SOLOPOS.COM - Launching Muktamar Ke-33 NU di Surabaya, Sabtu (14/3/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Bima Sakti)

Muktamar NU mulai dibahas kiai sepuh di Lirboyo.

Solopos.com, KEDIRI — Sejumlah kiai sepuh dari pondok pesantren di Jawa Timur membahas Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Mereka bersepakat mengajukan sistem ahlul halli wal aqdi (AHWA) atau sistem pemilihan musyawarah untuk mufakat dan bukan voting dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015 mendatang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Para kiai sepakat sistem ahlul halli wal aqdi, jadi nantinya ada sistem perwakilan dan ini ada dalam AD/ART, yaitu musyawarah mufakat dan langsung, dan kami inginkan yang pertama, musyawarah mufakat,” kata Pengasuh PP Al-Amien Ngasinan Rejomulyo Kediri K.H. Anwar Iskandar, sebagai perwakilan para kiai, di Kediri, Rabu (10/6/2015).

KH Anwar yang ditemui setelah pertemuan para kiai sepuh di PP Lirboyo, Kediri itu mengatakan sistem AHWA ini bukan sistem yang baru. Selama ini, sistem ini pernah diterapkan, seperti setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maupun saat awal NU berdiri.

Selain itu, sistem ini juga pernah digunakan saat Muktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 silam yang melahirkan duet kepemimpinan K.H. Ahmad Shiddiq sebagai Rais Aam dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.

Ia juga menegaskan bahwa sistem AHWA ini juga diputuskan untuk menjaga muruah atau harga diri dan martabat ulama. Selain itu, sistem ini dinilai juga lebih menjamin kemaslahatan serta menghindari hal yang tidak baik menurut agama, seperti politik uang ataupun perpecahan di antara ulama.

Kesepakatan menggunakan sistem ini, kata K.H. Anwar, akan diajukan dalam rapat para ulama atau musyawarah nasional (Munas) alim ulama yang diselenggarakan sebelum muktamar.

Belum Bahas Materi
Forum para kiai di PP Lirboyo iyi masih dibahas tentang kepemimpinan dan belum sampai materi. Harapannya, sistem AHWA ini nantinya bisa digunakan memilih Rais Aam serta Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.

“Sekarang baru kepemimpinan, dan nanti akan disampaikan di munas alim ulama. Untuk materi, nanti akan diputuskan di munas, dan ini jadi rekomendasi,” ujarnya.

Dalam pertemuan itu hadir sejumlah kiai sepuh, seperti K.H. Zainuddin Jazuli dari PP Ploso Kediri, K.H. Nurul Huda Jazuli dari PP Ploso Kediri, K.H. Miftahul Akhyar dari PP Miftahussunnah Surabaya, K.H. Anwar Mansur dari PP Lirboyo Kediri, K.H. Mas Subadar dari PP Besuk, Pasuruan, K.H. Idris Hamid dari PP Salafiyah Pasuruan, dan sejumlah kiai sepuh lainnya.

“Kegiatan ini juga sudah dilakukan beberapa kali dengan lokasi pertemuan yang berbeda, bahkan kegiatan tersebut juga melibatkan sejumlah pengurus cabang,” katanya.

Sampai saat ini, masih terjadi perdebatan tentang sistem yang akan digunakan dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada Agustus 2015. Sebagian memprotes sistem pemilihan via musyawarah mufakat atau AHWA dan sebagian lagi sepakat.

Protes yang dilancarkan dari beberapa pengurus wilayah (PW) dan PC itu, karena menilai AHWA bertentangan dengan Bab XIV Pasal 41 poin (a), Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU. Dalam pasal tersebut dikatakan, rais aam dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar setelah yang bersangkutan menyampaikan kesediaannya.

Alasan lainnya, penerapan sistem AHWA dinilai tidak demokratis dan disinyalir mengundang kontroversi berkepanjangan, karena tidak terukur. Pemilihan rais aam melalui suara muktamirin lebih maslahat daripada sistem AHWA. Namun, mereka yang setuju AHWA menyatakan tak ingin Muktamar NU mirip pemilihan kepala daerah (pilkada).

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya