SOLOPOS.COM - Mahkamah Konstitusi (Mahkamahkonstitusi.go.id)

Putusan MK yang menganulir kewenangan pemerintah pusat menghapus perda bermasalah dinilai melemahkan kontrol pusat.

Solopos.com, JAKARTA — Proses deregulasi kembali mendapat tantangan setelah pada 14 Juni lalu Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 56/PUU/2016 kembali menganulir kewenangan executive review (pemerintah pusat) membatalkan peraturan daerah (perda) provinsi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ketua Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudi menilai putusan itu akan memperlemah pengawasan pemerintah pusat dalam mengontrol perda-perda bermasalah di daerah. Implikasinya, daya saing bakal turun dan investor akan angkat kaki karena adanya ketidakpastian usaha akibat perda-perda tersebut.

“Di beberapa daerah saya kira sudah nampak. Misalnya di daerah yang memiliki over value, namun kemudian memunculkan kebijakan-kebijakan yang distorsif secara alamiah daerah itu akan ditinggal investasi,” ujar Agung di Jakarta, Selasa (20/6/2017).

KPPOD sendiri sejak 2010 telah memiliki data sekitar 15.146 perda yang 5.560 diantaranya menjadi fokus kajian mereka. Dari jumlah itu, 1.082 sudah selesai dikaji dan hasilnya 50,55% atau 547 perda tercatat bermasalah. Sedangkan pemerintah, pada tahun lalu, setidaknya telah membatalkan 3.143 peraturan daerah yang dianggap menghambat daya saing nasional.

Namun demikian, menurut Agung, keluarnya putusan MK itu juga menjadi ancaman bagi proses deregulasi 3.143 perda tersebut. Pasalnya, dari jumlah itu, hanya sebagian yang sudah diterbitkan surat keputusannya oleh pemerintah. Artinya, masih ada beberapa regulasi yang terancam tidak bisa dibatalkan pascaputusan tersebut.

Padahal, kala itu, deregulasi itu dilakukan untuk meningkatkan daya saing nasional dan memberikan kepastian bagi pelaku usaha. Belum lagi, pemerintah baru saja mengeluarkan paket kebijakan ekonomi ke XV. Kendati belum memiliki implikasi langsung, putusan MK itu bakal menghambat implementasi paket kebijakan tersebut.

Dari hasil penelitian KPPOD, putusan MK yang mencabut kewenangan represif pemerintah pusat untuk mengontrol perda bermasalah itu menimbulkan empat hal. Pertama, menghapus pengawsan pemerintah pusat terhadap perda; kedua, menghambat policy delivery dari pusat ke daerah misalnya paket kebijakan, deregulasi, dan dibirokratisasi.

Ketiga, putusan itu menghapus sistem check and balances terhadap pengawasan perda. Sedangkan yang keempat, putusan itu juga telah menempatkan masyarakat dan pelaku usaha sebagai pihak yang secara vis–a–vis berhadapan dengan pemerintah daerah.

Sebelumnya, dalam sidang yang digelar pada 14 Juni kemarin, MK menganggap frasa perda provinsi dalam Pasal 251 Ayat 1, 4,5 dan 7 Undang-Undang No. 23/2014 tentang pemerintahan daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Aturan itu sebelumnya mengatur Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya