SOLOPOS.COM - Udji Kayang Aditya Supriyanto (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar mahasiswa, Selasa (1/3/2016), ditulis Udji Kayang Aditya Supriyanto. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Di kamar tempat indekos yang sempit, berantakan, dan bau, Viktor asyik membaca buku. Ia lebih suka berdiam di kamar indekos ketimbang jalan-jalan seperti kawannya, Roman.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Roman sering meledek Viktor, ”Kalau semua pemuda seperti kau, aku yakin jalanan akan sepi dan aman.” Bisa dibayangkan, jangan-jangan kalau mahasiswa rajin membaca buku, jalanan bakal sepi dari demonstrasi.

Viktor dan Roman adalah sepasang sahabat dalam novel lawas karangan Eddy D. Iskandar. Novel itu berjudul Roman Picisan. Cetakan keduanya terbit pada Januari 1987. Tahun terbit cetakan pertama sudah tak terlacak.

Mendengar atau membaca frasa ”roman picisan”, benak kita biasanya langsung melayang ke senandung lagu milik Dewa 19, bukan novel Eddy. Sama halnya dengan Gita Cinta dari SMA, Puspa Indah Taman Hati, atau Semau Gue, maka yang kita ingat malah bintang film Rano Karno dan Yessy Gusman.

Kita tak terlalu asing dengan semua itu, setidaknya pernah mendengar nama Galih dan Ratna bukan? Sayangnya, kita sering lupa atau bahkan tidak tahu bahwa sosok yang berada di balik semua karya tersebut adalah Eddy D. Iskandar.

Kisah-kisah karya Eddy ternyata lebih diingat ketimbang pengarangnya itu sendiri. Berkebalikan dengan aktivis mahasiswa yang lebih akrab dengan nama tokoh (Soe Hok Gie, Ahmad Wahib, Tan Malaka, dan lain-lain) ketimbang mengakrabi karya dan pemikiran mereka.

Roman Picisan mengisahkan penggombal ulung bernama Roman. Kendati selalu sukses membuai banyak perempuan lewat kata-kata, namun cinta Wulandari tak kunjung diraihnya.

Roman gelisah bukan kepalang. Kelihaiannya menggaet perempuan sedang dipertaruhkan di hadapan Wulandari. Sampai-sampai sambil memeluk bantal Roman mengigau,”Wajah itu membayang lagi. Aku menyukaimu. Tapi benarkah kau juga menyukaiku? Wulandari! Wulandari! Aku geeemmmmeeeessss, deh!” [Baca selanjutnya: Ketidaklengkapan dan Pertentangan]Ketidaklengkapan dan Pertentangan

Polemik aktivisme mahasiswa di Mimbar Mahasiswa Solopos beberapa pekan ini merangsang M. Irkham Abdussalam untuk turut serta. Esainya berjudul Menyatukan Idealisme Pergerakan Mahasiswa (Solopos edisi 16 Februari 2016) menyumbang dua perkara penting.

Pertama, term ”penyatuan” yang punya celah ambivalen cukup lebar itu dijejalkan pada konsep psikoanalisis tentang subjek yang tak lengkap. Kedua, pembandingan antara gerakan mahasiswa langsung (demonstrasi) dan tersembunyi (literer).

Dalam pandangan psikoanalisis, subjek dalam dirinya sendiri memang senantiasa tak lengkap. Subjek membutuhkan objek pemuas hasrat untuk mencapai kenikmatan yang dalam bahasa lebih serius disebut jouissance.

Proses menuju jouissance tersebut tak selesai dengan ”penyatuan”, namun lebih merupakan pengejaran tanpa akhir subjek terhadap objek-objek pemuas hasratnya. Apabila subjek telah meraih satu objek pemuas tertentu, ia akan mengejar objek pemuas hasrat yang lain.

Penting untuk diingat, subjek senantiasa tak lengkap. Sering kita melihat ada seseorang yang sungguh-sungguh menginginkan sesuatu dan setelah ia mendapatkannya lantas ingin sesuatu yang lain lagi.

Beberapa orang akan mengatakan serakah, padahal cara kerja subjek memang begitu. Subjek selalu berada dalam proses pengejaran (tanpa akhir) objek pemuas hasrat untuk melengkapi ketidaklengkapannya.

Perlu diperhatikan, pelengkapan subjek jauh berbeda dengan penyatuan. Batman, misalnya, tak akan lengkap tanpa keberadaan Joker. Batman tak pernah membunuh Joker, namun justru terlibat perseteruan tanpa akhir dan tentu saja keduanya tak bisa bersatu.

Begitu pula Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS). Siapa pun tak boleh membubarkan lembaga itu. Jika BEM UNS bubar, kita akan kehilangan—menurut saya–objek pemuas tawa. Ah, betapa kering hidup ini tanpa hiburan.

Keputusan Irkham mempertentangkan gerakan mahasiswa langsung dan tersembunyi sebetulnya wajar, tetapi penting. Mereka yang merasa melakukan aksi nyata dan di sisi lainnya para pegiat literer selalu berada dalam pertentangan hakiki.

Pertentangan semacam itu terdapat pula dalam kisah karya Eddy D. Iskandar yang tadi saya sampaikan di awal. Roman (aktivis cinta) dan Viktor (pegiat literer) terlibat pertentangan ihwal satu isu penting bagi setiap lelaki, yakni tentang perempuan.

Melihat Roman yang murung pada suatu hari, Viktor mudah menebak sebabnya. Dengan sinis, Viktor berkata kepada Roman, ”Sejak zaman prasejarah, perempuan itu dikenal sebagai racun dunia.” Roman menyepelekan Viktor karena ia merasa dirinya lebih berpengalaman soal perempuan.

Viktor berkata, ”Coba kau luangkan waktu untuk membaca kisah tentang Anthony dan Cleopatra, Madame Bouvary, atau Calon Arang. Nah, kan terbukti!” Roman kesal. Ia tak terima diserang Viktor pakai buku.

”Kau pintar berteori, tapi belum pengalaman,” sanggah Roman. Irkham tak usah repot-repot memaksa BEM UNS membaca buku-buku karya Albert Camus, Karl Marx, atau Michael Foucault, paling-paling disepelekan.

Apes, Roman yang antikritik itu justru bernasib sial di akhir cerita. Roman yang mengabaikan nasihat Viktor gara-gara merasa aksinya lebih nyata pada akhirnya harus kehilangan Wulandari.

Viktor hanya mampu berujar, ”Percuma! Kau kan tak pernah memerhatikan omonganku. Kau selalu yakin akan perasaanmu.” Ya, perasaan biasanya lebih dikedepankan ketimbang nalar.



Tak jarang orang bergerak berlandaskan rasa yakin (man jadda wajadda) semata ketimbang berpikir dengan kepekaan situasi. Gegabah. Nasib sial yang menimpa orang antikritik itu jangan diceritakan kepada BEM UNS, ya!

Saya khawatir keyakinan mereka sebagai ”inisiator perubahan” hancur dan setiap kritik kita kepada mereka dianggap melemahkan gerakan mahasiswa. BEM UNS serta pergerakan mahasiswa lainnya pada zaman ini bergerak dengan fantasi dan utopia, kritik argumentatif hanya akan mengganggu fantasi mereka.

Wajar kalau mereka benci dikritik. Terakhir, Irkham melontarkan satu pertanyaan: untuk Udji, apakah kamu mau berdemonstrasi menyuarakan gagasanmu di depan gerbang birokrasi sana? Sudah jelas, jawaban saya: tidak, prei kenceng!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya