SOLOPOS.COM - Rahayuningsih (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap dunia usaha tanpa terkecuali. Setiap pebisnis dituntut cepat, adaptif, dan inovatif agar bisa bertahan menghadapi perubahan pasar dan pola konsumsi masyarakat.

Hal serupa dialami dua pengusaha muda Elisa Suteja (CEO Fore Coffee) dan Chrisanti Indiana (Co. Founder & CMO Social Bella). Industri yang mereka jalani tergerus signifikan. Tak patah semangat, keduanya optimistis mampu bertahan dalam kondisi saat ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Selama pandemi aktivitas dua perempuan ini tak berkurang. Memantau kinerja penjualan, mengatur strategi, hingga turun langsung meracik produk yang akan diluncurkan. Pergerakan tren yang begitu cepat terjadi juga terus diikuti.

Seluruh tim yang terlibat diajak lebih fokus agar bisa mencapai tujuan. Tak mudah menyerah, jangan takut gagal, dan tahu kebutuhan konsumen adalah prinsip yang dipegang keduanya dalam menjalankan roda usaha.

Memimpin perusahaan dengan jumlah karyawan yang tidak sedikit, karyawan Fore lebih dari 300 orang dan karyawan Social Bella 250 orang, kedua perusahaan itu berhasil mengumpulkan pendanaan dari investor. Fore berhasil meraih pendanaan seri A senilai US$8,5 juta atau sekitar Rp127 milar dari East Ventures pada 2019.

Sementara Social Bella mampu mengumpulkan US$40 juta dalam putaran seri D yang dipimpin oleh EV Growth, Temasek, dan beberapa investor lainnya seperti Pavilion Capital, Jungle Ventures, dan EDBI pada tahun lalu.

Masuknya para pemodal itu bukanlah kali pertama. Pada 2018, Social Bella juga berhasil mengumpulkan US$12 juta putaran seri C yang juga dipimpin oleh EV Growth. Dengan pencapaian tersebut, tak mengherankan bila Forbes memasukkan Elisa dan Santi ke dalam daftar 22 anak muda Indonesia berprestasi di bawah usia 30 tahun atau dikenal dengan Forbes 30 Under 30 pada awal tahun ini.

Tak mau cepat berpuas hati, keduanya menilai penghargaan yang diberikan oleh Forbes merupakan sebuah milestone dalam perjalanan karier mereka. Pengakuan itu juga merupakan hasil kerja dari semua anggota tim. Tanpa itu, mereka bukan siapa-siapa.

Elisa dan Santi memulai bisnis dari nol. Elisa bercerita pada saat membuka bisnis kopi, dia hanya menumpang di salah satu ruang usaha milik temannya. Berbekal kesukaan pada kopi dan pemahamannya akan karakteristik penikmat kopi di Tanah Air, Elisa memberanikan diri memulai usaha Fore Coffee pada 2018.

Dengan model bisnis yang tepat, yaitu memadukan kopi dan teknologi, dagangannya mampu menarik perhatian konsumen dengan cepat dikenal di tengah ketatnya persaingan. Hampir dua tahun Elisa menjalankan usaha ini bersama rekannya.

Tahun lalu merupakan pencapaian yang cukup membuatnya bangga dan optimistis untuk terus melaju pada tahun ini. Memasuki 2019, Elisa sudah punya banyak rencana, salah satunya memperluas jaringan rantai kopi yang saat ini sudah tersebar di beberapa daerah yaitu Jabodetabek, Bandung, Surabaya, hingga Medan.

Pada akhirnya mimpi itu harus ditunda akibat pandemi Covid-2019. Tak ada pilihan lain. Terlebih setelah pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai kota di Indonesia. Gerai yang banyak beroperasi di mal dan perkantoran terpaksa ditutup.

Sayangnya, penutupan gerai Fore di berbagai tempat tersebut sempat memunculkan isu bahwa Fore menutup seluruh operasionalnya, padahal langkah manajemen pada saat itu, selain karena mematuhi kebijakan pemerintah yang ingin membatasi gerak masyarakat juga sebagai inisiatif untuk beradaptasi dengan perubahan situasi bisnis termasuk di dalamnya optimalisasi layanan toko offline dengan menggabung gerai dalam lokasi berdekatan.

Meski demikian, Elisa mengakui saat ini transaksi penjualan Fore Coffee menurun secara signifikan, sama seperti industri makanan dan minuman lainnya. Untuk mencegah penurunan penjualan lebih dalam, manajemen selalu berinovasi dalam menghadirkan menu baru yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen, misalnya menghadirkan wedang uwuh dan temulawak rempah saat awal Indonesia terjangkit virus corona.

Alasannya sederhana, pandemi Covid-19 meningkatkan kesadaran masyarakat atas pentingnya memelihara daya tahan tubuh sehingga mendorong permintaan atas jamu. Selain itu, bagi konsumen yang menyukai membuat kopi, manajemen juga menghadirkan produk yang bisa diracik sendiri di rumah. Peluang tersebut ditangkap oleh manajemen.

Potensi Besar  

Selalu ada peluang dalam kesulitan. Itu juga diyakini Chrisanti Indiana,  Co. Founder & CMO Social Bella. Baginya, selain tantangan yang berlipat, kondisi saat ini memperlihatkan potensi besar dari pengembangan e-commerce di Indonesia untuk industri kecantikan.

Dengan hampir semua aktivitas dilakukan di rumah, tren berbelanja kebutuhan produk kecantikan dan perawatan diri secara online terlihat menunjukkan peningkatan mengingat masih ditutupnya aktivitas di salon dan spa.

Konsumen juga termotivasi untuk memanfaatkan momen beraktivitas di rumah sebagai waktu terbaik untuk merawat diri. Atas perubahan perilaku serta kebutuhan pelanggan, Social Bella melakukan berbagai langkah guna menyesuaikan diri, antara lain dengan menghadirkan produk dan edukasi yang relevan di platform e-commerce Sociolla untuk menjaga engagement selama masa ini berlangsung.

Tahun ini pasti berat bagi semua pihak. Santi dan tim masih melihat industri kecantikan, khususnya di region Asia dan Indonesia, akan terus tumbuh dengan sangat pesat, terlebih berkat berkembangnya infrastruktur dan teknologi.

Menurut laporan Euromonitor International, konsumsi produk kecantikan dan perawatan diri di kawasan Asia menguasai 32% dari total pasar secara global dan diprediksi memiliki pertumbuhan sebesar 6,7% selama lima tahun ke depan.

Sementara itu, di Indonesia, meningkatnya gaya hidup, bertambahnya kalangan menengah, mendorong pertumbuhan permintaan produk kosmetik. Mengutip Euromonitor, pasar kecantikan dan perawatan diri di Indonesia diperkirakan mencapai US$6,03 miliar pada 2019 dan diperkirakan dapat tumbuh menjadi US$8,46 miliar pada 2022.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia ternyata masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga. Rata-rata belanja produk kecantikan dan perawatan di Tanah Air baru mencapai US$20 per kapita, lebih rendah dibandingkan dengan Thailand yang mencapai US$56 per kapita dan Malaysia US$75 per kapita.

Dengan jumlah populasi penduduk usia muda yang sangat besar, ruang bertumbuh industri kosmetik di dalam negeri masih sangat luas. Hal ini menjadi kesempatan untuk para pemain di industri kecantikan, termasuk Social Bella.



Dengan kondisi pandemi telah memberikan imbas yang cukup besar bagi dunia industri, termasuk kecantikan dan produk perawatan diri, Social Bella tetap optimistis bisa menjalankan rencana dan strategi bisnis pada tahun ini.

Ada beberapa rencana bisnis yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Pengembangan bisnis ini berkaitan dengan target pasar baru bagi Social Bella, yakni menyasar kalangan ibu yang memiliki potensi cukup besar di Indonesia.

Keduanya berharap pembukaan aktivitas ekonomi di berbagai wilayah di Tanah Air bisa mendorong industri untuk mulai pulih secara perlahan. Fore, misalnya, saat ini sudah membuka 57 gerai dari 77 gerai yang dimiliki.

Tak mudah memang menjalankan usaha di tengah pandemi Covid-19. Tak cukup mengandalkan teknologi, pebisnis juga harus mampu berinovasi dan beradaptasi dengan perilaku konsumen saat ini.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya