SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Modern dance di Jogja marak ditarikan remaja. Banyak dari mereka yang hanya ingin merasa trendi ketika menari. Meski banyak juga yang menggelutinya karena rasa seni. Tarian jumpalitan itu memang menawarkan sensasi tersendiri.

Jika dilihat arti katanya, modern dance sebenarnya tak bisa diterjemahkan sebagai tari modern dalam bahasa Indonesia. Menurut Daruni, pengamat tari yang juga dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, modern dance memiliki riwayat khusus di Amerika Latin. “Di sana, modern dance adalah salah satu genre tari ketika balet klasik dan romantik mulai bergeser,” kata Daruni. 

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Daruni menjelaskan hal itu terjadi sekitar awal abad ke-20. Beberapa penari seperti Loie Fuller, Isadora Duncan dan Ruth St. Denis memberontak dan tidak setuju dengan balet yang harus memakai sepatu dan rok mini. Mereka ingin menari dan berkarya secara bebas memakai rok panjang dan telanjang kaki.
 
“Gebrakan itulah yang memunculkan genre modern dance. Dengan ciri-ciri merentangkan tubuh, melompat, jatuh, menciutkan tubuh. Mereka nggak mau ikut aturan balet,” ujar Daruni.

Modern dance lantas menyebar di Indonesia bahkan Jogja pada 1960-an ketika Bagong Kussudiardja memperoleh beasiswa dari pemerintah Indonesia ke Amerika Latin. Setelah selesai belajar, Bagong membawa serta modern dance dan menularkannya kepada beberapa orang di Tanah Air. 

“Itulah asal mula modern dance berkembang di Indonesia dan sampai ke Jogja. Menurut masyarakat Jawa tari itu aneh, pakai sampur, celana panjang ketat, musiknya kendang dan telanjang kaki,” jelas Daruni.

Apa yang dituturkan Daruni mengacu pada masa awal modern dance masuk ke Tanah Air. Kini, terang Daruni, modern dance sudah salah kaprah di tangan remaja. Mereka menuruti ajakan teman, atau bisa jadi takut dianggap tidak gaul jika tak bisa memainkan modern dance.

Daruni mengindikasikan hal itu dikarenakan kontribusi penyanyi pop idola yang mengimitasi modern dance, sehingga mempengaruhi remaja.  Ditambah lagi, sekitar  1970-an, ISI Jogja yang dulu bernama ASTI sering kedatangan dosen tamu dari Amerika yang mau tidak mau mempengaruhi mahasiswanya dengan tari gaya negara asalnya.

Apalagi posisi remaja saat ini, lanjutnya, tidak ingin berpikir njlimet. Mereka, tuding Daruni, ingin sekadar have fun, sekadar untuk bergerak, senang dan punya komunitas. “Yang penting mereka mau gerak dulu, biasanya tawaran pertama anak menyukai tari adalah suka geraknya dulu. Lama-lama akan muncul keinginan untuk mempelajari jenis tari lain termasuk tradisi.”

Sepanjang pemilihannya selektif, menurut Daruni tidak masalah. “Yang penting tidak wudo-wudo [telanjang] amat, tidak mleding-mleding [jongkok] amat, karena saya yakin mereka akan jenuh sendiri suatu saat, dan mencari apa yang sebenarnya mereka inginkan,” lanjut perempuan yang lahir di Jogja 16 Mei 1960 silam.

Wadah kurang
Bagi Pamungkas Agus Rusmanto, 26,  koreografer modern dance yang tampil rutin tiap Sabtu di Mirota Batik, Jalan Ahmad Yani, Jogja, mengaku harus memutar otak merancang gerak.

Bagi lelaki yang kerap dijuluki Agus Koreo ini, inspirasinya bisa datang dari mana saja. Merancang gerak berbeda setiap hari bagi Agus bukan beban tapi menjadi kesenangan. “Aku lebih suka menciptakan kabaret, ada parodi, cerita, lipsync dan gerakannya lincah,” ucap lelaki asal Bantul ini saat ditemui Harian Jogja, pekan lalu.

Meski demikian Agus Koreo menyayangkan saat ini di Jogja modern dance tak memiliki banyak ruang. Padahal, di Jogja modern dance semakin populer. Apalagi saat ini yang sedang ngetren adalah hip hop, yang seolah meracuni remaja SMA dan kuliah.

Soal remaja yang kini tengah dibuai modern dance khususnya hip hop dance bukan merupakan kesalahan. Di satu sisi, masa remaja merupakan masa transisi dimana mereka masih mencari jati diri. Meski demikian, Agus juga merasa prihatin para remaja tak memanfaatkan warisan budaya yang sudah ada.

“Kenapa kita tidak bangga dengan budaya kita sendiri, Tari Gambyong misalnya. Dengan tidak menghilangkan tradisinya, kita bisa mengembangkan tari itu dengan gerakan yang lebih lincah,” tegas Agus.(Wartawan Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

HARJO CETAK

Foto (Harian Jogja/Holy Kartika N.S)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya