SOLOPOS.COM - Ilustrasi misa arwah di sebuah gereja. (gerejasmi.or.id)

Solopos.com, SOLO—Sabtu, 25 Desember 2015. Waktunya sekitar pukul 15.40 WIB saat aku selesai menunggu tukang yang memperbaiki genting rumahku.
Sayup kudengar handphone-ku berdering lirih di meja sudut kamar. Tiba-tiba saja aku merasa gugup entah kenapa.

Di layar handphone, muncul foto profil kakak perempuanku yang rumahnya sebenarnya di sebelah rumahku. “Ada apa ya,” gumamku dalam hati.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rasanya ragu untuk memulai percakapan. Apalagi kudengar suara kakakku yang terbata-bata disusul isak yang tak terbendung. Aku menjadi semakin bingung. Kakak perempuanku di Surabaya ternyata berpulang ke rumah Bapa di Surga. Berita yang menyedihkan itu justru hadir di saat aku sebagai pemeluk agama Katolik sedang bersuka cita menyambut datangnya Sang Juru Selamat di Hari Natal.

Namun apalah daya, aku hanya seorang hamba. Semua yang terjadi menurut kehendak-Nya. Tiba-tiba kuingat pesan almarhum kakakku yang diceritakan kembali oleh keponakanku, yakni tentang keinginan beliau pulang ke Solo pada 26 Desember 2015.

Ternyata, kakak perempuanku benar-benar pulang ke Solo, namun untuk selama-lamanya. Dengan berlinang air mata, aku bergegas keluar rumah. Berjalan melewati jalan kecil yang kering dengan tumbuhan bunga ala kadarnya di depan rumah. Aku bergegas menuju rumah kakak yang meneleponku tadi.

Melihat kedatanganku, kakakku semakin keras menangis. Dengan saling menguatkan, kami akhirnya belajar untuk menerima kehendak Tuhan.

Terbersit dalam pikiranku sepotong kalimat Romo di setiap Misa Arwah. “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil.” Kalimat inilah yang menguatkan hatiku sehingga pada akhirnya aku bergumam dalam hati. “Aku serahkan semua yang terjadi menurut Kehendak-Mu Ya Tuhan.”

Ditemani keponakanku, aku mulai menyiapkan segala keperluan untuk pemakaman kakakku. Kakakku berpesan jika dia berpulang, dia minta dimakamkan di Solo, tepatnya di Permakaman Daksinoloyo karena suaminya telah berpulang lebih dahulu. Suaminya dimakamkan di sana.

HP-ku kembali berdering. Kali ini dari salah seorang keponakan. Suaranya tak mampu kudengar sempurna karena berebut dengan suara hujan yang deras. Ia mengabarkan pencarian lokasi permakaman agak tertunda karena menunggu hujan reda.

Setelah hujan reda, keponakanku mencari lokasi makam di Daksinoloyo. Aku mulai menghubungi Ketua Lingkungan untuk meminta tolong menghubungi Romo yang akan memimpin Misa Arwah esok pagi.

Ritual Mengantar Jenazah

Misa Arwah merupakan ritual mengantar jenazah bagi penganut agama Katolik yang telah dibaptis. Adapun urutan misanya dimulai dengan Ritus Pembuka yang terdiri atas Nyanyian Pembuka Kumenghadap Tuhan Allah yang dikumandangkan Romo bersama umat Katolik yang hadir.

Selanjutnya adalah membuat tanda salib di dahi masing-masing serta salam dan kata pengantar dari Romo. Seterusnya, Romo bersama dengan umat mengucapkan doa tobat yang disambung dengan doa pembuka. Kemudian, masuklah tahapan yang disebut Liturgi Sabda.

Pada sesi ini, umat mendengarkan pembacaan kitab suci dari Romo maupun umat yang bertugas. Selesai Liturgi Sabda, dilanjutkan dengan Homili yang dibawakan Romo.

Acara berlanjut pemberkatan jenazah yang dilakukan Romo dan dilanjutkan dengan Liturgi Ekaristi yang meliputi nyanyian persembahan, doa persiapan persembahan, doa syukur agung, kemudian penerimaan komuni bagi umat yang telah dibaptis.

Bagian terakhir dari tata cara misa arwah tersebut adalah Ritus Penutup yang merupakan berkat penutup dari Romo kepada umat yang hadir serta lagu penutup yang dinyanyikan Romo dan umat Katolik yang hadir pada saat Misa Pemberkatan Jenazah tersebut.

Sesaat setelah menghubungi Romo, aku berpikir kembali sembari bertanya-tanya apakah kakakku, yang rumahnya bersebelahan denganku, berkenan untuk menerima acara ritual jenazah ini. Pasalnya, kakakku menganut keyakinan yang berbeda denganku, yakni Islam. Keluarga besarku, mayoritas beragama Katolik. Namun, setelah anak-anak dapat memilih dan menentukan nasib mereka sendiri-sendiri, kedua orang tuaku cenderung mempersilakan anak-anaknya memilih keyakinan masing-masing.

Dua kakak perempuanku menikah dengan laki-laki muslim dan mereka pun tak keberatan untuk berpindah keyakinan mengikuti keyakinan para suami.

Pertanyaan lain kembali muncul di benakku. Jika kakakku tidak keberatan dengan ritual jenazah yang akan dilakukan esok, apakah suami dan ketiga anaknya juga bisa menerima? Ataukah mereka akan keberatan? Beragam pertanyaan serta praduga memenuhi benakku. Untuk menjawab semua itu, satu-satunya cara adalah dengan menanyai mereka.

Akhirnya, kuberanikan diri menemui mereka. Dari jawaban dan mimik mereka, tidak ada yang menunjukkan keberatan. Mereka menyetujui serangkaian ritual misa arwah dilakukan di rumah mereka. Mereka juga menginginkan yang terbaik sebagai bentuk penghormatan terakhir terhadap mendiang kakakku.

Rasa lega sekaligus kagum akan ketulusan keluarga kakakku dalam menyikapi perbedaan ini membuatku semakin mantap mempersiapkan segala ubarampe keperluan misa arwah esok hari. Aku mulai mencatat semua kebutuhan dan berbagi tugas dengan ketiga anak kakakku serta saudara lain yang mulai berdatangan.

Persiapan dimulai dengan membeli dupa, merangkai bunga, memesan sapu tangan, menyiapkan kudapan, sampai memasang tenda, dan meminjam kursi. Tak ada kecanggungan sedikit pun dari anggota keluarga kakakku. Mereka tak segan untuk bertanya hal-hal yang mereka tidak tahu terkait rangkaian acara misa arwah. Hal itu yang membuat aku nyaman meski kami berbeda keyakinan.

Keesokan pagi, jenazah kakakku sampai di Solo dan langsung disemayamkan di rumah duka. Tidak ingin larut dalam kesedihan, kami bersiap dengan tugas masing-masing. Mendekati prosesi misa arwah, semakin banyak tamu berdatangan, baik kerabat, teman, maupun tetangga.

Prosesi misa arwah yang dipimpin Romo berjalan lancar sampai pada pemberangkatan dan pemakaman jenazah. Seluruh kerabat ikut terlibat. Tidak ada sekat atau batasan identitas keyakinan muslim atau nonmuslim. Semuanya melebur menjadi satu memberikan penghormatan terakhir pada mendiang serta mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir.

Saling Menguatkan

Kami seakan tidak pernah melihat perbedaan itu. Ikatan batin kami kuat, rasa cinta kasih yang ditanamkan oleh leluhur kami mampu menghalau segala perbedaan. Aku merasa sangat beruntung terlahir di keluarga ini.



Hari yang berat telah kami lalui. Seluruh prosesi pemakaman telah dilakukan. Satu per satu teman, tetangga, dan kerabat mohon pamit. Meski rasa kehilangan itu masih bersemayam di hati, namun kami harus tetap bersemangat untuk melanjutkan hidup. Untuk itulah kami saling menguatkan.

Hari berlalu dan kami masih menggelar doa arwah untuk mendiang kakakku. Dalam keyakinan yang kuanut, ada prosesi doa untuk arwah pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, 2 tahun, dan yang terakhir 3 tahun.

Lagi-lagi, aku merasa kagum pada kakakku beserta suami dan anak-anaknya yang seluruhnya muslim. Mereka legawa mengadakan seluruh rangkaian doa arwah dari awal hingga akhir di rumah mereka meskipun seluruh rangkaian doa itu adalah rangkaian doa dalam agama Katolik.

Mereka tidak pernah merasa terganggu dengan prosesi doa yang kami (umat Katolik) lakukan. Satu pelajaran yang bisa kupetik adalah keberagaman akan berbuah kerukunan apabila akarnya adalah kedewasaan sikap dan saling menerima kelebihan maupun kekurangan masing-masing.

Penulis adalah guru di SMKN 3 Sukoharjo

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya