SOLOPOS.COM - Suci Nor Afifah (Istimewa)

Mimbar mahasiswa, Selasa (19/1/2016), ditulis Suci Nor Afifah. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Keterlibatan Bahrun Naim, alumnus Universitas Sebelas Maret,  dalam peristiwa teror bom di kawasan Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, membuat saya bertanya-tanya. Apakah dunia akademis sudah mengalami begitu banyak kerusakan sehingga bisa melahirkan pelaku teror yang begitu ganas?

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Apakah dunia akademis boleh memiliki kebebasan akademis yang tanpa batas? Mampukah elite di Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi menciptakan regulasi yang baik dan adil bagi tumbuhnya budaya akademis yang manusiawi dan menginspirasi?

Pertanyaan-pertanyaan tadi bisa dengan mudah kita jawab seandainya kita memahami muruah dunia akademis. Menurut Yasraf Amir Piliang dalam esai Absurditas Intelektual (2005), muruah dunia akademis sangat berbeda dengan muruah dunia politik.

Muruah dunia akademis dibangun dengan fondasi kebijaksanaan untuk menggapai kebenaran universal sedangkan muruah dunia politik dibangun atas dasar klaim kebenaran dan logika kalah-menang. Dunia akademis yang didasarkan atas logika kalah-menang, benar-salah, kawan-lawan telah mengkhianati fitrah dunia akademis.

Dunia akademis yang seperti itu adalah dunia akademis yang telah mengalami kerusakan dan penyelewengan. Penyelewengan dan kerusakan dunia akademis beserta para aktor di dalamnya juga pernah dibahas dengan panjang lebar oleh Julien Benda dalam risalah terkenalnya berjudul Pengkhianatan Kaum Intelektual.

Julien Benda menegaskan akademisi dan cendekiawan merupakan para pendekar keadilan abstrak yang tidak mencemarkan diri pada nafsu-nafsu duniawi. Dunia akademis yang diimpikan para akademisi dan cendekiawan berupaya mengeliminasi unsur-unsur serakah yang melibatkan hasrat egoisme manusia.

Harapannya muncullah pribadi yang moralis, bijak, dan mampu mengemban tugas sebagai pewarta kebenaran. Bisa jadi sikap Arin Dwi Rachmawati dalam Subrubik Mimbar Mahasiswa di Solopos edisi 12 Januari 2016 merupakan sikap seorang cendekiawan yang kurang bijak.

Dengan mengatakan perdebatan teoritis tidak penting dan berasosiasi dengan lingkaran setan, Arin seolah-olah mengarahkan mahasiswa agar bersikap instan dalam memahami persoalan. Oleh Arin, para mahasiswa tidak didorong memiliki budaya literer yang kuat, tetapi didorong hanya menjalankan advokasi dengan teori seadanya.

Sepertinya Arin lupa pada ungkapan Lenin yang menyatakan tidak ada perubahan tanpa ada teori perubahan dan tidak ada revolusi tanpa ada terori tevolusi. Dalam hal ini, perdebatan teoritis merupakan jembatan bagi perubahan sosial.

Perubahan sosial hanya mungkin terjadi jika teori-teori sosial bisa dikembangkan, dipahami, dan dimengerti. Dengan membatasi perdebatan teoritis, kemungkinan-kemungkinan terciptanya perubahan sosial akan semakin sempit sehingga jalan keluar dari rumitnya persoalan menjadi semakin terbatas.

Selain itu, perdebatan-perdebatan akademis merupakan sarana bagi pendewasaan diri yang sangat efektif. Dengan membiasakan diri beradu argumen dalam perdebatan akademis, kita akan belajar bersikap toleran dalam realitas manusia yang plural.

Saya juga yakin, orang yang tidak terbiasa dengan perdebatan akademis akan lebih mudah disusupi ideologi teroris daripada orang-orang yang terbiasa dengan perdebatan akademis. [Baca selanjutnya: Habitus Dunia Pendidikan]Habitus Dunia Pendidikan

Secara sederhana, habitus dunia pendidikan adalah perdebatan akademis, diskusi ilmiah, dan sharing wacana. Pierre Bordieu dalam Homo Academicus (1988) menjelaskan tindakan-tindakan intelek dan akademis merupakan ciri khas yang paling menonjol dari habitus dunia pendidikan.

Dunia pendidikan yang anti pada perdebatan ilmiah hanya akan terjerumus pada klaim-klaim kebenaran mutlak yang tidak boleh dibantah. Kebenaran universal yang menjadi cita-cita tertinggi dalam habitus dunia pendidikan hanya bisa diperoleh dengan mengevalusi, merevisi, dan menyempurkanan penemuan-penemuan kebenaran.

Klain-klaim kebenaran mutlak dalam perdebatan ilmiah sesungguhnya telah merendahkan habitus dunia akademis dan martabat kaum cendekiawan. Kaum cendekiawan yang dididik dengan naluri skeptisisme yang tinggi tidak akan jatuh pada klaim kebenaran mutlak yang tidak bisa dibantah.

Kaum cendekiawan yang tetap mempertahankan klaim kebenaran mutlak adalah kaum cendekiawan yang telah mengalami absurditas identitas diri secara ironis. Hal ini persis seperti pendapat George Bataille dalam Vision of Excess (1989) yang menyebut cendekiawan jenis ini sebagai seseorang yang telah merusak modal intelektual, cultural, dan simbol diri mereka sendiri.

Manusia-manusia ironis ini telah berubah dari mahluk rasional seperti gambaran Aristoteles menjadi manusia bernaluri binatang seperti gambaran Thomas Hobbes. Tugas kaum cendekiawan bukan hanya mengadvokasi dan membela kaum lemah seperti ungkapanan Arin.

Tugas pokok kaum cendekiawan adalah menemukan kebenaran universal dan menginspirasi manusia dengan kebenaran universal tersebut. Kebenaran-kebenaran universal yang ditemukan kaum cendekiawan tidak mungkin akan menyalahi norma kemanusiaan dan peradaban dunia modern.

Kebenaran-kebenaran universal tersebut justru akan banyak membantu manusia membangun norma kemanusiaan dan peradaban dunia modern agar lebih manusiawi. Untuk itulah seorang cendekiawan membutuhkan elemen-elemen masyarakat lain dalam menciptakan masyarakat idaman.

Arbi Sanit menjelaskan dalam buku Gerakan Mahasiswa: Antara Gerakan Moral dan Politik bahwa kaum cendekiawan adalah kaum yang menggagas perubahan, sedangkan kaum aktivis dan politikus merupakan para penerap teori-teori perubahan yang digagas para cendekiawan.

Dengan memahami kembali muruah dunia akademis, saya berharap para intelektual dan cendekiawan semakin banyak membuat teori perubahan yang sesuai dengan realitas zaman. Selain itu, saya juga berharap para intelektual dan cendekiawan mampu menjadi teladan bagi masyarakat agar semakin dewasa dan bijak dalam menyikapi setiap perbedaan.

Jika tidak, saya khawatir tragedi teror bom Jakarta akan kembali terulang sehingga kita akan mengalami semakin banyak penderitaan dan rasa sakit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya