SOLOPOS.COM - Ilustrasi kekerasan seksual anak di Solo. (Freepik.com)

Solopos.com, WONOGIRI — Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB P3A) Wonogiri mencatat ada 10 laporan kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur sejak Januari hingga Maret 2023 ini.

Sembilan dari 10 kasus tersebut merupakan kasus kekerasan seksual sedangkan sisanya kasus penelantaran anak. Dari 10 kasus tersebut, semua korbannya adalah anak perempuan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Jumlah kasus tersebut sudah separuh dari total jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Wonogiri yang tercatat pada 2022 lalu, yaitu sebanyak 20 kasus. DPPKB P3A Wonogiri melaporkan mayoritas kasus kekerasan seksual pada anak itu bermula dari pelaku dan korban berkenalan dan berkomunikasi intens di media sosial.

Pada sisi lain, banyak korban yang tidak mendapatkan pola asuh dari orang tua secara baik. Selain itu, kemiskinan juga menjadi salah satu faktor pemicu anak menjadi korban.

Kasus yang belum lama ini terjadi, seorang anak perempuan di bawah umur di salah satu kecamatan di Wonogiri, CD, 15, menjadi korban pencabulan dua kali pada 2021 dan 2023. Terakhir, CD dicabuli dua pria asal Purworejo pada pertengahan Maret 2023.

Pendamping Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2PTPA) Wonogiri, Ririn Riyadiningsih, kepada Solopos.com, Selasa (28/3/2023), mengatakan CD bisa menjadi korban pencabulan karena beberapa faktor.

Di antaranya penggunaan media sosial, kemiskinan, dan rendahnya sensitivitas lingkungan terhadap kekerasan seksual terhadap anak, serta pola asuh dari orang tua yang kurang baik.

Kasus tindak pidana pencabulan yang dialami CD bermula dari korban dan pelaku yang berkenalan di media sosial dan berkomunikasi secara intens selama beberapa waktu. Korban mau diajak bertemu dan disetubuhi karena dijanjikan akan diberi uang atau barang.

Latar Belakang Keluarga Miskin

Seperti diketahui, korban berasal dari latar belakang keluarga miskin. Pada sisi lain, penggunaan media sosial, membuatnya ingin mengikuti gaya hidup yang dia lihat di media sosial itu. Sementara orang tua tak mampu memenuhi kebutuhan gaya hidup anak.

Pada waktu yang sama, tidak ada kontrol dari orang tua kepada anak dalam menggunakan media sosial. Anak dibebaskan berselancar apa dan kapan saja di Internet. Padahal, orang tua CD bekerja di rumah, tidak merantau.

“Akibatnya, anak bisa melakukan apa saja melalui handphone-nya. Ini menjadi awal pemicu anak menjadi korban. Beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini, polanya begitu. Ada kesalahan pola asuh dari orang tua kepada anak” ucap Ririn.

Ririn melanjutkan orang tua harus sering berkomunikasi dengan anak. Mengajak ngobrol anak agar terbuka dengan orang tua tentang kehidupannya. Selain itu, jangan sekali-kali menggunakan kekerasan termasuk secara verbal untuk mendidik anak.

Hal itu justru akan merusak pola komunikasi. Anak menjadi takut dan mencari pelampiasan ke luar rumah. Akibatnya tidak ada kepercayaan antara anak kepada orang tua.

“Seperti yang pernah terjadi belum lama ini di kawasan kota Wonogiri. Ada orang tua yang memarahi anaknya sampai menyuruh anak itu minggat. Akhirnya anak itu pergi beneran, pulang-pulang dalam keadaan hamil dan kena penyakit sifilis,” ungkap Ririn.

Menurut Ririn, pembelajaran agama tidak cukup mendidik anak. Pada kasus CD, keluarganya merupakan keluarga yang taat agama dan mengajarkan hal tersebut kepada anak. Tetapi hal tersebut tidak cukup. “Anak perlu dikasih pemahaman dan pengertian tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan,” katanya.

Kontrol Penggunaan Gawai

Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DPPKB P3A Wonogiri, Indah Kuswati, menambahkan rendahnya sensitivitas lingkungan atau masyarakat terhadap permasalahan kekerasan anak juga bisa menjadi faktor terjadinya kekerasan.

Masyarakat cenderung abai dan tidak peduli. “Pola hubungan masyarakat sudah tidak seperti dulu. Sudah seperti masyarakat kota [individual],” ujar Indah

Salah satu orang tua yang memiliki anak di bawah umur, Bintoro, mengaku selalu mengontrol penggunaan gawai anaknya dengan membatasi kuota Internet. Dalam sehari, anak laki-lakinya yang masih SD itu hanya dibatasi 500 MB kuota Internet.

Dengan pembatasan kuota itu, anak tidak terlalu bisa banyak mengakses banyak aplikasi. Selain itu, aplikasi di HP anak diatur agar diperuntukkan anak kecil. Misalnya, Youtube Kids.

“Komunikasi juga terus dijalin. Terutama antara dia dan ibunya. Karna kebetulan lebih dekat dengan ibu. Ibunya sering mengajak komunikasi dengan menanyakan kegiatan di sekolah. Otomatis anak kepancing untuk cerita apa saja,” kata Bintoro.

Sementara itu, untuk anak perempuan yang baru menginjak dewasa, Bintoro lebih memberikan keleluasaan dibandingkan anak laki-lakinya. Tetapi dia tahu betul siapa saja teman-teman anak perempuannya. Bahkan tau siapa orang tua temannya.

“Jadi antarorang tua itu saling mengabari. Misalnya, anak mereka main dengan orang anak saya di rumah, saya mengabari orang tuanya. Begitu juga sebaliknya,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya