SOLOPOS.COM - M. Irkham Abdussalam (Istimewa)

Mimbar mahasiswa kali ini, Selasa (16/2/2016), ditulis Muhammad Irkham Abdussalam. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang.

Solopos.com, SOLO — Manusia bernama Soe Hok Gie agaknya saat ini tengah risau atau justru tertawa sendiri di alam akhirat sana. Mimbar Mahasiswa Solopos tiga pekan terakhir ini selalu dihuni oleh namanya serta gagasan-gagasan yang ia telurkan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dimulai dari tulisan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS) Doni Wahyu Prabowo yang mengutip kalimat Soe Hok Gie. Lalu di pekan selanjutnya giliran Udji Kayang Aditya Supriyanto yang berbicara mengenai kalimat Soe Hok Gie tentang dendam yang telah membatu.

Dan pada pekan lalu, Muhammad Ilham juga menyinggung peran Soe Hok Gie. Meski menggunakan gagasan Soe Hok Gie, ketiga mahasiswa UNS tersebut menggunakan potongan-potongan gagasan Soe Hok Gie untuk kemudian diintepretasi sesuai dengan pikiran masing-masing.

Alhasil, bantai-membantai opini di Subrubrik Mimbar Mahasiswa terjadi, meski memakai gagasan dari satu manusia bernama Soe Hok Gie. Itu yang kemudian membuat saya berpikir, agaknya, Soe Hok Gie di alam akhirat sana tengah memandang kelakuan junior-juniornya, entah dengan perasaan risau atau justru tertawa.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa saling silang pendapat itu muncul meski menggunakan satu gagasan yang sama? Agaknya Ilham yang mengecap Udji memiliki sinisme, atau Udji yang mengecap Doni sebagai ironis, belum menyadari bahwa mereka dalam bingkai kesatuan.

Mereka berdua berbicara dalam konteks sebagai lawan, bukan justru sebagai kawan. Menganggap bahwa pabrik gagasan dan pergerakannya adalah yang paling baik, saling menjatuhkan dan menistakan gerakan liyan.

Di satu pihak mengunggulkan gerakan kesunyian (baca: lewat tulisan) dan di pihak lain mendewakan pergerakan demonstrasi. Problem saling silang pendapat di atas menunjukkan keterpisahan bahkan saling menjangkar perbedaan.

Mereka tidak menyadari adanya kesatuan, menyingkirkan fakta bahwa sejarah Indonesia dibentuk bukan karena peran satu pihak semata, namun banyak pihak yang bekerja sama dalam metode dan cara yang berbeda.

Saat ini, justru “metode dan cara” itu diperdebatkan, kacaunya lagi menggunakan dalil-dalil orang yang telah meninggal dunia. Duh..duh.., kasihan sekali Soe Hok Gie. Saya tidak bisa membayangkan saat ini Soe Hok Gie tengah bagaimana, risaukah atau justru tertawa?

Erich Fromm dalam psikoanalisis bertesis bahwa pascamanusia diturunkan/dilahirkan ke dunia, ia menyadari keterpisahannya. Keterpisahan itu menimbulkan kegelisahan. Terpisah artinya terputus, tidak ada kemampuan untuk menggunakan potensi manusia.

Tidak mampu memahami dunia secara aktif. Oleh karena itu, manusia mencoba mengatasi keterpisahan. Bagaimana cara mencapai penyatuan, mencapai satu keutuhan, meninggalkan penjara kesendirian.

Senyatanya, baik gerakan demonstrasi maupun gerakan berbasis literer memiliki porsi peran sama besar dalam satu lingkaran. Tidak bisa satu pihak mengungguli pihak lain. Bung Hatta mengatakan, “Sejarah Indonesia adalah sejarah pemuda.”

Lantas, pemuda yang mana yang dikatakan oleh Hatta sebagai sejarah? Apakah hanya tiga pemuda “kurang ajar” dari perkumpulan Menteng 31, yaitu Soekarni, Chaerul Saleh, dan Wikana? Ataukah informan pertama penyebar berita kekalahan Jepang ke pusat kota, Sutan Syahrir, yang hanya berani mendesak tanpa berani melakukan tindakan kurang ajar seperti menculik Soekarno-Hatta?

Nyatanya, proses kemerdekaan negara ini dibentuk oleh penyatuan dua gerakan yang mewakili pemuda. Syahrir sebagai penyedia pistol dan peluru, sedangkan Soekarni, Chaerul Saleh, dan Wikana yang menembakkan. Di sini, dua metode pergerakan yang berbeda disatukan sehingga cita-cita kemerdekaan bisa terealisasikan.

Lihatlah pula Radhar Panca Dahana ketika ia menulis puisi yang terangkum apik berjudul Manusia Istana: Sekumpulan Puisi Politik. Dalam puisi itu, Radhar mencoba menyentil praktik politik yang kaya akan penyimpangan dan korupsi.

Radhar perlu melakukan gerakan nyata dan berani dengan menyodorkan langsung karyanya ke depan mata para politikus yang duduk di birokrasi. Bayangkan saja kalau misalnya Radhar tak acuh terhadap hal itu, tidak melakukan gerakan langsung menyodorkan gagasannya ke depan mata para politikus, tapi langsung menyerahkan tulisannya ke percetakan dan membiarkan semua pemasaran diurus penerbit.

Saya menjamin pesan itu tidak bakal sampai ke hadapan para politikus yang menjadi objek kritiknya. Mungkin ya hanya sampai di mata Udji yang sebenarnya bukan objek kritik utama karya Radhar. [Baca selanjutnya: Sama Kuat]Sama Kuat

Di sini kita bisa menyimpulkan sebenarnya gerakan yang bersifat langsung dan gerakan tersembunyi memiliki peran yang sama yang apabila bersatu akan memberikan hantaman yang kuat. Apakah saya perlu bertanya, siapa musuh kita sebenarnya?

Atau, perlukah saya bertanya balik kepada puisinya Wiji Thukul, “Jan-jane, sapa sing mbok lawan kuwi? Konyolnya, aksi para mahasiswa UNS yang saling silang pendapat di Mimbar Mahasiswa itu tidak menyadari potensi kekuatan yang bisa diciptakan saat mereka bersatu.

Mereka justru malah saling mengkritik dan menyatakan gerakannyalah yang paling baik, paling berpengaruh, paling punya efek, padahal kemerdekaan negara ini tidak bisa hadir tanpa komplotan Menteng 31, atau Menteng 31 tidak pernah bergerak tanpa informan sekelas Sutan Syahrir.

Demikian juga dengan Radhar, tidak akan ada politikus yang mencatat daftar kegiatan hari ini untuk mampir ke toko buku dan membeli buku, apalagi buku kritik politik Indonesia.

Hizkia Yosie Polimpung dalam acara bedah buku di Rumah Buku Simpul, Kota Semarang, menyadarkan saya mengenai pergerakan mahasiswa. Hizkia bersama kawan-kawannya di Jaringan Riset Kolektif resah melihat gerakan mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut kepada negara namun tanpa dasar yang jelas.

Mereka asal pukul, asal koar-koar. Hizkia dan kawan-kawan dari Jaringan Riset Kolektif kemudian melakukan riset panjang untuk membedah secara ilmiah sebuah kedaulatan negara. Hasilnya tertuang dalam buku Asal Usul Kedaulatan yang dipersembahkan untuk kawan-kawan yang memilih gerakan secara langsung untuk dijadikan pedoman dasar mereka bergerak dan berkoar-koar.



Di situ saya melihat bahwa gerakan mahasiswa, baik langsung (demonstrasi) dan tersembunyi (literer), adalah kesatuan, bukan justru keterpisahan. Hanya masalah metode dan cara saja yang berbeda, namun secara inti dan tujuannya sama. Saling melengkapi.

Satu hal yang ingin saya tanyakan kepada Udji dan Doni. Untuk Udji, apakah kamu mau berdemonstrasi menyuarakan gagasanmu di depan gerbang birokrasi sana? Untuk Doni, apakah kamu mau membeli buku dan membaca buku macam karya Albert Camus, Karl Marx, Foucault, Poulo Freire, dan duduk di depan laptop untuk mengetik sebuah esai kritis?

Saya yakin, mereka berdua tidak mau! Toh segalanya sudah jelas dari awal, ketika Erich Fromm menjelaskan soal keterpisahan manusia saat mereka diturunkan/dilahirkan ke dunia. Manusia selalu mencari penyatuan, oleh sebab itu manusia membutuhkan manusia lain untuk menghilangkan perasaan keterpisahannya.

Laki-laki membutuhkan perempuan, perempuan membutuhkan laki-laki. Di awal, laki-laki memang memberi sebentuk sperma kepada perempuan, namun kemudian perempuan juga memberi dalam bentuk buah hati (baca: bayi) kepada laki-laki.

Demikian juga dengan gerakan mahasiswa. Para aktivis gerakan tersembunyi memberikan ide dan gagasan seperti yang dilakukan Hizkia bersama Jaringan Riset Kolektif.

Selanjutnya kawan-kawan gerakan demonstrasi yang memperjuangkannya hingga sampai di depan mata objek yang dilawan. Hanya ada satu kata:  lawan! Dan ditambah satu frasa lagi: dengan cara masing-masing yang saling melengkapi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya