SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Suatu sore, Ustadz Sagiran berbagi ilmu di PPPA Daarul Qur’an – Wisatahati Yogyakarta. Dokter bedah pendakwah itu mengingatkan nasehat almarhum AR. Fakhruddin (sesepuh Muhammadiyah) tentang apa sejatinya Ikhlas. Nasehat yang sangat menyentuh dan membuat penulis semakin menengadahkan tangan saja di hadapan Sang Maha. Tergeleng-geleng dan terangguk-angguk batin pasrah pada-Nya.

Ustadz bercerita, Ikhlas itu ada 5 tingkatan. Tingkat pertama adalah orang yang beribadah tidak mengharapkan materi duniawi. Tidak punya vested of interest akan uang, fasilitas dan benda-benda. Ibadah orang ini sungguh tak mengharap balasan hal-hal tadi. Dalam keseharian, orang semacam ini sudah luar biasa. Sungguh pun demikian, ini masih dikatakan sebagai tingkat paling bawah.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Ikhlas tingkat kedua, adalah orang yang beramal selain sudah tak berharap dunia, dia juga tak meminta pujian sesama. Tanda-tanda orang yang masih berharap pujian dan sanjungan ini adalah saat dicela lalu gusarlah hatinya. Tidak terima. Dia merasa sakit hati saat amalnya itu dirasa belum baik oleh orang lain.

Tingkat ketiga, adalah orang yang beramal selain tidak berharap dunia dan pujian, dia juga tidak berharap untuk dianggap berjasa. Tanda-tanda orang yang masih berharap dianggap berjasa adalah merasa gusar hatinya tatkala orang menganggap ada orang lain yang beramal lebih daripada dirinya. Sesak hatinya tatkala ada orang lain yang dianggap lebih mumpuni, lebih istimewa, lebih menanamkan kebaikan dan sebagainya.

Termasuk efek psikologisnya adalah orang yang gusar atau “iri” tatkala melihat orang lain tidak mengikuti aturan sosial sebagaimana yang telah dia lakukan. Semisal dia dalam suatu antrian, lalu ada orang lain nyelonong namun dibiarkan publik, maka orang ini akan tidak terima hal itu terjadi dikarenakan dia telah merasa sudah tertib antri. Mengapa orang lain tidak antri? Keakuannya pun berbicara dalam hati.

Naik ke tingkat ke empat, orang ikhlas adalah orang yang beramal dengan tidak berharap dunia, pujian dan pengakuan…., sekaligus siap jika justru orang malah mencurigai amalnya. Padahal dia sudah tidak berharap apa pun, namun orang-orang justru berpikir bahwa dirinya ada udang di balik batu. Sekalipun demikian, orang di tingkat ini tetap tidak mempermasalahkannya.

Naik ke tingkat tertinggi dalam ikhlas adalah saat orang beramal dengan tidak berharap dunia, pujian, pengakuan serta siap dicurigai, namun ditambah sekaligus pula siap jika dimusuhi, serta siap dengan rasa cinta justru mendoakan kebaikan bagi orang yang memusuhinya tersebut.

Inilah tingkatan Nabi SAW saat mendoa bagi orang-orang yang menolak, mencaci, merendahkan, mengusir dan melukainya “Allohummahdi qoumi, fainnahum laya’lamun”. Yaa Allah anugerahilah petunjuk bagi mereka, sesungguhnya mereka berbuat aniaya itu karena mereka tidak mengerti.

Tidak bersandar amal

Jika kita membaca 5 tingkat di muka, serasa habislah amal kita. Kita pun makin sadar bahwa kita selalu minus di hadapan Tuhan. Bersyukurlah bahwa Rasulullah SAW bersabda yang menyiratkan bahwa seseorang masuk surga “memang” bukan karena amal. Orang masuk surga karena dirahmati dan dicintai Allah SWT. Firman-Nya,”Inna rohmatii waasi’at kulla syai’…”. Sesungguhnya rahmat cinta-Ku menampung meliputi segala sesuatu.

Berdasar firman Allah SWT dan sabda Nabi SAW, akhirnya pun para Ulama salaf menyatakan bahwa seseorang yang beramal karena takut neraka (terhindar dari keburukan) dan berharap surga (mendapatkan kebaikan) adalah masih termasuk kategori Ikhlas. Puncaknya tetap, adalah mereka yang beramal karena-Nya Semata. Yakni yang beramal dan berdoa karena sadar bahwa hal itu adalah semata perintah-Nya.

Bolehlah kita beramal dan berdoa karena menghindar atau mengharap sesuatu, namun karena tahu (ma’rifat) bahwa itulah Yang ALLAH SWT Mau dari mahluk ciptaan-Nya. Segala liku-liku suka dan duka adalah semata pesan dari Tuhan agar mahluk mengingat-Nya, memuji-Nya, memohon pada-Nya hingga menyaksikan ke-Esa-an, ke-Besar-an, ke-Agung-an, ke-Indah-an, ke-Kuasa-an, ke-Dermawan-an dan ke-Cinta-an Nya. Manusia pun tergerak tersemangati beribadah, beramal dan berdoa karena rasa syukurnya. Seraya tak pernah merasa mampu berbuat itu sendiri tanpa-Nya.

Ikhlas adalah hal lawas, sekaligus hal baru karena tiada mahluk yang tahu. Jika dipandang dari sisi manusia, bisa jadi kita tak akan pernah mencapainya. Sebaliknya, jika dipandang dari sisi Allah SWT, tiada yang tak mungkin bagi-Nya untuk menganugerahkan maqom Ikhlas kepada para pencari dan pecinta-Nya. Wallahu a’lam bishshowab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya