SOLOPOS.COM - Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga. (Istimewa)

Kekayaan dimensi keagamaan dalam Islam mencakup sisi rasional dan eksperiensial/pengalaman. Dale Cannon secara komprehensif menjelaskan mengenai enam cara beragama, dua di antaranya adalah pencarian akal (reasoned inquiry) dan pencarian mistik/pengalaman (mystical quest).

Cara beragama melalui penelitian akal lebih memperhatikan pada upaya para pemeluk agama Islam untuk mencari kebenaran melalui pendekatan intelektual atau pendekatan rasional. Sesuai dengan namanya, penelitian rasional dalam beragama ini memotivasi mereka untuk senantiasa mencari jawaban atas segala rasa ingin tahu, mencari jawaban atas ketidakpahaman dan ketidakpuasan intelektualnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Penanda dari pencarian akal ini adalah penggunaan rasio. Pemeluk Islam yang memilih cara ini terus-menerus mempergunakan nalarnya untuk memahami ajaran-ajaran agamanya. Pencarian akal juga mengejar petunjuk-petunjuk untuk memahami dan memecahkan persoalan-persoalan kehidupan melalui argumentasi-argumentasi rasional dan pandangan dunia (worldview) yang menyeluruh dan sistematis.

Pencarian/pengalaman mistik adalah upaya pemeluk Islam yang selalu gelisah akan kebaikan yang tidak riil dan tidak subtansial karena itu mereka tidak yakin mengenai realitas mutlak sebagaimana yang dikisahkan atau dijelaskan secara rasional oleh pihak lain. Pemeluk Islam yang memilih cara beragama semacam ini hendak menyelami realitas mutlak itu melalui pengalaman langsung, pengalaman mistik, pengalaman intuitif, disiplin asketik dan meditatif.

Mereka ini biasa disebut para sufi, salik, mistikus, dan semacamnya. Dalam proses pencarian pengalaman mistik ini mereka membutuhkan pendamping spiritual –wali, qutub, guru, mursyid– yang setia mendampingi pencarian tersebut.

Terkait dimensi rasional dan eksperiensial ini, ada diskusi menarik di kalangan pemikir Barat dan Muslim. Dalam wacana tradisi mistik Ortodoks Yunani, rasio didefinisikan sebagai “kemampuan konseptualisasi dan logis” yang lebih rendah daripada pengetahuan spiritual dan tidak menyiratkan persepsi langsung dari indra batin. Intelek, pada sisi lain, adalah “indra tertinggi, asalkan itu adalah esensi batin yang murni” dan berada di kedalaman jiwa –aspek terdalam dari hati–.

William Chittick ketika mengomentari filsafat Islam klasik dan teks mistik, menjelaskan penggunaan al-‘aql sebagai kata kerja. Dia mencatat bahwa intelek adalah suatu keadaan nalar yang terbatas, sampai nalar tersebut aktif dalam pencarian pengetahuan. Namun, ia menjelaskan bahwa rasio/akal manusia, bersifat ‘mengikat’ dalam arti membatasi atau terbatas. Ada batasan untuk apa yang dapat diketahui oleh akal manusia, sedangkan kebenaran Tuhan adalah tak terbatas.

Hossein Nasr lebih lanjut menegaskan bahwa ada kecenderungan dalam bahasa Barat untuk menyamakan ‘aql, intelek, dengan rasio. Ketika penalaran manusia terikat dalam suatu hubungan dengan pengetahuan ilahi, maka nalar manusia mencerminkan pengetahuan eksoteris (zhahir) dan pengetahuan esoteris (bathin) sekaligus.

Kontingensi penalaran manusia pada ‘aql ini, atau intelek membantu manusia untuk mencapai potensi paripurna dan ciptaan terbaik (ashraf al-makhluqat).

Perbedaan antara rasio dan intelek ini menunjukkan kenaikan intelektual dari kecerdasan manusiawi ke pengetahuan Ilahi. Intinya, ‘aql, atau intelek manusia memiliki potensi untuk memahami kebenaran Tuhan yang tidak terbatas, asalkan karunia penalaran ini diperdalam dan ditingkatkan oleh pengetahuan ilahi yang hadir dalam wahyu dan tanda-tanda yang hadir dalam ciptaan.

Nasr berpendapat bahwa ketika manusia memperoleh pengetahuan yang hadir dalam lingkungan mereka, di alam dan dalam interaksi dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain, maka itu akan menghasilkan pemahaman tentang “bentuk-bentuk yang dapat dipahami pertama yang ditempatkan dalam jiwa,” dari Yang Ilahi.

Setelah mengikuti diskusi Chittick dan Nasr di atas, kita perlu menyoroti hubungan antara intelek dan intuisi. Chittick menyatakan bahwa menurut para filosof Peripatetik seperti seperti Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, manusia dapat memahami “realitas sesuatu” dan mencapai “kebenaran tertinggi” tanpa pengetahuan dan pengalaman mistik dan kitab suci. Namun, penyelidikan intelektual mereka mendukung premis bahwa “Tindakan memperoleh pengetahuan memerlukan semacam pencerahan oleh Intelek Aktif (al-‘aql al-fa`al).

Nasr mencatat bahwa Al-Qur’an menberikan perhatian pada peran sentral intelek (al-‘aql), dan peran penalaran dan pemahaman (ta’aqqul atau tafaqquh) dalam kehidupan duniawi seorang mukmin, dan juga dalam proses penyelamatan jiwa –yakni pelarian dari aspek material duniawi dan menjaga hubungan dengan yang ilahi-.

Ia mengacu pada ayat Al-Qur’an berikut ini, di mana Allah berfirman:

“Kami telah menjelaskan wahyu kami kepada orang-orang yang mengerti” (QS. al-An`am 6:98).

Manusia dikaruniai akal atau intelek untuk menguraikan aspek-aspek lahiriah (zhahir) dan batin (bathin) dari alam dan pesan Tuhan melalui wahyu. Dalam pandangan Al-Qur’an, penciptaan itu sendiri berfungsi sebagai rambu pemikiran reflektif. Nasr menjelaskan bahwa intelek dan intuisi terkait erat.

Intuisi baginya adalah “partisipasi” dalam memahami ilmu (`ilm) dari Kalam Allah dan tanda-tanda yang ada dalam ciptaan. Untuk sepenuhnya dapat memahami hubungan antara intelek dan intuisi manusia, maka penting kiranya menggarisbawahi bahwa wahyu berfungsi sebagai buaian ilmu dan pencerahan bagi orang mukmin.

Dengan demikian, wahyu ilahi dan penggunaan intelek secara aktif memungkinkan seseorang menuju jalan intuisi. Teks Al-Qur’an secara aktif mendorong pembaca untuk merenungkan dan memikirkan penggunaan intelek, seringkali dengan menggunakan ungkapan seperti ‘tidakkah kamu bernalar?’ Tujuannya adalah untuk menunjukkan pemanfaatan intelek untuk menguraikan dan bertindak berdasarkan tanda-tanda yang ada dalam kitab suci tentang ilmu fisika dan etika.

Sebuah ayat menyebutkan bahwa ‘aql atau intelek terjadi dalam bentuk kata kerja, seperti: ta’qilun dan ya’qilun, di mana akal disebutkan dalam konteks suatu tindakan.
Dalam Al-Baqarah 2: ayat 242, Allah dengan jelas menyebutkan:

Demikianlah Allah menjelaskan tanda-tanda-Nya agar kamu menggunakan akal (laallakum ta’qilun).

Bersambung ke Bagian kedua…

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya