Semarang
Sabtu, 23 November 2019 - 05:20 WIB

Muhammadiyah Jateng Tak Ingin Sertifikasi Dai Diwajibkan

Newswire  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah Tafsir. (Antara-istimewa)

Solopos.com, SEMARANG — Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah menolak program sertifikasi dai diwajibkan kepada setiap pendakwah. Program sertifikasi dai yang disiapkan Kementerian Agama tak boleh menjadi penghalang bagi pendakwah yang tidak memiliki sertifikat untuk berceramah.

"Boleh saja Kementerian Agama menerbitkan sertifikasi dai. Namun, tidak boleh diwajibkan," kata Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Tafsir, di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (22/11/2019).

Advertisement

Bagi dai yang berminat mendapatkan sertifikasi, dia mempersilakan. Namun, bagi dai yang menganggap tidak perlu sertifikasi, tidak boleh dipaksakan.

"Dai atau mubalig beda dengan profesi pengacara atau dokter. Serahkan saja kepada masyarakat. Mereka mau mengundang dai yang bersertifikasi atau tidak, itu terserah mereka," kata dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang itu.

Advertisement

"Dai atau mubalig beda dengan profesi pengacara atau dokter. Serahkan saja kepada masyarakat. Mereka mau mengundang dai yang bersertifikasi atau tidak, itu terserah mereka," kata dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang itu.

Sebelumnya, Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa pihaknya sedang menyiapkan program sertifikasi dai atau pendakwah. Menurut Tafsir, sertifikasi dai tersebut terkait dengan kebijakan untuk mendorong penyebarluasan paham keagamaan yang moderat versi pemerintah.

"Ukuran moderat untuk paham yang satu dengan yang lain bisa jadi berbeda. Jadi yang dimaksud moderat tersebut tentu versi pemerintah," katanya.

Advertisement

Ia mengakui mencuatnya fenomena konservatisme pada sebagian kelompok dengan penggunaan atribut fisik, seperti pemakaian cadar (niqab) atau celana cingkrang. "Namun, fenomena tersebut tidak akan bertahan lama karena bakal tergilas perubahan zaman," katanya.

Menurutnya, cadar sah untuk setiap orang yang menginginkan. "Penggunaan cadar itu sah-sah saja. Namun, itu lebih menggambarkan physicial symbol [simbol fisik] kembali ke masa lalu," katanya.

Menurut dia, penggunaan simbol fisik seperti itu bukan menunjukkan cara Islam berkemajuan, melainkan kemunduran karena mereka mengacu pada masa lalu. "Tetap sah memakai cadar. Itu menggambarkan konservatisme, bukan sesuatu yang progresif dalam menghadapi tantangan zaman," ujarnya.

Advertisement

Menurut dia, ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan dalam keberagamaan, yakni budaya agama, fikih, dan syariah. "Syariah tidak boleh berubah, tetapi fikih dan budaya agama berubah seusai dengan ruang dan waktu," katanya.

Menutup aurat, katanya, merupakan syariah, sedangkan memakai sarung untuk menutup aurat itu budaya agama. "Sah saja menutup aurat pakai sarung. Kalau di Arab, budayanya pakai jubah," katanya.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif