SOLOPOS.COM - Muhammad Najib (Istimewa)

Mimbar Mahasiswa Solopos, Selasa (28/7/2015), ditulis Muhammad Najib. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Usuluddin IAIN Walisongo Semarang.

Solopos.com, SOLOBill Beattie (1912) pernah mengatakan tujuan pendidikan seharusnya untuk mengajarkan kita cara bagaimana berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pendidikan seharusnya membuat seseorang selalu memerhatikan sesuatu yang akan dikerjakan supaya tepat dan terarah, bukan hanya berpikir yang justru dapat membebani.

Inti dari pernyataan Bill sesungguhnya adalah terwujudnya manusia yang memiliki pemikiran lurus dan benar. Itu merupakan tanggung jawab lembaga pendidikan sebagai kawah candradimuka untuk menimba ilmu pengetahuan, menempa moral, dan membangun karakter seseorang.

Terlihat sangat jelas bahwa lembaga pendidikan sangat menentukan kualitas, kesejahteraan, dan kemajuan suatu bangsa. Ini sebenarnya telah menjadi pengetahuan umum.

Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan kita masih kalah jauh dibanding negara-negara lain. Pendidikan yang bermutu dan maju, sekali lagi, dapat mengantarkan suatu kehidupan yang lebih ”manusiawi”.

Itulah sebabnya, pemerintah harus selalu berbenah dalam mengurusi lembaga pendidikan. Evaluasi dan pembangunan, baik secara fisik maupun nonfisik, harus selalu dilakukan.

Menggantungkan atau bahkan menyalahkan pemerintah saja terkait pendidikan saat ini yang masih belum berkualitas adalah sikap yang salah kaprah. Artinya, kemajuan bidang pendidikan merupakan tanggung jawab seluruh elemen bangsa dan negara Indonesia.

Singkatnya, untuk mewujudkan pendidikan bermutu, sinergi seluruh elemen merupakan sebuah keniscayaan. Untuk menuju cita-cita mulia itu, masalah klasik harus segera diselesaikan terlebih dahulu.

Pertama, lembaga pendidikan banyak yang tidak bertanggung jawab atas lulusannya (output). Agaknya fenomena sekolah hanya bertanggung jawab selama siswa masih aktif belajar di sekolah dan tidak mau tahu setelah siswa kelak lulus mau ke mana dan jadi apa masih jadi hal yang jamak.

Meminjam istilah Dr. Mohammad Nasih, lembaga pendidikan saat ini seperti kandang ayam potong. Ketika umur ayam sudah mencapai 60 hari harus dijual semua (cuci gudang). Lembaga pendidikan nyaris sama.

Setiap tahun siswa atau mahasiswa harus keluar, tidak peduli berkualitas atau tidak. Sekali lagi, fenomena tidak ada tanggung jawab oleh lembaga sekolah atas lulusannya inilah yang kemudian menyebabkan seseorang tidak terarahkan sehingga pada akhirnya kebingungan.

Lebih mengerikan lagi di beberapa lembaga sekolah ada yang mewajibkan lulusan untuk mengabdi selama satu tahun. Tentu kebijakan seperti ini, menurut pandangan saya, justru akan menghambat proses akselerasi.

Logikanya sederhana, ketika lulus SMA dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi tentu terhambat selama satu tahun, padahal waktu satu tahun itu sangat penting. Mengabdi memang sesuatu yang positif, namun dalam konteks ini mengabdi seharusnya dilakukan ketika siswa masih aktif bersekolah. [Baca: Bongkar Pasang Kurikulum]

 

Bongkar Pasang Kurikulum
Caranya dengan mengajari para junior di luar jam sekolah. Laku yang demikian ini agaknya sangat efektif dan saling menguntungkan. Kedua, sistem pendidikan. Di Indonesia, sejak zaman dahulu sampai sekarang sekurang-kurangnya sudah 10 kali bongkar pasang kurikulum.

Setiap ganti menteri diiringi ganti kurikulum. Kebijakan demikian ini tentu sangat mengganggu siswa dalam hal belajar. Kurikulum yang tidak pasti menyebabkan siswa kebingungan dan akhirnya akan berdampak pada kualitas diri.

Seharusnya kurikulum digodok dengan matang dan dilengkapi seiring berjalannya waktu, bukan langsung diganti bak ban bocor. Ketiga, kualitas pendidik. Tentu kita semua sepakat bahwa guru yang memiliki kompetensi atau prestasi tinggi akan berbanding lurus dengan prestasi siswa yang diajarnya.

Di sinilah letak betapa pentingnya kualitas seorang pendidik. Lebih dari itu, seorang guru tidak cukup bisa mendidik, melainkan juga harus bisa menghardik. Sertifikasi harus diimbangi dengan meningkatnya prestasi seorang guru.

Faktanya, sertifikasi hanya digunakan untuk meningkatkan mutu kehidupan guru. Kenyataan yang demikian ini dapat terlihat sangat jelas ketika halaman depan sekolah sekarang ini bak show room mobil.

Pendidikan nasional harus disempurnakan melalui berbagai terobosan-terobosan yang terarah. Pemberian beasiswa adalah salah satu yang harus disempurnakan. Sejauh ini, pemerintah mempunyai program unggulan, yakni memberikan beasiswa kepada siswa/mahasiswa yang memiliki prestasi tinggi.

Pemberian beasiswa tersebut kebanyakan hanya diberikan begitu saja, tanpa ada pembinaan khusus dan intensif. Alhasil, uang yang seharusnya digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kompetensi siswa malah dibelikan gadget dan lain sebagainya.

Pembinaan secara terarah dan intensif harus segera dirumuskan. Hal ini penting karena dapat meningkatkan dan mengawal prestasi siswa/mahasiswa sehingga ketika mereka lulus menjadi manusia yang berdaya dan siap memberdayakan manusia lainnya.

Inilah rumusan pendidian yang membebaskan, rumusan pendidikan yang sesungguhnya. Victor Hugo berkata, ”Manusia yang membuka pintu sekolah itu menutup pintu penjara”.



Dari sini kiranya sangat jelas bahwa persoalan yang mengintai lembaga pendidikan sejak dulu sampai sekarang tak kunjung diselesaikan. Berbagai kritik dan masukan sudah banyak diberikan, bahkan gencar, oleh berbagai kalangan ahli dan sejenisnya.

Bisa disimpulkan bahwa pendidikan nasional belum sepenuhnya berorientasi mencetak generasi unggul siap tempur. Alih-alih mencetak generasi unggul, menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan ”selera pasar” saja sudah kewalahan.

Sitauasi dan kondisi seperti ini memunculkan kesan bahwa lembaga pendidikan/sekolah/perguruan tinggi hanya dijadikan wadah untuk menyibukkan diri dan memperlambat usia pernikahan. Hal ini bisa dipahami ketika kita melihat realitas di wilayah perdesaan.

Kebanyakan anak/remaja usia sekolah bersekolah hanya sekadar masuk sampai pulang dan setelah menyelesaikan sekolah langsung menikah. Sekolah dijadikan syarat menikah. Kelompok ini mempunyai pikiran bahwa sekolah setinggi apa pun, ujung-ujungnya, kalau laki-laki pergi ke sawah, sementara perempuan di dapur dan di sumur.

Jika fakta seperti ini dibiarkan, kapan pendidikan Indonesia bisa maju? Kita semua mengerti bahwa untuk mencetak generasi unggul tidak bisa ditempuh dalam waktu 12 tahun saja.

Sebagian besar penduduk Indonesia setelah lulus SMP dan SMA atau yang sederajat langsung menikah meskipun minim bekal. Apakah mereka sudah merasa cukup hanya menjadi kacung? Entahlah. Ini adalah pekerjaan rumah terbesar bangsa Indonesia. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya