SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, BOYOLALI — Masa kolonial Belanda di Boyolali meninggalkan jejak sejarah berupa bangunan-bangunan dengan arsitektur khas Eropa/Belanda. Sebagian bangunan ini sudah sirna ditelan pembangunan kota dan sebagian lain masih berdiri walaupun ada yang telihat terawat dan ada yang tidak.

Selain itu, jejak lain berupa permakaman atau kerkhof. Salah satunya berada di lokasi yang saat ini dikenal dengan Taman Sonokridanggo/Kridanggo di Kelurahan Siswodipuran, Kecamatan Boyolali Kota. Kuburan-kuburan orang Eropa/Belanda ini hampir semuanya sudah dipindahkan ke permakaman di Sonolayu kecamatan yang sama.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di kerkhof yang berlokasi di wilayah Kampung Gudang, Kelurahan Siswodipuran, ini hanya tersisa dua kuburan di antara rumah-rumah (relokasi) warga sekitar yang terkena gusuran pembangunan jembatan Kridanggo.

Dua makam tersebut tampak masih utuh. Kedua nisan masing-masing bertuliskan Glara Hortense Juch yang lahir di Boyolali 10 Juni 1889 dan meninggal di Purworejo 6 September 1909. Sedangkan nisan makam satunya bertuliskan Karel Simon.

Ekspedisi Mudik 2024

Warga setempat tidak ada yang tahu siapa mereka dan mengapa makam itu tidak ikut dipindah. Sumiyen, 62 warga perumahan sekitar makam mengatakan selain permakaman di Taman Kridanggo itu, ada permakaman orang Eropa/Belanda lain di Kampung Pambraman, Kelurahan Banaran, kecamatan yang sama.

Berbeda dengan kerkhof di Kampung Gudang yang diperkirakan merupakan permakaman umum, makam di Kampung Pambraman diperkirakan makam pribadi seorang tokoh pada zamannya.

Di makam itu terdapat empat kubur untuk orang tua dan dua anaknya. Dulu, kata dia, makam itu dirawat kakeknya, Sumo Wiyono, yang kini sudah meninggal.

“Di sana ada empat makam. Dulu yang merawat kakek saya. Setelah dia meninggal saya tidak tahu kondisi makam itu sekarang,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, pekan lalu.

Tidak banyak yang dia tahu perihal siapa yang dikubur di makam tersebut. Namun dia menyebut ada orang berusia lanjut yang mungkin bisa memberikan petunjuk. “Namanya Mbah Suti, tinggalnya di dekat makam,” ujarnya.

Solopos.com kemudian menuju makam Pambraman yang ternyata tidak sulit untuk ditemukan karena berada di perkampungan tepi Kali Gedhe untuk menemui Suti dan mencari tahu sejarah makam itu. Tapi nenek yang usianya 80-90 tahun tersebut sudah tidak dapat mendengarkan suara percakapan.

Namun ada warga lansia lainnya, Kemi, 77, warga yang tinggal di rumah sebelah makam. Laki-laki yang ternyata sekarang merawat kubur itu pun tak tahu siapa orang Eropa/Belanda yang dimakamkan di tempat itu.

Dia memperkirakan Pambraman berasal dari nama Van Bram yang hidup pada zaman penjajahan Belanda yang tinggal di situ. Tidak jelas apakah dia seorang pedagang atau pejabat Belanda pada saat itu.

Tapi kemungkinan dia adalah tokoh berpengaruh di Boyolali sehingga kampung tempat tinggalnya disebut Van Bram-an (Vambraman=Pambraman). “Mungkin yang dimakamkan di sini namanya Tuan Van Bram,” ujar laki-laki kelahiran Selo yang pindah ke Boyolali sejak 1959 ini.

Uniknya, meski diperkirakan sudah ada puluhan hingga ratusan tahun, makam Pambraman masih diziarahi keturunannya di Belanda. Biasanya mereka hanya menabur bunga kemudian pergi lagi.

“Sejak saya di sini, keturunannya dari Belanda masih datang [berkala] ke sini berziarah. Terakhir ke sini Desember 2018,” imbuhnya.

Menurutnya, Van Bram juga punya keturunan lain yang saat ini tinggal di Purworejo. Mereka juga rutin berziarah. “Kalau yang dari Purworejo itu lebih sering ke sini. Mereka juga yang membiayai pembangunan rumah pelindung makam. Terakhir ke sini Desember 2018, tapi tanggalnya beda dengan yang dari Belanda,” imbuhnya sembari menambahkan dia tidak pernah bertanya kepada peziarah itu perihal jasad di dalam kubur itu.

Sementara itu, budayawan Solo Mufti Raharjo memperkirakan Van Bram adalah tokoh Pemerintah Belanda yang meninggal di Boyolali. “Karena saat itu setelah perang Jawa [Perang Diponegoro 1825-1830] kompeni membangun, menambah, dan memperkuat bangunan benteng dari Semarang-Solo-Ngawi dan personelnya orang kompeni,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya