SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Wah, baru bisa ambegan sekarang… Suasana Jogja sudah kembali normal… Kalau musim liburan, seperti kemarin itu, biyuuuhhhh… ndak bisa kemana-mana…” ujar Maruto sambil glegag-glegeg menikmati wedang jahe kegemarannya.

“Seharusnya, kalau musim liburan, kita mengungsi saja ya, Kang Maruto, ketimbang ndak bisa bergerak karena semua pojok Jogja dilanda kemacetan…” kata Dadap.
“Lha kalo ngungsi, anak istri dikasih makan watu ngono… kok lehe… Memang tarikan banyak, tapi kalau sering muacet ya repot, pendapatan jadi berkurang malah…” timpal Maruto yang profesi sehari-harinya sebagai pengemudi taksi itu.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

“Leres niku, Kang Maruto… Lha malah nek ungsum liburan ngaten niku, angkringan dadi laris je… lha pada ndak bisa bepergian, akhirnya nongkrong saja di angkringan sini…” sahut Kang No, manajer operasional alias pelayan utama pada Angkringan Pakdhe Harjo.

“Lha iya… kowe dan Pakdhe Harjo yang untung… Lha saya ini, yang kerjanya di sekitar Malioboro, selalu stres kalo musim liburan tiba, tersiksa macet…” Suto tiba-tiba turut angkat bicara.

“Wah, Kang Suto dan Dadap sudah di sini ta… Ada Kang Maruto barang… Baru ngrembug apa ta, kok kedengarannya gayeng,” kata Noyo yang tiba-tiba muncul di angkringan.

“Kowe, Yo… Katanya ke Jakarta, kok cepet banget balik Jogja… Ini lho, pada nggresula karena macet waktu liburan kemarin itu… Dari tahun ke tahun, makin parah saja kemacetan saat musim liburan di Jogja,” komentar Suto.

“Oh, kalau cuma macet di Jogja sih, tak kira belum seberapa. Coba lihat tuh yang hidup di Jakarta, terhimpit kemacetan hampir sepanjang hari… paling-paling dalam setahun hanya agak leluasa sekitar Lebaran, ketika banyak warga Jakarta mudik ke berbagai daerah…” ujar Noyo sambil nyingkrang dan menikmati jajanan.

“Betul itu, Kang Noyo… sedulur saya yang tinggal di Cibubur malah sering nggrundel, karena pembangunan kawasan itu pesat luar biasa, sehingga gampang macet. Sudah gitu, seperti ramai diberitakan di koran dan tivi baru-baru ini, kawasan itu katanya makin sering macet kalau Presiden SBY kondur ke Cikeas dan berangkat ke Istana, karena semua harus menyingkir biar beliau dan rombongan bisa leluasa lewat,” kata Dadap.

“Ndak hanya di Cibubur Dap warga harus menyingkir. Di tol juga gitu, kita sudah bayar ongkos tol, eh kalau rombongan penggede itu lewat, kita harus berhenti atau disuruh menyingkir juga… Padahal, untuk membeli mobil dinas mereka yang kinclong itu, kan kita ikut bayarin melalui pajak… eh, kita juga yang harus menyingkir demi mereka…” Noyo berkata setengah menggumam.

“Lha aturan untuk Presiden kan memang sudah diatur oleh protokol kenegaraan, Yo… Di negara manapun juga gitu… Karena urusan presiden pasti sangat penting dan harus sampai di lokasi secepatnya…” ujar Suto.

“Iya sih Kang… Tapi harusnya kan nggak tiap hari… Presiden bukannya nggak boleh pulang ke rumahnya sendiri, tapi kan sudah disediakan Istana Kepresidenan yang fasilitas dan layanannya tak kalah dengan hotel bintang lima… Kalau pulangnya sesekali ya ndak apa-apa… Akhir-akhir ini kabarnya hampir tiap hari lho,” ucap Noyo.

“Iya betul kok Kang Suto… Saudara saya cerita juga begitu, karena dia hampir tiap hari menyaksikan dan mengalami kemacetannya… Pokoknya, kata saudara saya itu, kalau banyak petugas polisi dan anggota TNI berjaga-jaga dengan senjata lengkap, pasti Pak SBY ada di Cikeas…” tutur Dadap berusaha meyakinkan sohibnya itu.

“Yang saya ndak habis pikir itu ya, kalau lihat di tivi, kenapa rombongan yang menyertai Presiden dan Wakil Presiden harus sebegitu banyaknya… Kabarnya lebih dari 15 mobil untuk mengiringi beliau masing-masing itu ya… Apa ndak bisa diciutkan jumlahnya, katakanlah menjadi hanya lima mobil, kan sudah menghemat anggaran negara cukup banyak itu…” kata Maruto yang sedari tadi hanya klepas-klepus dengan rokok klembak menyan kesukaannya itu.

“Lha itu kan sudah aturan protokoler, itu sudah diatur sedemikian rupa… Nggak bisa dong diubah seenaknya… Kalau terjadi apa-apa dengan pemimpin negara, siapa yang mau bertanggung jawab, hayo… Saya kira bagi seorang pemimpin negara, wajar ada perlakuan seperti itu,” Suto kembali melakukan pembelaan.

“Bener, Kang Suto, tapi aturan protokoler kan buatan manusia juga… Jadi ndak apa-apa ta kalau diubah, demi menghemat duit rakyat… Kalau bisa dikurangi sepuluh kendaraan saja, kalau Pak SBY pulang pergi dari Istana ke Cikeas bisa menghemat bahan bakar paling enggak sejuta rupiah, karena sedulur saya biasanya menghabiskan bensin senilai itu kalau pergi-pulang ke Jakarta…” ungkap Dadap dengan nada ngeyel.

“We lha, itu belum penghematan yang lainnya ya… Lha kalau sebulan pulang 15 kali, umpamane, banyak banget ya duit negara yang bisa dihemat… Kalau uang itu diberikan ke kita untuk jajan di angkringan Pakdhe ini, bisa untuk sebulan mungkin ya, ha ha ha… Dan tidak perlu menghadang kepentingan warga di sepanjang lintasan rombongan itu juga kan…” papar Noyo.

“Itu jumlah yang kecil, Yo… penghematan yang tidak seberapa, dibandingkan dengan kepentingan seorang kepala negara… Pak SBY ini kepala negara lho, ingat…” kata Suto.

“Memang kecil, Kang Suto… Tapi, kalau ngelingi sekarang ini keadaan rakyat kecil makin susah karena harga-harga pada naik, ya sangat berarti ta jika para petinggi itu bisa menghemat anggaran negara… lalu dhuwit bensin mereka itu disumbangkan ke sekolah-sekolah negeri supaya ndak usah narik uang pendaftaran ulang dan macem-macem… katanya sekolah
gratis, masih saja sekolah narik uang dari orang tua murid saat kenaikan kelas,” timpal Noyo dengan nada geram.

“Masak sih, masih ada tarikan ke orang tua murid kalau kenaikan kelas… Sekolah tingkat mana itu,” ujar Suto penasaran.

“Lho, sampeyan ini ndak krungu ta Kang… Anak saya sekolah di SD dan SMP Negeri, setiap naik kelas ditarik uang lagi. Katanya untuk dana kegiatan thethek mbengek… wis embuh lah… bajigur tenan kok…” tutur Dadap dengan nada jengkel.

“Owalah, saya kira yang kena daftar ulang itu cuma anak saya yang kuliah itu… Sekolah SD itu apanya yang mau didaftar ulang… Sudah pikun apa ya guru-gurunya…” ucap Suto dengan agak mrekeneng.

“Begitulah negara kita, Kang Suto… Menyedihkan ta…” kata Noyo.

Oleh Ahmad Djauhar
KETUA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya