SOLOPOS.COM - Tri Hariyanti, Mahasiswa Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tri Hariyanti, Mahasiswa Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Menghadapi ujian akhir semester (UAS) yang kini ditempuh, banyak mahasiswa mendapati berbagai kecemasan terutama nilai yang dikhawatirkan tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kita seringkali lalai! Nilai kita anggap sebagai orientasi utama untuk menopang lulus tidaknya sebuah mata kuliah yang diikuti. Nilai lebih kita utamakan dibandingkan sebuah proses yang jauh lebih penting. Berbicara mengenai nilai, semua mahasiswa pasti menginginkan nilai yang tinggi. Akan tetapi, bagaimana bila cara mendapatkannya dengan cara atau langkah yang keliru? Berbagai macam cara ditempuh secara mati-matian oleh sebagian mahasiswa supaya berhasil mendapat nilai yang bagus.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebagian mahasiswa tak sekadar berfikir pragmatis, akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah mereka melakukan tindakan yang nekat. Sebagian mahasiswa melakukan tindakan tak terpuji selama UAS, misalnya menyontek, menanyakan jawaban kepada teman, bahkan yang paling memalukan adalah mahasiswa tak segan-segan browsing jawaban di Internet dengan menggunakan handphone.

Mahasiswa sudah kehilangan rasa malu. Apa yang kita lihat saat-saat ujian adalah realita yang tak hanya memrihatinkan, kita pun juga masih menyayangkan mengapa mahasiswa yang sering disebut sebagai kaum intelektual berbuat demikian. Adanya pikiran pragmatis dan tindakan nekat inilah yang sekarang masih menjadi masalah serius di kampus-kampus. Terbukti setiap akan menyelenggarakan UAS, (pihak) kampus pasti mengecek dan memasang CCTV di seluruh ruangan guna mengawasi mahasiswa saat penempuh ujian. Hal itu dilakukan sebagai tindakan preventif  agar mahasiswa tidak berbuat curang.

Apakah arti nilai apabila tak ada sebuah proses yang mendewasakan dan memberikan pelajaran tersendiri? Memang, di satu sisi nilai menempati posisi penting dari adanya sebuah usaha, namun kita mesti menyadari tanpa proses yang dilalui nilai yang bagus itu tak akan ada artinya. Nilai bagus itu hanya sekadar pengisi lembar kartu hasil studi (KHS) yang akan kita terima setelah perkuliahan satu semester selesai, atau yang lebih tragis nilai bagus itu hanya akan menghiasi transkrip nilai di selembar ijazah kelak.

Kebiasaan memperoleh nilai secara tidak jujur  tersebut telah ada sejak dulu. Semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, maupun Sekolah Menengah Atas, kebiasaan terebut sudah sering kita lihat. Dengan kata lain pula, kebiasaan tersebut sudah menjadi kebudayaan. Ironis.

 

Mengubah Paradigma

            Persaingan di dalam dunia akademik memang ketat. Kita berlomba-lomba mendapat nilai yang baik dalam setiap ujian. “Kebiasaan buruk” di dalam ujian seyogyanya jangan sampai mengakar dan terus membudaya, mengingat kaum muda adalah kaum yang diharapkan menjadi bagian penting kemajuan sebuah masyarakat atau negara. Dengan membenarkan pendapat Suharno (1987) kita menjadi tersadar. Jika sebetulnya sejak lahir, kita (kaum muda) tumbuh dan mulai berproses menjadi manusia bertanggung jawab, dapat mempergunakan keterampilan dan percaya akan diri sendiri. Hal inilah yang sering kali kita abaikan. Kita sering bersikap tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan. Kita juga sering tak percaya pada kemampuan diri sendiri padahal kita mampu melakukannya.

Sadar atau tidak, mahasiswa harus mengubah paradigma yang telah lama berkembang. Pandangan nilai yang lebih utama daripada proses harusnya tak menjadi jembatan mahasiswa terjerumus pada jalan yang salah. Sudah saatnya proses lebih diutamakan daripada nilai yang dikejar. Itu artinya, nilai baik pun akan mengikuti secara otomatis apabila proses dan usahanya baik.

Arah pendidikan tak lain adalah proses pencapaian nilai yang baik. Mahasiswa harus memenuhi berbagai ujian dan tugas sebelum mendapatkannya. Kemauan mahasiswa dalam mendapat nilai baik harus dibarengi dengan proses serta kerja keras. Sebagai pembelajar sejati proses adalah hal utama yang harus dilakukan sebelum nilai yang menjadi prioritas utama diharapkan. Proses akan memacu mahasiswa untuk terbuka, menerima hal baru dan lebih dari itu mahasiswa akan terasah kemampuannya sehingga lebih terampil, tekun, dan bertanggung jawab.

Kini sudah saatnya mahasiswa mengedepankan proses daripada nilai. Melalui proses, jiwa dan sikap akan terbangun sehingga timbul kesungguhan di dalam setiap usaha. Proses inilah yang menuntun mahasiswa untuk berlaku jujur, bertanggung jawab, dan terbuka secara menyeluruh. Proses itulah yang akhirnya mengembangkan kedewasaan mahasiswa dalam berfikir dan bertindak. Artinya, proses tersebut juga mendorong mahasiswa tidak berpikir pragmatis dan berbuat nekat di dalam menghadapi UAS. Selamat belajar!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya