SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Iksan Basoeky,  Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Aku Menulis Maka Aku Ada adalah satu judul buku yang pernah ditulis almarhum Zainal Arifin Thoha, pendiri pondok pesantren mahasiswa di Kota Jogja. Jorge Luis Borges (1899-1986), sastrawan Argentina, sempat membayangkan bahwa surga adalah sejenis perpustakaan karena begitu gemarnya dia membaca.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Dua tokoh ini mengingatkan imajinasi kita akan pentingnya membaca dan menulis, lebih-lebih bagi mahasiswa di tengah merosotnya budaya membaca dan menulis di lingkungan akademis. Sebagai penerus bangsa, tentu mahasiswa dituntut mencontoh para founding fathers mereka. Soekarno, misalnya, adalah tokoh yang sangat intim dengan aktivitas membaca dan menulis.

Pidato-pidato heroik Soekarno selalu tercipta dari hasil bacaan yang ia dapatkan dari halaman-halaman buku di berbagai belahan dunia. Tak mengherankan bila pidato kenegaraannya bisa menginspirasi orang banyak sekaligus mendapat pujaan dari berbagai kalangan, tak hanya Indonesia, melainkan juga dunia.

Ignas Kleden menyatakan dalam sebuah artikelnya, Soekarno, Pancasila, dan Sejarah Teks, bahwa pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 berhasil menyampaikan artikulasi Pancasila sebagai filsafat negara dan pandangan dunia (Ignas Kleden, 2007).

Sosok proklamator Republik Indonesia ini juga senantiasa menghasilkan karya tulis. Buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi (DBR), yang diterbitkan oleh penerbit di bawah pimpinan H Mualliff Nasution pada 1959, merupakan salah salah satu himpunan tulisan-tulisan Soekarno di masa penjajahan Belanda sekaligus sebagai sumbangan intelektual bagi bangsa ini.

Erat kaitannya dengan sebuah karya, pada 1950 dalam sebuah seminar buku di Jakarta, Soekarno membocorkan rahasia lewat tulisan di buku tamu: Buku-buku adalah temanku. Di sana aku bertemu orang-orang besar. Pikiran-pikiran mereka menjadi pikiranku. Cita-cita mereka menjadi dasar pendirianku. Rahasia ini diungkapkan agar generasi penerusnya juga memiliki kegemaran membaca buku dan berniat berkarya sebagai buah dari hasil bacaannya.

 

Belajar dari Sejarah

Generasi muda adalah generasi yang pantang menyerah dan berani melawan dari segala gempuran tantangan. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sosok ala Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu sosok yang tidak pernah berkeluh kesah dan siap melawan walau menepi dalam tembok tahanan.

Pram, sapaan akrabnya, membuktikan pada bangsa ini bahwa dirinya adalah sosok yang gigih, pemberani dan intelektual yang produktif. Meksi berkali-kali karyanya dilarang, Pram tidak pernah patah semangat untuk berkarya. Setidaknya lebih dari 50 karya tulis yang telah tercipta dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing (Pramoedya Ananta Toer, 2005).

Bahkan, salah satu karya monomentalnya lahir dari jeruji tahanan yakni Tetralogi  Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca). Tetralogi Buru ini merupakan karya bersejarah yang  tak bisa terlupakan dalam ingatan publik, baik tua maupun muda. Semangat berkarya dan budaya membaca sebenarnya telah dicontohkan oleh para pendahulu kita. Lalu pertanyaannya masihkah kita akan tetap berdiam diri dan tidak mau membaca dan berkarya seperti mereka?

Sebagai generasi muda, mahasiswa dituntut melanjutkan estafet perjuangan intelektual para pendahulunya, yakni dengan mengamalkan membaca dan menulis. Dengan membaca dan menulis kita dapat mengusai dunia. Ajip Rosidi, seorang sastrawan dan budayawan, juga terkenal gila membaca. Puluhan buku sastra dan budaya lahir dari tangan kreatifnya. Bukti ini menunjukkan bahwa membaca adalah media penggerak imajinasi untuk menghasilkan sebuah karya.

Suherman lewat bukunya, Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban, mengingatkan kita bahwa membaca adalah kunci untuk membuka cakrawala peradaban dunia dan lewat membaca pula pintu intelektual seseorang itu akan mencapai kesuksesannya (Suherman, 2010).

Dalam konteks ini, membaca menjadi titik kisar tumbuh-berkembangnya suatu pengetahuan. Tanpa membaca, narasi pengetahuan akan macet, sejarah  terlupakan, perkembangan sains akan mundur dan tranformasi pengetahuan dari waktu ke waktu akan mandek ditelan zaman. Pada akhirnya semua akan sirna.

Itulah yang tidak kita inginkan di tengah perkembangan teknologi informasi, khususnya Internet. Kehadiran Internet setidaknya menjadi harapan tambahan bagi pertumbuhan wawasan akademis, bukan justru menghilangkan roh spiritualitas membaca di kalangan masyarakat Indonesia dan mahasiswa pada khususnya.

Data terkini dari United Nations Development Programme (UNDP), misalnya, menyebutkan dalam hal minat membaca, Indonesia menempati peringkat ke-96, sejajar dengan Bahrain, Malta dan Suriname. Bahkan, untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ke-3 di atas Laos dan Kamboja. Sungguh miris jika hal ini tetap dibiarkan terjadi dan mecederai dunia pendidikan dan civitas academica bangsa ini.

Dalam konteks ini, saya sangat setuju dengan Surat Edaran Dirjen Dikti Kemendikbud No 152/E/T/2012 tyang mengatur publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S1/S2/S3. Setiap mahasiswa yang ingin mendapatkan gelar sarjana (lulus) wajib memublikasikan karya tulis di jurnal ilmiah yang terakreditasi.

Tujuannya sangat mulia, agar tradisi membaca dan menulis dalam lingkungan kampus hidup kembali sebagai manifestasi melanjutkan estafet perjuangan para pendahulu kita yang peduli berkarya. Kultur menulis di lingkungan kampus memang perlu dikembangangkan mengingat karya tulis ilmiah menjadi kebutuhan primer yang tidak boleh dikesampingkan demi mengasah intelektualitas dan media pertanggungjawaban peradaban. (iksanbasoka@gmail.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya