SOLOPOS.COM - Muhammad Taufik (Istimewa)

Mimbar Mahasiswa, Selasa (28/6/2016),  ditulis Muhammad Taufik. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan.

Solopos.com, SOLO — Maraknya pemberedelan pers mahasiswa akhir-akhir ini membuat banyak orang angkat suara. Subrubrik Mimbar Mahasiswa di Solopos menjadi ruang bersuara terkait hal itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Yang menarik ialah sudut pandang baru yang muncul mengenai pemberedelan pers mahasiswa tersebut. Esai karya M. Irkham Abdussalam yang berjudul Pers Mahasiswa dan Banalitas Kampus (Solopos, 17 Mei 2016) mendapat satu tanggapan dari Fera Safitri lewat esai berjudul Pers Mahasiswa Menuju Dewasa (Solopos, 31 Mei 2016).

Kedua esai itu mendapat tanggapan yang menarik dari Hanputro Widyono lewat esainya yang berjudul Pemberedelan itu Memang Didambakan? (Solopos, 7 Juni 2016).

Ekspedisi Mudik 2024

Hanputro menuliskan kembali penjelasan yang diajukan Irkham dan Fera mengenai ”gejolak” di kampus akibat pemberedelan pers mahasiswa yang hanya dilandasi rasa solidaritas antarsesama pegiat pers mahasiswa.

Analisis bahwa birokrat kampus telah menjadi buta dan tulis terhadap kritik dan telah melupakan kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku disebut sebagai tuduhan oleh Hanputro.

Dalam esainya, Hanputro belum menunjukkan betapa repotnya menjadi bagian dari pers mahasiswa. Saya rasa Hanputro mengecilkan arti solidaritas antarsesama aktivis pers mahasiswa

Menurut saya, perlu disampaikan kembali untuk apa eksistensi pers mahasiswa. Pers mahasiswa tentu sebagai sarana belajar jurnalistik bagi para mahasiswa di suatu kampus.

Berbagai macam berita, dalam segala macam  genre penulisannya, yang dihasilkan terus bermunculan. Ini adalah bukti sahih fungsi pers mahasiswa itu. Pers mahasiswa juga menjadi wadah berproses diri atau belajar.

Alangkah baiknya bila berita-berita yang ditampilkan pers mahasiswa adalah berita yang jarang diungkap media arus utama. Dengan kata lain berita yang diangkat adalah berita yang jarang diberitakan media mainstream, serta berita seputar kampus, sebagai bentuk kontrol sosial kehidupan civitas academica.

Proses belajar di pers mahasiswa jelas tidak bisa dianggap sepele. Tentu saja berat. Di samping kesibukan kuliah para awak pers mahasiswa, setumpuk kerja redaksi dan organisasi selalu menunggu untuk segera dirampungkan.

Deadline turut menghantui. Saking padatnya program kerja, sampai anggota organisasi pers mahasiswa nonredaksi sampai turun tangan untuk membantu kerja-kerja awak redaksi.

Sebelum berita diterbitkan, berita selalu melalui proses penyuntingan pracetak dan pascacetak. Sebelumnya juga disertai proses penataan halaman yang tak kalah repotnya.

Saya yakin awak pers mahasiswa pasti melalui proses ini sebelum menampilkan berita dia media yang mereka kelola, baik media cetak, online, atau siaran. Berita yang disajikan pasti siap untuk dibaca dan dinilai oleh para pembacanya.

Setelah melewati tahap yang berliku itu, tak mengherankan betapa prihatinnya aktivis pers mahasiswa ketika melihat tempat belajar mereka diberedel. Simpati dan empati bermunculan.

Mereka yang berempati seolah-olah ikut merasakan bagaimana proses kerja redaksi yang tak mudah dilalui itu. Wajar jika solidaritas antarsesama pegiat pers mahasiswa itu kemudian mengalir.

Banyak pihak yang tak menyadari ketika kampus tak mengacuhkan proses belajar awak pers mahasiswa dengan jalan pemberedelan maka solidaritas antarsesama pegiat pers mahasiswa itulah yang memupuk progresifitas pers mahasiswa. [Baca selanjutnya: Budaya Literer]Budaya Literer

Dalam esainya Hanputro menulis pemberitaan kontra terhadap kebijakan menjadi cara yang paling jitu agar pers kampus tetap mendapatkan perhatian dari rektorat maupun civitas academica lainnya. Dengan begitu pers mahasiswa merasa ada.

Hanputro juga menulis pers mahasiswa sekarang mungkin tak lagi berminat dengan ilmu. Aktivis pers mahasiswa tak suka membaca buku, koran, jurnal-jurnal, maupun hasil penelitian-penelitian dalam bentuk lainnya.

Pernyataan Hanputro ini seolah-olah ingin menandaskan aktivis pers mahasiswa menjauh dari budaya literer karena mereka memilih untuk memberitakan isu-isu kemahasiswaan.

Seolah-olah mereka kehilangan wawasan dan intelektualitas, padahal tidak seperti itu juga. Dalam buku Panduan Buat Pers Indonesia, Ana Nadhya Abrar menuliskan Indonesia memerlukan pers alternatif.

Pers alternatif harus memiliki sudut pandang yang berbeda dengan pers pada umumnya. Abrar menjelaskan pers mahasiswa bisa dijadikan role model pers alternatif.

Pers mahasiswa memiliki aktivitas berpikir ilmiah dengan basis edukasi yang melekat dalam awak pers mahasiswa. Maksud berpikir ilmiah adalah mengamalkan kejujuran intelektual dan transformasi intelektual.

Dalam laku jurnalistik, pers mahasiswa tak perlu ragu memberitakan hal yang dianggap panas atau controversial asalkan fakta-faktanya diuji terlebih dahulu secara ketat.



Pada taraf transfomasi intelektual, aktivis pers mahasiswa dan pers mahasiswa itu sendiri dituntut tidak hanya menjabarkan fakta dengan telanjang. Pers mahasiswa harus melengkapi dengan ide dan gagasan-gagasan segar.

Patokan standar keberhasilan pers mahasiswa adalah ketika berhasil menyajikan berita yang berskala kecil menjadi besar. Gagasan-gagasan yang ditanam dalam berita menjadi bumbu-bumbu peledak.

Pemberedelan menunjukkan keberhasilan pers mahasiswa dalam menyajikan berita. Pemberedelan menggambarkan keberhasilan pers mahasiswa dalam memengaruhi persepsi dan dimensi kehidupan para khalayak. Daya progresif pers mahasiswa terlihat jelas.

Pemberedelan pers mahasiswa tanpa disadari telah membuat distribusi produk yang  menjadi salah satu kendala dalam roda organisasi pers mahasiswa menjadi mulus.

Tatkala berita pemberedelan pers mahasiswa menyeruak dari dalam kampus ke luar kampus, seketika itu juga berita yang bermasalah tersebut ikut tersebar.

Produk pers mahasiswa yang oplahnya hanya sekian (berbentuk media cetak), ketika diberedel beritanya langsung tersebar di dunia maya dan dibaca melebihi oplah yang dicetak oleh awak pers mahasiswa itu sendiri.

Alhasil pemberedelan yang dimaksudkan untuk menghambat kerja distribusi itu malah tak membuahkan hasil. Pemberedelan itu menjadi jalan kontrol sosial dengan skala yang masif, yang notabene adalah salah satu fungsi pers yang dianggap paling vital.

Beranjak dari argumentasi saya di atas maka pemberedelan pers mahasiswa yang disebut Hanputro sebagai yang didambakan, ternyata juga sebuah keberhasilan. Keberhasilan yang didambakan tentunya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya