SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tujuh batang rokok sudah habis aku isap. Hampir satu jam lebih menunggu kedatangannya. Aku menatap pintu masuk parkiran warung setiap kali ada kendaraan datang. Jujur aku ingin memarahinya jika sudah datang.

Aku bergaya sibuk memainkan handphone untuk memecah sepi dan menebus rasa bosan. Asumsi liar terhadap pikiran orang lain mulai berkecamuk. Jujur aku takut dikira sebagai sosok manusia kesepian yang tidak punya teman nongkrong.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Mas, buatkan minuman seperti tadi ya.” Aku memutuskan untuk memesan minuman ke dua.

“Oke siap mas. Eh kok sendirian saja mas?”

“Iya ini sebenarnya sedang menunggu teman mas.”

Beberapa menit berselang setelah minuman ke dua datang, aku melihat sosok perempuan cantik dengan kumis tipis berjalan ke arahku.

“Maaf ya terlambat, soalnya tadi di kantor sedang banyak kerjaan.”

Entah mengapa setelah aku menatap wajah dan mendengar suaranya amarahku tidak mau keluar. Amarahku sembunyi. Mulut amarahku dikunci perasaan lain.

“Nggak apa-apa, duduklah.”

“Eh, di sini ada makanannya nggak ya? Aku belum makan dari siang soalnya.”

“Itu ada nasi kucing, nasi bakar, nasi apalagi itu di sana. Atau mau aku ambilkan?”

“Eh, jangan. Seperti orang sakit saja diambilkan makanan segala, bisa-bisa kamu suapin juga nanti.”

Aku melihat ia sedang mengambil makanan dan memilih beberapa gorengan. Kepalanya menoleh ke beberapa sudut sambil tangannya diketuk-ketukan ke bagian bibir bawah.

“Kamu benar-benar lapar ya Sin?”

Tanyaku tidak dijawab. Ia hanya melemparkan cemberut setengah senyum sambil memandang ke arah lain.

“Kamu nggak makan?”

Ia bertanya kepadaku. Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala dan mengamati gerak bibirnya yang nampak begitu indah seperti stroberi matang. Ia melumat makanan dan memasukan selang minuman ke bibirnya membuat pikiran liarku berpetualang.

Tidak ada status pasti hubunganku dengan Sinta. Aku mengenalnya sejak masa kuliah dulu. Kedekatan kami sudah seperti sepasang kekasih namun bukan. Sekarang dia milik Bobi. Laki-laki tua yang terpaksa Sinta nikahi demi perjodohan rekomendasi orang tuanya.

Memang benar saja keterpaksaan tidak menghasilkan sesuatu sesuai harapan, kini Sinta malah tidak diperlakukan sebagaimana seorang istri. Dia diperlakukan seperti pembantu. Bobi suaminya hanya santai di rumah, sementara Sinta bekerja pagi hingga malam setiap hari. Namun aku yakin itu semua dilakukan demi Alina, anak semata wayangnya.

Aku belum tahu pasti Alina anak Bobi atau anakku. Sebelum Sinta menikah dengan Bobi ia mengajakku untuk jalan-jalan ke tempat wisata Telaga. Di pinggiran telaga yang terdapat beberpa penginapan dan toko oleh-oleh serta warung-warung makan. Awalnya kita hanya makan gorengan dan menikmati kopi susu di pinggiran telaga sambil memandang perahu cepat dengan penumpang yang teriak-teriak.

Aku ingat betul betapa sedihnya Sinta ketika curhat. Ia benar-benar kecewa dengan orang tuanya yang memaksa menikahi Bobi. Selain ada rasa iba, sebenarnya aku juga ingin menikahi Sinta. Sinta juga tahu bagaimana perasaanku terhadapnya meskipun tidak tersurat. Mungkin untuk alasan itu ditengah percakapan tiba-tiba Sinta mengarahkan tatapannya ke salah satu vila dengan cat kuning pinggiran telaga.

Ia menatapku seperti mengajak masuk ke dalam vila. Motor kami tinggal di parkiran. Sinta menggandeng tanganku ketika berjalan menuju vila. Sebelum masuk, Sinta mengajak untuk membeli minuman ke dua dan beberapa camilan di toko kelontong dekat vila. Untuk bekal, katanya.

Pikiranku sudah tidak keruan ketika itu. Tidak ada pembicaraan dan perlakuan bercanda lagi ketika memasuki ruangan vila. Semua terjadi seakan aku tahu keinginan Sinta dan begitu juga sebaliknya.

***

Aku terbangun dari tidur dengan rasa dingin menembus kulit yang sudah tidak mengenakan pakaian. Aku melihat wajah cantik di sampingku tertidur pulas dengan posisi miring menghadap wajahku. Sinta silangkan tangannya di atas dadaku. Aku mengurai rambutnya sambil berandai-andai bisa menjadi kekasih Sinta selamanya.

Hingga sampai sekarang Sinta selalu ada untukku dan aku selalu ada untuk Sinta. Kata-kata cinta tidak pernah terucap dari kita berdua. Kedekatanku kita berdua hanya dipisahkan oleh peraturan negara. Tetapi peraturan negara tidak bisa menghalangi rindu yang sudah terbangun lama.

“Heh! Ditanya kok hanya menggeleng dan senyam-senyum saja. Nanti kesurupan lo. haha”

Ia tertawa meledekku sambil membenahi hijab bagian atas seperti ditarik-tarik ke belakang. Ia tidak sadar giginya yang gingsul membuat diriku semakin hanyut dalam suasana.

Beberapa pertanyaan aku lontarkan untuk memperpanjang percakapan. Mulai dari pertanyaan yang menyangkut keseharian hingga pekerjaan.

“Eh sebentar aku angkat telepon dulu ya.”

“Sini aku saja yang angkat. hehe”

“Nggak lah. Memang kamu siap nerima risikonya?”

“Hehe. Ya sudah angkat dulu sana.”



Cukup lama aku menunggunya untuk kembali ke tempat duduk semula. Aku menengok ke arahnya, namun ia hanya melemparkan senyum sambil menunjuk-nunjuk ke handphone yang sedang ia tempelkan ke telinga. Ia sepertinya sadar bahwa aku mulai gelisah karena menunggu terlalu lama.

“Maaf ya lama.”

“Tidak masalah. semakin lama malah semakin enak kok.”

“Hih, jangan mancing-mancing lah.”

Aku kembali larut dalam canda dan tawa. Tanpa sadar tempat air minum yang terbuat dari plastik jatuh tertiup angin.

“Maaf mas sebentar lagi kami mau tutup.”

Pelayan menghampiri kami berdua sambil membereskan gelas dan mengelap meja sebelah. Musik warung berhenti. Beberapa pengunjung mulai berkemas. Lampu hias di sudut warung dipadamkan.

“Aku yang bayar ya?”

“Eh, jangan. Kan ini tadi yang ngajak aku, jadi aku yang wajib bayar.”



“Tapi pertemuan kemarin itu kamu yang bayar, masa sekarang kamu lagi?”

“Tidak apa-apa Sin. Lebih baik kamu kasihkan Alina untuk uang saku. Kamu bayarin aku mulai besok saja.”

“Hahaha. Lah kamu ini bercanda terus.”

Kami berjalan pelan bersama-sama menuju ke tempat parkir. Posisi badanku sejajar dengan badannya. Sambil basa-basi pundak kami sesekali berbenturan. Aku ingat betul perjalanan itu persis seperti perjalanan saat kami berdua menuju vila enam tahun yang lalu. Hanya untuk kali ini kami tidak bergandengan tangan.

“Besok lagi ya?”

“Jangan sering-sering dong. Ini saja aku masih bingung nanti mau alasan apalagi .”

“Memang tadi kamu nggak bilang pas telepon?”

“Gila kamu. bisa di bunuh aku kalau jujur.”

“Terus kamu bilang apa tadi?”



Aku menghela napas panjang menunggu alasannya. Namun bukan jawaban yang aku dapatkan. Ia hanya menghadap ke arahku sambil bibir bawahnya dinaikan ke atas bersamaan dengan mata yang berkedip cepat.

“Ya sudah. Hati-hati di jalan ya.”

Akhirnya Sinta pergi dikejar bau parfum yang masih tertinggal.

 

Predianto
Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ponorogo, bisa disapa di aku instagram @predianto1311.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya