SOLOPOS.COM - Abdi dalem mementaskan tari Bedhaya Ketawang saat Tingalan Jumenengan PB XIII di Sasana Sewaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sabtu (22/4/2017). (M Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Tari Bedhaya Ketawang merupakan tari mistis Keraton Solo.

Solopos.com, SOLO — Tari Bedhaya Ketawang menyimpan sejuta misteri. Kesakralannya melampaui tarian apa pun dalam sejarah Kerajaan Mataram. Tarian ini hanya dimainkan sekali dalam setahun pada peringatan naik takhta sang raja.

Promosi Keren! BRI Jadi Satu-Satunya Merek Indonesia di Daftar Brand Finance Global 500

Bedhaya Ketawang berkisah tentang percintaan Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kencana Hadisari atau Ratu Pantai Selatan. Ada tiga bait cerita dalam tari berdurasi sekitar dua jam itu.

Sinuhun PB XIII  di dampar kencana (singgasana) saat menyaksikan tarian Bedhaya Ketawang dalam Tingalan Jumenengan (peringatan kenaikan tahta raja) di Sasana Sewaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sabtu (22/4/2017). (M Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Sinuhun PB XIII di dampar kencana (singgasana) saat menyaksikan tarian Bedhaya Ketawang dalam Tingalan Jumenengan (peringatan kenaikan tahta raja) di Sasana Sewaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sabtu (22/4/2017). (M Ferri Setiawan/JIBI/Solopos)

Bait pertama bercerita tentang jatuh cintanya pada sosok Panembahan Senopati. Dilanjutkan bait kedua berisi perkawinan mereka dan bait ketiga mengisahkan perpisahan keduanya lantaran beda dunia.

“Di sana disampaikan bahwa anak keturunan Panembahan Senopati akan menjadi suaminya untuk melindungi kerajaan Mataram,” ujar G.K.R. Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, putri Sinuhun Paku Buwono XIII, yang juga mantan bendara bedhaya, sebutan untuk penari Bedhaya Ketawang, ketika ditemui Solopos.com, Jumat (14/4/2017) malam.

Ada sembilan perempuan yang menarikan Bedhaya Ketawang. Jumlah itu melambangkan sembilan lubang pada tubuh manusia. Para penari didandani dengan pakaian dan riasan menyerupai pengantin.

Disebutkan bahwa pakaian untuk pengantin putri terinspirasi dari pakaian bendara bedhaya. Dikenakan pula sebuah dodhot bermotif aneka binatang yang menghadap ke telaga.

“Setiap kali menari meski latihan pun harus dengan pakaian seperti hari-H. Tempatnya juga harus di Sasana Sewaka, gamelannya juga khusus. Bahkan, sebelum dan sesudah menari, ada ritual caos dhahar kepada kiblat papat lima pancer,” terang Rumbai, panggilan akrabnya, Rumbai menjadi bendara bedhaya selama 20 tahun.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya