SOLOPOS.COM - Sejumlah fondasi bekas bangunan milik warga Desa Pilangrembes terlihat saat Waduk Kedung Ombo (WKO) mengering di Desa Gilirejo Lama, Kecamatan Miri, Sragen, Rabu (27/11/2019). (Solopos/Moh. Khodiq Duhri)

Solopos.com, SRAGEN -- Jalan setapak itu biasanya tergenang di dasar perairan Waduk Kedung Ombo (WKO), tepatnya di Desa Gilirejo Lama, Kecamatan Miri, Sragen.

Jalan itu muncul kembali seiring menyusutnya genangan air selama musim kemarau. Setelah sekitar 30 menit berada di lokasi, terlihat beberapa penampakan bekas bangunan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Beberaoa fondasi bangunan terlihat di beberapa tempat terpisah. Ada pula penampakan dua buis beton yang oleh masyarakat pedesaan biasa dipakai untuk membakar sampah rumah tangga.

RS Mata Solo Adukan Eks Pasien ke Polisi

Ekspedisi Mudik 2024

“Di sini ada bekas fondasi puskesmas, pertokoan, perumahan, dan pasar. Semua itu adalah jejak dari Desa Pilangrembes yang hilang sejak proyek WKO menyasar kawasan ini pada 1989,” ujar Suwardi, 55, mantan warga Desa Pilangrembes yang kini menjadi Desa Pelemrejo, Andong, Boyolali, saat ditemui Solopos.com di lokasi, Rabu (27/11/2019).

Bagi generasi yang lahir era 1990-an, apalagi era milenial, nama Pilangrembes mungkin terasa asing di telinga. Namun, tidak demikian halnya bagi Suwardi.

Sambil duduk di bekas fondasi bangunan itu, Suwardi mengisahkan betapa populernya Desa Pilangrembes pada masanya. Menurutnya, Desa Pilangrembes memiliki peradaban yang sedikit lebih maju dibandingkan desa-desa lain di sekitarnya.

2 CPNS Wonogiri Hasil Seleksi 2018 Gagal Jadi PNS, Ini Penyebabnya

Banyaknya temuan bekas fondasi bangunan permanen menunjukkan bila pada era 1980-an sudah banyak berdiri bangunan rumah dengan konstruksi beton di Desa Pilangrembes.

Padahal, pada umumnya rumah warga pada waktu itu masih berbentuk joglo atau limasan yang bahan utamanya kayu. Saat desa-desa lain belum ada masjid, di Desa Pilangrembes sudah ada masjid berukuran besar.

"Di sini juga pernah berdiri Pasar Pilangrembes yang menjadi sentra kebutuhan pokok, perkakas rumah tangga, kayu hingga arang. Barang-barang yang dibeli di pasar ini biasanya dijual lagi ke Kota Solo,” kenang Suwardi.

Pohon Berdaun Merah di Mojogedang Karanganyar Mendadak Viral

Didik Suryadi, 50, warga Desa Gilirejo Lama mengatakan Desa Pilangrembes cukup ramai karena ada Pasar Pilangrembes pada masanya. Lalu lintas kendaraan yang hilir mudik membawa barang-barang dagangan juga cukup ramai.

Bahkan, keramaian di Desa Pilangrembes melebihi keramaian di pusat Kota Kecamatan Miri pada waktu itu. “Dulu waktu saya masih muda, tempat nongkrong saya ya di pasar ini," jelas Didik yang dijumpai di lokasi yang sama.

Melihat bekas bangunan-bangunan itu, Didik teringat masa lalunya. Meski sudah 30 tahun berlalu dan selalu tergenang air, ternyata fondasi-fondasi itu tidak keropos.

Baru Sehari Dipakai, Yamaha NMax Kades di Polanharjo Terlibat Tabrakan

"Ini bukti bangunan rumah atau gedung pada waktu itu dibangun dengan konstruksi yang kuat. Berbeda dengan bangunan-bangunan sekarang ini yang mudah keropos,” jelasnya.

Sejarah mencatat pembangunan WKO pada era 1980-an menenggelamkan 37 desa, tujuh kecamatan di tiga kabupaten yakni Sragen, Boyolali, dan Grobogan.

Sebanyak 5.268 keluarga harus merelakan tanahnya untuk pembangunan waduk ini. Selain Pilangrembes, dua desa lain di Kecamatan Miri yang hilang karena proyek WKO adalah Nglorog dan Korangan.

Temukan Ini, DPRD Solo Desak Tutup Drainase Jl. Sawo Karangasem Solo Dibongkar

“Sejak saat itu, warga sudah menyebar ke mana-mana. Ada yang bergabung dengan desa terdekat seperti Gilirejo Lama, ada yang mendirikan desa baru, ada pula yang memilih pindah ke luar desa bahkan sampai ke Jakarta,” terang Didik.

Terlepas dari pro dan kontra atas proyek yang dikerjakan pada Orde Baru itu, keringnya waduk karena musim kemarau menjadi berkah tersendiri bagi warga sekitar.

Warga masih bisa menanami lahan mereka dengan aneka tanaman hortikultura seperti jagung dan kacang. Bekas Pasar Pilangrembes itu pun kini sudah disulap menjadi lahan jagung oleh warga.

Wonogiri Beri Internet Tanpa Kuota Rp25.000/Bulan, Daerah Lain Kapan?



Bercocok tanam di area waduk yang kering itu bukan tanpa risiko. Bila musim hujan datang, mereka terancam tidak bisa panen karena tanaman akan tergenang.

“Ya harus pintar-pintar menghitung hari. Kalau musim hujan dimulai pada November, kemungkinan kawasan ini baru tergenang air pada Februari. Jadi, usahakan sebelum Februari, tanaman sudah bisa dipanen supaya tidak rugi,” papar Suwardi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya