SOLOPOS.COM - Peresmian Patung Pakubuwono VI di Simpang PB VI Desa Samiran, Selo, Boyolali, Kamis (4/11/2021). (Solopos/dok)

Solopos.com, SOLO — Penyebab kematian Paku Buwono atau PB VI, Raja Keraton Solo yang juga pahlawan nasional dari Kota Bengawan hingga kini masih diselubungi misteri. Pemerintah kolonial Belanda menyebut PB VI wafat pada 5 Juli 1849 karena kecelakaan di kapal saat perjalanan menuju lokasi pembuangannya di Ambon.

Namun, penyebab kematian itu menjadi samar ketika jenazahnya dipindahkan dari Ambon ke Imogiri, Yogyakarta, pada 10 Maret 1957. Saat pemindahan jenazah itu ditemukan lubang bekas peluru di dahi PB VI.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

“Sekitar 1950-an ketika jenazahnya dipindah, ditemukan lubang peluru di atas dahi PB VI yang mengindikasikan penyebab dari meninggalnya PB VI saat itu bukanlah karena kecelakaan di kapal menuju Ambon, tetapi karena tembakan menembus dahi,” ungkap Ketua komunitas pencinta sejarah Solo Societeit, Dani Saptoni, saat diwawancarai Solopos.com, Selasa (8/11/2022).

Dari berbagai sumber yang dihimpun Solopos.com, PB VI ditetapkan pahlawan nasional dari Solo atas jasanya dalam perang melawan pemerintah kolonial Belanda. Saat itu, PB VI berperang bersama Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa pada 1825-1830.

Selain harus berperang melawan Belanda, PB VI yang bernama asli BRM Sapardan rupanya juga harus berhadapan dengan tekanan dari internal kerajaan. Konflik internal ini bermula saat suksesi setelah PB V wafat.

Baca Juga: Kisah PB VI, Pahlawan dari Solo yang Berjuang Bersama Pangeran Diponegoro

Dikutip dari Jurnal Strategi Politik Pakubuwono VI Melawan Kolonial Belanda 1823-1830 terbitan Prodi Sejarah UNS Solo, saat itu peluang BRM Sapardan untuk mendapatkan takhta kerajaan dalam proses pergantian raja tahun 1923 sebenarnya tidak terlalu besar.

pahlawan dari solo
Pakubuwono (PB) VI atau Raden Mas Sapardan (Wikipedia)

BRM Sapardan merupakan putra PB V dengan selir, Raden Ayu Sosrokusumo. Pahlawan nasional dari Solo itu harus bersaing dengan pangeran-pangeran senior lain yang memiliki pendukung dan aliansi politik lebih kuat.

Konflik Internal Munculkan Oposisi

Namun, posisi BRM Sapardan lebih sebagai putra laki-laki tertua PB V memberikan nilai lebih dalam memperjuangkan takhta kerajaan. Dalam kondisi konflik suksesi tersebut, pemerintah kolonial melakukan intervensi.

Pemerintah kolonial cenderung memilih Pangeran Purbaya sebagai calon PB VI atas dasar senioritas. Namun, dalam proses pemilihan, Patih Sasradiningrat II mengusulkan BRM Sapardan sebagai PB VI.

Baca Juga: Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada 5 Tokoh

Usulan patih itu didasarkan pada wasiat PB V dan aspek hubungan darah di mana BRM Sapardan merupakan putra laki-laki tertua PB V. Usulan ini pun didukung oleh Pangeran Buminata.

Atas prakarsa serta rekomendasi dari kedua tokoh itu, pemerintah kolonial juga akhirnya memilih BRM Sapardan sebagai pengganti PB V. BRM Sapardan dinobatkan sebagai PB VI pada 15 Oktober 1823.

Meski sudah ada penobatan raja, konflik internal ini tidak hilang dan persaingan dua faksi di dalam Keraton akhir memunculkan oposisi yang bertujuan melengserkan PB VI. Tujuan itu tercapai saat PB VI bersama Pangeran Diponegoro terpojok oleh Belanda yang menerapkan siasat benteng Stelsell.

Siasat yang diterapkan oleh Jenderal De Kock mulai 1827 ini bertujuan mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa benteng-benteng di daerah-daerah yang telah dikuasai. 

Baca Juga: Sosok dr. Wahidin Sudirohusodo, Namanya Diabadikan di Kapal Bantu RS TNI AL

Siasat ini sukses. Pada 1829, semua pendukung Pangeran Diponegoro dan PB VI tersudut di sekitar Magelang, hingga akhirnya pada 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap. Sementara PB VI yang kemudian mendapat gelar pahlawan nasional juga tersudut karena tekanan dari kolonial dan kondisi ekonomi di sekitar Keraton Solo saat itu menimbulkan tekanan dari internal.

Lengser dan Dibuang ke Ambon

Faksi yang sejak awal menentang PB VI bergerak. Mereka yakni Pangeran Purbaya, Pangeran Adipati Hangabehi, dan Pangeran Arya Mataram. Puncaknya pada 1830, ketika pemerintah Kolonial di Jawa mengalami krisis finansial ditambah kondisi ekonomi Keraton pascaperang Jawa yang juga kekurangan, bahkan mengakibatkan kelaparan. 

Pemerintah Kolonial mencoba mengambil kesempatan dengan mengakusisi seluruh wilayah kerjaan Surakarta dan Yogyakarta atau yang biasa disebut wilayah Mancanegara. Dalam praktik awal pelaksanaan rencana penambilalihan wilayah mancanegara, pemerintah kolonial membentuk komisi kerajaan.

Komisi ini terdiri dari Nahuys van Burgst, JI van Sevenhoven dan P Merkus. Komisi kerajaan tersebut bertugas melakukan perundingan penyerahan wilayah mancanegara dengan Keraton Surakarta.

Baca Juga: Yos Sudarso, Pahlawan asal Salatiga yang Sangat Menyayangi Keluarga

Konflik antara PB VI dengan pemerintah kolonial dalam proses perundingan pengambilalihan wilayah mancanegara Keraton Surakarta terjadi pada Mei-Juni 1830. Adanya tekanan dari internal kerajaan membuat aspirasi PB VI dalam konflik penyerahan wilayah mancanegara mulai melunak.

Hingga akhirnya pahlawan nasional dari Solo itu menyetujui perjanjian dan lengser pada 1830. Ia digantikan PB VII. Sementara PB VI dibuang ke Ambon karena dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah kolonial.

Ia wafat pada 5 Juli 1849 dalam pembuangannya. Jasadnya sempat dimakamkan di Ambon sebelum dipindahkan ke Imogiri, Yogyakarta, pada 10 Maret 1957.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya