SOLOPOS.COM - Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin didampingi Menko Polhukam Wiranto, memberi keterangan pers usai diterima Presiden Jokowi, Selasa (1/11/2016). (Setkab.go.id)

MUI menyatakan fatwa larangan mengenakan atribut keagamaan non-Muslim melanggar kebinekaan. Justru MUI menyebutnya sebagai bentuk kebinekaan.

Solopos.com, JAKARTA — Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin, memberi penegasan soal fatwa agar Muslim tidak memakai atribut non-Muslim pada saat Natal. Menurutnya, umat Islam tidak memakai atribut non-Muslim merupakan suatu kebinekaan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Banyak orang bilang, MUI melarang umat Islam memakai atribut non-Muslim itu melanggar kebhinnekaan. Kami melarang itu bagian dari dari kebinekaan,” ujar Ma’ruf, Selasa (20/12/2016), dikutip Solopos.com dari Okezone.

Ekspedisi Mudik 2024

Menurutnya, makna kebinekaan adalah kesadaran terhadap perbedaan. Di mana, perbedaan saling menghormati tidak adanya paksaan-paksaan. “Jadi umat Islam ya pakai atribut Islam. Sedangkan, non-Muslim pakai atribut non-Muslim itu saling menghormati,” tuturnya.

Ia melanjutkan, pihaknya ingin agar tidak ada paksaan untuk Muslim memakai atribut non-Muslim. Namun, fatwa larangan Muslim memakai atribut non-Muslim, sudah mengikat secara Islam. “Kami ingin saling menghormati perbedaan dan prinsip-prinsip kebhinnekaan,” pungkasnya. Baca juga: Terkait Fatwa MUI, Kapolri Perintahkan Tangkap Pelaku Sweeping Anarkis.

Berikut rekomendasi dalam Fatwa MUI No. 56/2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim

1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah Fatwa Tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim 8 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan
ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.
4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.
5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.

Belakangan, MUI menerbitkan tujuh poin MUI yang memperjelas pelaksanaan penegakan fatwa tersebut. Berikut 7 poin tersebut:

1. Terbitnya Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tanggal 14 Desember 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Non-Muslim perlu dihormati bersama.
2. Instansi terkait untuk dapat mensosialisasikan maksud dari fatwa tersebut, pemda, kepolisian, bahkan MUI sendiri atau lembaga-lembaga yang lain.
3. Berikan pemahaman kepada para pengelola mal, hotel, usaha hiburan, tempat rekreasi, restoran, dan perusahaan agar tidak memaksakan karyawan atau karyawati yang muslim untuk menggunakan atribut non-Muslim.
4. Semua pihak mencegah dan tindakan main hakim sendiri, MUI meminta bahwa rekomendasi pertama dari fatwa 56 itu justru hormati keberagaman agama yang ada di Indonesia dan hormati kerukunan umat beragama yang ada. Oleh karena itu tidak boleh melakukan sweeping baik oleh siapa pun, apalagi menggunakan fatwa ini untuk melakukan tindakan tegas terhadap siapapun yang melakukan aksi sweeping dan tindakan main hakim sendiri.
5. Koordinasi antarinstansi terkait untuk melakukan langkah antisipasi terhadap kerawanan yang akan timbul dengan melibatkan para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda.
6. Semua pihak agar tetap mematuhi ketentuan hukum yang berlaku karena negara kita merupakan negara hukum. Ingat, jangan main hakim sendiri, kedepankan hukum, dan serahkan kepada pihak kepolisian.
7. Mari kita semua tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan antarumat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta beragama.
Tujuh poin ini selaras dengan Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016. Demikian kurang lebihnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya