SOLOPOS.COM - Bayu Widagdo, WARTAWAN Jaringan Bisnis Indonesia (JIBI)

Bayu Widagdo, WARTAWAN Jaringan Bisnis Indonesia (JIBI)

Jumat (31/8) malam lalu di pesawat terbang saya menonton film sains fiksi berjudul Jumper, yang menggambarkan seorang pemuda yang memiliki kemampuan melakukan teleportasi. Dia mampu berpindah-pindah ke sembarang tempat yang diinginkannya dalam sekejap. David, si pemuda dengan kemampuan ‘jump’ itu bisa seenaknya sendiri berjemur di atas kepala patung Sphinx di Mesir dan lantas mandi di London.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Melihat film itu saya jadi teringat cerita almarhum nenek sekitar 20 tahun lalu, saat bercerita soal masa kecil beliau di sebuah tempat di wilayah Banyumas. Salah satu hal yang paling beliau ingat saat berusia kira-kira 6 tahun adalah kebiasaan mbah kakung-nya setiap sembahyang Jumat.

“Dulu kalau jumatan hanya di kamar, terus mengunci pintu dari dalam. Sore baru mbah kakung tampak dan setelah kami yang kecil-kecil mandi, nanti mbah membagi kurma segar,”kata nenek.

Waktu itu saya tidak terlalu menanggapinya dan hanya bertanya seperti apa rasanya kurma segar. Nenek—yang seumur-umur tidak pernah ke luar negeri—bilang rasanya seperti tebu, tidak seperti kurma kering yang biasa dijual di pasar saat bulan Puasa tiba. Sekitar 10 tahun lalu saat bertugas ke Arab, saya sempat makan kurma segar dan rasanya memang seperti tebu. Saat itulah saya ingat kembali cerita nenek soal jumatan mbah kakung dan kurma segar yang dibagikan kepada anak-anak kecil.

Bisa jadi mbah-nya simbah ini seperti yang diceritakan dalam film Jumper, pergi kemana pun dalam sekejap. Andai saja bisa diwariskan turun-temurun kemampuan teleportasi seperti itu, mungkin saya tidak perlu duduk dalam pesawat hingga 13 jam.

Mungkin karena terpengaruh film Jumper itu, saat tertidur saya mengalami mimpi yang macam-macam, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ada beberapa yang saya masih ingat. Pertama saya menemui seorang teman di sebuah kota di Asia Tenggara. Dia sedang ditahan aparat keamanan karena dianggap membawa obat-obatan terlarang. Saya kira dia sedih karena ada di tahanan, nyatanya teman saya itu tetap tertawa-tawa.

“Hla di sini kayak masuk hotel kok. Untuk dapat kamar kita harus setor uang. Jumlahnya tergantung mau seperti apa isinya,”kata Berto, teman saya itu.

“Di negaraku pernah ada seperti itu seorang tahanan wanita. Tapi kemudian konangan oleh petinggi negara dan lantas diberantas semua. Mungkin sudah tidak ada lagi bayar-membayar di penjara untuk mendapatkan fasilitas,” kata saya berusaha memamerkan bahwa negaraku lebih baik ketimbang tempat Berto.

Berto lagi-lagi hanya tertawa. “Di sini apa pun bisa didapatkan, sepanjang setorannya cocok. Mau pulang ke rumah tiap pagi dan sore balik lagi ke sini juga bisa. Mengatur bisnis di luar dari sini juga tetap jalan. Kamu menengok aku di luar jam kunjungan ini pun harus bayar. Kalau kau tidak bayar, nanti aku yang dipalak dan dikerjain mereka,”jelasnya.

Jadi saya pun harus memberi sejumlah uang kepada petugas, daripada Berto nanti harus dipungut ‘pajak’.

“Jangan khawatir soal nasibku nanti. Soal vonis yang aku terima nanti juga sudah diatur semua sehingga tidak akan lama di sini,” kata Berto lagi. Saya hanya bisa berkata. “Hahhh….”

Tiba-tiba telah berpindah tempat lagi. Berjalan-jalan di sebuah tempat yang hampir semua orang terlihat berambut pirang dan berkulit putih. Tiba-tiba ada dua lelaki berpakaian preman menghentikan langkah saya.”Stop kami polisi. Anda turis kan? Kami harus memeriksa paspor Anda.”

Namanya juga diberhentikan polisi, maka saya pun berhenti dan memberikan paspor yang diminta. Tak ada yang salah dengan paspor, satu orang meminta dompet untuk diperiksa kalau-kalau ada obat terlarang katanya.

Jelas tidak ada obat apa pun di dompet saya. Namun orang yang mengaku polisi itu mengambil seluruh lembaran uang yang ada di dompet seraya berkata. “Ini kami ambil. Kalau Anda berkeberatan, silakan ke kantor dan kami akan bilang menemukan bungkusan kecil ini dompet Anda.”

Sembari meredam emosi, terpaksa saya merelakan dua orang oknum itu mengambil uang ketimbang bermasalah di tempat asing.

Tiba-tiba saya merasa melihat tugu batas kota yang berbentuk seperti mahkota raja. Di balik gambaran tugu itu terlihat serombongan orang yang saling adu tembak. Hanya itu yang terlihat karena kemudian muncul suara.

“Tolong tegakkan kursi, kita sudah hampir turun,”ujar pramugari pesawat yang saya tumpangi.

Teguran itu membangunkan saya dari aneka mimpi, yang menurut banyak orang hanya kembangnya tidur. Meski begitu, pas transit di bandara Istanbul dan menyempatkan diri menengok internet, ternyata dalam waktu bersamaan saya terbang, di Solo sedang ada adu tembak polisi dengan beberapa orang yang dikatakan memiliki keterkaitan dengan teror di kota itu selama Agustus.

Meski banyak yang menganggap mimpi sebagai bunga tidur, tidak sedikit orang yang juga menganggap mimpi sebagai sesuatu yang memilki makna. Ilmu psikologi pun mencoba memahami fenomena mimpi, hingga ada beberapa psikolog yang cukup fokus untuk mengkaji mimpi, seperti halnya Sigmund Freud yang beken itu. Bahkan orang Jawa membagi-bagi mimpi menjadi beberapa klasifikasi seperti titiyoni, gandayoni dan puspatajem. Yang terakhir ini bisa dibagi lagi menjadi sasmitaningroh dan daradasih, yakni mimpi yang menjadi pralambang, pertanda agar kita menjadi lebih hati-hati, eling dan waspada.

Tak usah diartikan apa pun sejumlah mimpi yang saya alami. Yang jelas saya hanya memiliki impian aparat keamanan di negara ini benar-benar menjadi seorang bhayangkara yang melindungi rakyat tanpa membeda-bedakan. Juga tidak meneror rakyat yang justru harus dilindunginya, apalagi memerasnya. Benar-benar bhayangkara seperti yang digambarkan Langit Kresna Hariadi dalam novel Gajahmada.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya