SOLOPOS.COM - Suasana pemakaman Sudarisman, salah satu korban miras oplosan asal Dusun Kurahan, Desa Bantul Kecamatan Bantul, Selasa (7/2/2017) sore. (Arief Junianto/JIBI/Harian Jogja)

Miras maut Bantul menelan nyawa seorang seniman penabuh kendang

Harianjogja.com, BANTUL- Untuk kesekian kali, nyawa kembali harus dipertaruhkan dengan tenggakan minuman keras oplosan. Kali ini, giliran nyawa pengendang senior asal Dusun Kurahan, Desa Bantul, Kecamatan Bantul yang gagal bertaruh tangguh.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tak ada lagi suara taluan ketipung di tengah malam. Biasanya, tanpa perlu ada pertunjukan musik dan panggung hiburan atau hajatan, suara talu itu mendadak memecah malam hingga menjelang subuh.

Saat itulah Sudarisman, atau yang akrab disapa Kenthut tengah beraksi.

Ketika itu, tak ada satu pun tetangga yang terganggu. Bukan karena takut, tapi taluan kendang dari kedua tangannya terlalu merdu untuk disergah agar segera berlalu.

Tapi itu dulu. Kini, pengendang yang usianya sudah separuh abad itu telah pergi. Mirisnya, nyawa salah satu bintang musik dangdut di Jogja harus berakhir di pahit cairan minuman keras oplosan.

Wajah Surani masih tertegun ketika kami sedikit memaksa masuk memecah kerumunan. Tangisnya terus ia tahan. Berkali-kali ia menggelengkan kepala pertanda tak ingin menjawab pertanyaan apapun dari kami.

Tak ada alasan bagi kami untuk tidak memahami sikap Surani, terlebih harus menelan kenyataan pahit ketika nyawa suaminya harus diregang cairan oplosan.

Selasa (7/2/2017) dini hari, pukul 02.00, penghuni salah satu rumah di kawasan RT 01 Dusun Kurahan, Desa Bantul Kecamatan Bantul mendadak riuh. Sudarisman selaku kepala keluarga di rumah itu mendadak merintih menahan sakit.

“Entah perutnya, entah juga seluruh badannya. Pokoknya, mengeluh sakit semua. Muntah-muntah juga,” kata Supriyanto, tetangga dekat Sudarisman mencoba membantu menjawab pertanyaan kami.

Ternyata, rintihan itulah yang mengantarkan Kenthut menuju kepergiannya. Selang beberapa jam, nafasnya pun terputus untuk selamanya. “Sederhananya, keracunan, kata dokter,” tanpa kami tanya Supriyanto menimpali lagi.

Tak heran jika Supriyanto tahu banyak soal Sudarisman. Meski hanya sekadar tetangga, Sudarisman sudah dianggapnya seperti saudara sendiri. Tahu betul ia bagaimana sepak terjang Sudarisman saat merintis sebagai pengendang dari panggung ke panggung. “Bahkan, kalau malam, sembari menenggak minuman keras, dia selalu menabuh ketipungnya di sini. Saya selalu menegurnya agar tidak berisik.”

Di dunia panggung hiburan, khususnya yang menyangkut musik dangdut, nama Kenthut seolah menjadi bintang. Tapi seiring usianya yang terus bertambah, aura kebintangannya pun semakin meredup, kalah oleh pengendang-pengendang baru yang kreativitas bermusiknya jauh melebihi Kenthut di dunia musik dangdut

Sudah dua tahun terakhir, tawaran bermusiknya menurun drastis. Untuk menyambung hidup serta penghidupan istri dan lima orang anaknya, Kenthut pun memanfaatkan lahan parkir di sisi Pasar Bantul. Di sanalah dia mencari nafkah sebagai juru parkir.

“Tapi namanya pemain lama, masih ada saja orang yang menawarkan jasa tampil kepadanya. Termasuk saya sendiri. Malam tahun baru lalu, dia saya minta tampil mengisi di acara kampung ini,” kata Supriyanto.

Alkohol dan panggung hiburan. Dua kata itulah yang lantas ditemukan oleh Supriyanto untuk menggambarkan sahabatnya itu. Tak pernah bisa, sahabatnya itu melewatkan sekali pun panggung tanpa gelontoran alkohol di tenggorokannya.

“Kalau tidak mabuk, main saya jadi jelek,” kata Supriyanto menirukan kalimat yang selalu diucapkan mendiang saat dirinya mengingatkan betapa berbahayanya kebiasaan itu.

Tak terhitung lagi, berapa merk dan jenis minuman yang sudah pernah ditenggak oleh Sudarisman. Mulai dari minuman bermerk yang berharga ratusan ribu rupiah, hingga minuman kelas proletar yang berharga puluhan ribu.

Begitu juga dengan malam itu. Sesaat sebelum mendatangi tawaran tampil pada suatu acara pernikahan yang digelar di Dusun Ngrancah, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Sabtu (4/2/2017) siang lalu, mendiang sempat meminjam uang Rp200 ribu pada rekannya.

Malam harinya, tanpa disangka ia mendapatkan tambahan uang ketika nomor judi yang dipasangnya tembus di meja bandar. Uang Rp1,8 juta pun ia kantongi seketika.

Entah apa yang ada di pikirannya, malam harinya ia kembali ke acara pernikahan itu untuk tampil di acara dengan format yang lebih santai.

Sebelum berangkat, mendiang sempat mengajak serta tetangganya, Wahyu Defri, 21 . Mungkin karena ingin membagi kebahagiaannya setelah mendapatkan nomor judi, ia sempatkan dulu membeli lima kantong plastik minuman keras oplosan dari seorang penjual yang berada di Dusun Melikan Lor, Desa Bantul Kecamatan Bantul.

Seratus ribu ia keluarkan dari koceknya untuk menebus lima kantong plastik minuman berwarna kuning segar itu. “Sebelum berangkat, dia sempat pamit pada saya. Dia titipkan ibunya kepada saya. Entah itu firasat atau apa ya,” kata Sunaryo, tetangga mendiang lainnya.

Ternyata, tak hanya Sudarisman sendiri, minuman keras oplosan itu juga merenggut nyawa kawan-kawannya yang lain. Wahyu Defri, dan Muh Dianto warga Bongseng, Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan pun tak kalah nahasnya. Sedangkan tetangga Sudarisman, Kustiyono kini masih tergolek lemah di rumah sakit.



Untuk kesekian kali minuman keras, apapun jenisnya, menjadi mesin pencabut nyawa yang tak mengenal waktu dan usia. Serupa komoditas, guliran minuman keras ini seolah mengikuti tingginya permintaan para konsumennya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya