SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sebuah pesan singkat mampir di telepon genggam, “Selamat pak guru, Anda telah memanen buah terbaik.” Saling-berbalas pesan yang terjadi tempo hari itu bermula dari ucapan selamat untuk tulisan saya di sebuah koran. Cerita berlanjut bahwa yang menjadi redaktur koran tersebut pada dua puluh tahun lampau masih murid. Di waktu lampau ketika menjadi murid, dia mengalami dibabat habis karangannya oleh guru. Kini ketika menjadi redaktur, gantian tulisan gurunya yang diedit tuntas. Terumuslah sebuah kebanggaan sebagai seorang guru bahasa Indonesia “ketika murid berani mengedit tulisan guru, berarti pendidikan berhasil.”
Saya biasa mencermati setiap tulisan sendiri yang muncul di koran. Naskah asli yang terkirim saya cocokkan dengan yang diterbitkan. Dalam pengalaman di atas, setiap perubahan, penggantian, atau pemotongan isi naskah, saya sadari sungguh bahwa yang melakukan adalah seseorang yang pernah belajar bersama. Hasil tindakannya itu – membenahi atau menyunting – ternyata menjadikan naskah kian baik dan layak untuk dibaca oleh khalayak. Bukan perasaan tersinggung atau marah, hanya rasa bangga terhadap tindakan-tindakan itu.
Bagi saya, pengalaman relasi guru dan murid  tersebut lebih bersifat simbiosis mutualistis, saling mengembangkan dan saling menumbuhkan. Selama dua puluh tahun, sang guru terus-menerus memutukan diri, sedangkan si murid terus mengasah diri secara profesional. Sampailah kedua belah pihak bertemu di satu kesempatan yang saling-membutuhkan. Tak ada satu pun pihak yang sekadar menunggu kebaikan pihak lain, sehingga mereka sama-sama pantas untuk bertemu dalam forum yang profesional. Tidak ada belas kasihan dari murid untuk guru, pun balas budi murid untuk guru. Guru pun tidak merengek untuk menuntut balik diperlakukan secara istimewa.
Murid yang kritis, yang berani, yang tumbuh menghebat, bagi sebagian guru justru dimatikan sejak dini. Guru tidak menginginkan muridnya belajar kritis. Pengalaman tempo hari, guru menyebut muridnya ‘sok kritis, sok berani, sok intelek’. Sebutan ‘sok’ biasa untuk menilai negatif atau sisi sebaliknya dari sifat yang baik itu. Jika demikian, bukankah ungkapan guru itu telah membunuh karakter muridnya? Kalau murid diberi kesempatan untuk menjawab tuduhan guru, pasti akan terungkap “lho, bukankah kami diajar untuk kritis, berani, intelek? tapi sekarang malah dicap sok?” Perilaku murid sebenarnya menunjukkan kepada guru sebagai hasil pendidikannya, tanpa disadari murid pun ingin menunjukkan betapa yang diajarkan gurunya mesti ada buahnya.
Guru yang menghantam murid dengan ungkapan-ungkapan sinis di kelas semacam itu, bisa jadi telah mengingkari pengajarannya sendiri. Namun, hal lain yang melatari guru bisa demikian itu adalah kewibawaan yang terancam.

Menganggap diri di kelas harus mengungguli murid, harus tampak berkuasa, mesti yang paling dihormati, tentu bertolak belakang dengan motivasi guru yang seharusnya yakni memintarkan dan menghebatkan murid. Betapa para guru mesti kian menyadari bahwa kehadiran murid itu untuk guru, kelakuan murid – yang positif ataupun kurang mengenakkan – pun untuk guru. Yang disebut kewibawaan atau kehormatan guru bukan pertama-tama karena bisa membentak atau mengintimidasi murid, tetapi pada konsistensi pribadi, baik secara personal maupun profesional. ***

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Oleh: St Kartono

Guru SMA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya