<p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;"><strong>Solopos.com, KLATEN –</strong> Jam dinding menunjukkan pukul 05.50 WIB ketika <em>Solopos.com</em> memasuki ruang kelas XI SMA Muhammadiyah 8 Bayat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Klaten, Selasa (31/7/2018) sekitar pukul 10.00 WIB. Tak ada satu pun siswa di ruang kelas.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Terdapat lima meja beserta kursi dan bangku yang ditata di tengah ruangan berhadapan dengan satu meja di depan papan tulis. Tumpukan kursi dan meja memenuhi pojok ruangan.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Sekolah itu memiliki enam ruangan terdiri dari tiga ruang kelas, dua ruang laboratorium, serta satu ruang perpustakaan. Dari enam ruangan itu, pintu dua ruangan yang terbuka lebar yakni kelas XI dan XII. Sementara, pintu ruang kelas X terkunci rapat dengan seluruh jendela tertutup gorden.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Di seberang ruangan-ruangan itu, rumah joglo kuno berkonstruksi kayu jati kokoh berdiri. Rumah itu yang dimanfaatkan untuk ruang guru serta tata usaha. Pagi itu, dua siswa laki-laki duduk santai di dalam ruangan di belakang dua guru yang sibuk memasukkan data ke komputer. Di teras rumah joglo, Siti, 17, duduk di lantai rumah sembari menikmati jajanan. </span><span style="font-family: ’Slimbach Medium’, serif;">Siti merupakan satu-satunya siswa perempuan dari total delapan siswa kelas XI.</span></p><p>“<span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Temannya di sini lucu-lucu. Sekolahnya enak banget. Santai, bisa pulang lebih cepat. Gurunya tidak galak,” kata siswa asal Desa Dukuh, Kecamatan Bayat itu saat berbincang dengan <em>Solopos.com</em>.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Hampir setiap hari, kegiatan belajar mengajar di sekolah itu sepi. Jumlah total <a title="Derita SMA Swasta Klaten Tak Kebagian Siswa Baru" href="http://soloraya.solopos.com/read/20180725/493/929867/derita-sma-swasta-klaten-tak-kebagian-siswa-baru">siswa</a> di sekolah itu pada awal tahun ajaran 2018/2019 sekitar 14 orang. Mereka terdiri dari delapan siswa kelas XI dan enam siswa kelas XII. Tak ada siswa baru untuk kelas X. Jumlah guru yang mengajar di sekolah itu sebanyak 14 orang. Lima orang merupakan guru yang hanya mengajar di sekolah setempat.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Siyam menjadi salah satu guru yang mengajar sejak 1995. Perempuan berumur 52 tahun asal Desa Pakisan, Kecamatan Cawas, Klaten tersebut mengajar Bahasa Arab. Jumlah siswa yang ia didik selama 23 tahun terakhir pasang surut. Sekolah itu pernah memiliki siswa hingga 100 orang.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Namun, jumlah siswa menurun drastis seiring bermunculan SMA/SMK di sekitar SMA Muhammadiyah 8 Bayat, Klaten. Tak hanya sekolah baru di Bayat, sekolah baru bermunculan di wilayah Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, DIY, yang berdekatan dengan sekolah tersebut. “Setelah tahun 2000-an itu bermunculan sekolah-sekolah. Banyak yang lulusan SMP memilih bersekolah di SMK,” ungkapnya.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Beragam cara dilakukan untuk mendapatkan siswa baru. Mulai dari sosialisasi ke SMP sederajat hingga mengerahkan alumni. Uang lelah senilai Rp50.000 disiapkan ketika ada alumni yang bisa membawa siswa baru ke SMA Muhammadiyah 8 Bayat. Sayang, awal tahun ajaran baru kali ini tak ada satu pun siswa baru. Namun, di tengah tahun ajaran sekolah itu kerap menerima siswa baru. Mereka terutama para siswa yang dikeluarkan atau keluar dari sekolah semula.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Siyam mengatakan para <a title="Guru SMP Klaten Bergerilya demi Penuhi Kuota PPDB" href="http://soloraya.solopos.com/read/20180706/493/926498/guru-smp-klaten-bergerilya-demi-penuhi-kuota-ppdb">guru</a> tak <em>ngelokro</em> meski segelintir siswa yang diajar.“Justru tantangannya besar. Ada saja siswa yang ngeyel. Di sini itu ibaratnya bengkel memperbaiki akhlak siswa. Kalau di tempat lain itu siswa mencari sekolah. Tidak perlu diajar, siswa sudah pandai. Kalau di sini sekolah mencari siswa. Jadi memang harus ekstra mengajarnya,” tutur dia.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Mengajar di sekolah tersebut merupakan perjuangan tersendiri bagi Siyam maupun guru lain. Honor yang mereka terima berkisar Rp100.000-Rp200.000/bulan. Ada pula pendidik yang tak mendapat honor. Lantaran hal itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya Siyam memilih bertani seusai mengajar. “Kalau dihitung finansial tetap tidak jalan. Kalau menarik dari orang tua juga kasihan karena kebanyakan siswa dari keluarga kurang mampu,” kata ibu satu anak tersebut.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Kepala SMA Muhammadiyah 8 Bayat, Riyahya Lestari, mengatakan tahun sebelumnya sekolah itu mendapatkan siswa baru sebelum tahun ajaran dimulai. Soal penyebab tak ada siswa baru untuk kelas X tahun ini, ia mengatakan beragam.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Kondisi itu terjadi lantaran SMA/SMK bermunculan di Bayat hingga menyedot banyak lulusan SMP seperti SMAN 1 Bayat, SMK Rota Bayat, serta SMAN 1 Cawas, Klaten. Persoalan lain yakni penerapan sistem PPDB <em>online</em> yang diberlakukan beberapa tahun terakhir. Ia menilai tak ada pembatasan rombongan belajar (rombel) atau kelas untuk siswa baru di sekolah negeri.</span></p><p>“<span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Ada yang pendaftar kelas X itu banyak sehingga rombel ditambah dari 10 kelas menjadi 12 kelas. Harapan kami ada perhatian dari pemerintah agar sekolah-sekolah swasta seperti kami tetap berjalan,” tutur dia.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Menurunnya jumlah siswa di beberapa sekolah swasta sempat menjadi sorotan saat digelar pertemuan antarkepala SMA swasta di Klaten beberapa waktu lalu. Sejumlah kepala sekolah swasta mengeluhkan jumlah siswa yang diterima minim. Salah satu sorotan yakni penerapan sistem PPDB <em>online</em> SMA negeri yang tak ketat.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Dikonfirmasi sebelumnya, Kepala SMA Muhammadiyah 1 Klaten, Aris Munawar, mengatakan niatan pemerintah menerapkan zonasi pada PPDB <em>online</em> SMA negeri sudah bagus untuk pemerataan siswa. Namun, ia berharap aturan main tetap dipenuhi. Aris menjelaskan ada sekolah negeri yang menambah jumlah kelas. Alhasil, porsi calon siswa untuk SMA swasta semakin berkurang. Selain itu, tak ketatnya penggunaan surat keterangan tidak mampu (SKTM) membuat pengelola SMA swasta hanya bisa pasrah ketika calon siswa berbondong-bondong mendaftar ke sekolah negeri berbekal <a title="PPDB SMAN Klaten, Petugas Datangi Rumah Calon Siswa Ber-SKTM" href="http://soloraya.solopos.com/read/20180708/493/926760/ppdb-sman-klaten-petugas-datangi-rumah-calon-siswa-ber-sktm">SKTM</a>.</span></p><p>“<span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">SKTM mungkin masih bisa digunakan asal <em>database</em>-nya jelas. Tidak semua orang bebas membuat SKTM. Kalau tidak ada <em>database</em> ya repot. Atau penggunaan SKTM itu diberlakukan setelah siswa diterima saja,” katanya.</span></p><p><span style="font-family: Slimbach Medium, serif;">Ketua MKKS SMA Kabupaten Klaten, Kawit Sudiyono, menjelaskan sesuai aturan ada pembatasan rombel atau kelas untuk SMA negeri. Sesuai aturan, jumlah maksimal kelas dari X hingga XII di setiap SMA negeri sebanyak 36 kelas dengan masing-masing kelas maksimal terdiri dari 36 siswa. “Kalau memang ada seperti itu [melebihi batas kelas] nanti dievaluasi bareng-bareng biar semua berjalan,” tutur dia. </span></p>
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
