SOLOPOS.COM - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. (Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay/pras)

Solopos.com, JAKARTA — Politikus Partai Demokrat Rachland Nashidik menyarankan agar Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mundur saja dari ketua umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatra Utara. Saran agar Moelditu mundur mengemuka demi tidak membebani Presiden Joko Widodo.

Rachland mengatakan hal itu seharusnya dilakukan Moeldoko jika tidak ingin membebani Presiden Jokowi dan koleganya di pemerintah dari protes publik akibat upaya pengambilalihan Partai Demokrat dari pemimpin yang sah, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), melalui KLB Deli Serdang, Sumut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

"Jalan terbaik bagi @GeneralMoeldoko adalah mundur dari Ketum abal-abal hasil KLB ilegal. Dengan begitu, ia lepaskan Presiden dan koleganya di pemerintah dari beban tak perlu dan sasaran protes publik," kata Rachland melalui akun Twitter @RachlanNashidik, Jumat (12/3/2021).

Baca Juga: Peluang Bisnis Makanan Beku

Ekspedisi Mudik 2024

Rachland juga mengatakan mundurnya Moeldoko dari ketum versi KLB akan membuat Presiden Jokowi memiliki alasan untuk tetap mempertahankannya di Istana Kepresidenan. Sementara itu, sejumlah pihak sempat menyuarakan agar Jokowi mencopot jabatan Moeldoko sebagai Kepala KSP sehubungan dengan keterlibatannya dalam upaya mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat.

Salah satu yang menyampaikan hal tersebut ialah Guru Besar Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Jakarta Din Syamsuddin. Dia menilai Moeldoko layak dipecat dari jabatan sebagai kepala Staf Kepresidenan atas keterlibatannya dalam Kongres Luar Biasa atau KLB Demokrat.

Syarat Pemecatan

Din mengatakan, pemecatan bisa dilakukan jika Moeldoko belum mendapat izin dari Presiden Jokowi. "Jika beliau tidak pernah mengizinkan maka Jenderal (Purn) Moeldoko layak dipecat dari KSP, karena merusak citra Presiden, dan jika dia memimpin partai politik maka akan mengganggu pelaksanaan tugasnya sebagai KSP," kata Din Syamsuddin dalam keterangannya, Senin (8/3/2021).

Disebut, jika Jokowi mengizinkan atau memberi restu, maka dapat dianggap Presiden telah mengintervensi sebuah partai politik dan merusak tatanan demokrasi. Menurut Din, KLB Demokrat menampilkan atraksi politik dan tragedi demokrasi yang fatal.

Baca Juga: SBY: Akal Sehat Telah Mati!

Pelaksanaannya membuktikan bahwa upaya pendongkelan terhadap kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang sempat dibantah oleh pihak yang dituduh sebagai pelaku ternyata bukan isu apalagi rumor. "Bantahan itu telah berfungsi semacam self fulfilling prophecy atau hal yang diciptakan untuk menjadi kenyataan," ujarnya.

Dari informasi yang diterima, kata Din, pelaksanaan KLB yang menetapkan kepemimpinan Moeldoko itu tidak berizin dan tidak sesuai dengan AD/ART Partai Demokrat, serta bertentangan dengan paradigma etika politik berdasarkan Pancasila.

Dia menilai hal yang tepat dan terbaik bagi pemerintah adalah menolak keputusan KLB tersebut. "Jika Pemerintah mengesahkannya maka akan menjadi preseden buruk bagi pengembangan demokrasi Indonesia, dan menciptakan kegaduhan nasional," pungkas Din.

KLIK dan LIKE untuk lebih banyak berita Solopos

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya