tertular Covid-19.

Ada jutaan kisah dari para penyintas Covid-19 beserta semua pelajarannya. Virus ini satu satunya vektor penularan adalah manusia, jadi jalan mencegahnya adalah mengurangi mobilitas manusia  yang selalu berbanding lurus dengan terjadinya kerumunan.

Semua orang Indonesia sudah mengetahui ini, tetapi mengapa sebagian diantara mereka abai? Pelajaran besar bahwa setiap liburan panjang selalu meningkatkan mobilitas lalu diikuti oleh panen kasus dua pekan sesudahnya adalah contoh. Kita sudah memiliki empat pengalaman liburan yang memilukan sejak Idulfitri tahun lalu ketika untuk kali pertama kali mudik dilarang oleh pemerintah.

***

Sungguh tidak mudah membangun kesadaran kolektif tentang betapa berbahayanya Covid-19. Sulit mengubah perilaku patuh dengan protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan serta mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.

Pendekatan persuasif saja tidak cukup, perlu dibarengi dengan upaya menciptakan rasa takut; virus ini membunuh; penyakit memiliki efek jangka panjang bagi penyintas; bahwa kebebalan seseorang dengan tetap memaksa  mudik–misalnya—adalah bisa menyebabkan kematian.

Mata kita memang benar terbuka, tetapi empati mesti dibangkitkan dari hati. Dengan penurunan kasus aktif yang menjadi 43% dalam kurang dari tiga bulan terakhir di Indonesia bukanlan sinyal pandemi negeri ini telah dikendalikan.

Jumlah orang sakit yang ditemukan dibandingkan orang yang diperiksa (positivity rate) masih di atas 10%, jauh di atas anjuran WHO, di bawah 5% untuk menyebut wabah terkendali. Satu tahun lebih semua pengorbanan yang kita lalukan ternyata belum apa-apa.

Kerugian ekonomi nasional pada 2020 mencapai Rp1.356 triliun sebagaimana disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Buktinya, pada pekan lalu, 19 provinsi mengalami kenaikan kasus, ketika mobilitas warga  meningkat sejak menjelang  Ramadan yang berbarengan dengan libur Paskah.

Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan mobilitas warga meningkat di 33 provinsi dalam beberapa pekan terakhir. Kenaikan kasus di 19 provinsi pada pekan lalu adalah hasil dari peningkatan mobilitas warga yang terjadi dua pekan sebelumnya.

Menjelang Ramadan yang bertepatan dengan libur panjang akhir pekan Paskah dimanfaatkan masyarakat untuk mudik kecil dalam tradisi munggahan, mengunjugi makam leluhur di kampung halaman. Hasilnya, klaster munggahan terjadi di Tangerang, Banten. Tercatat 46 warga terpapar Covid-19.

Berbagai fenomena ini apakah belum  cukup meyakinkan publik agar mengerem aktivitas mereka dahulu? Perlukah kita terus-menerus menunjukkan krisis kemanusiaan di India sebagai refkesi berharga agar kita tidak mengulangi  di sini?

Sungguh kita tidak memiliki kemewahan waktu untuk menunggu kekebalan kawanan hadir dengan vaksinasi.  Kita memerlukan kesadaran kolektif bahwa apa pun pengorbanan yang kita lakukan dengan tidak mudik, napas berat karena hidung dan mulut tertutup masker, adalah sebuah cara  untuk melindungi diri sendiri dan keluarga.

Sebelum mencapai kekebalan kawanan saat 80% populasi Indonesia disuntik vaksin, kebebalan kawanan sudah selayaknya kita musnahkan. Sekarang.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya