SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tri Hariyanti
Mahasiswa Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia dan Daerah
Universitas Muhammadiyah
Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Saya Sasaki Shiraishi (2009) dalam bukunya Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik berpendapat sekolah yang memisahkan sekaligus menyiapkan anak-anak menuju masyarakat dewasa memiliki tempat dan tata tertibnya sendiri. Sekolah menyita suatu periode pendidikan seorang manusia atas nama masa depan. Masa kecil di sekolah dibentuk oleh ruang dan waktu tersebut.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sekolah mengandung makna sebagai jalan yang mendasar bagi setiap individu untuk memperoleh ilmu dan bekal hidup. Di sekolah kita dididik untuk memasuki masa depan yang di dalamnya terdapat cita-cita mulia. Kita lantas berpikir tentang cita-cita mulia apa yang mulai kita dapati sebagai awal mempersiapkan dan menjalankan berbagai usaha untuk mencapainya.

Kabar mengenai 98 ”guru sehari” yang mengajar di Solo dalam program Kelas Inspirasi, SOLOPOS (19/2/2013), layak kita pikirkan. Kita mendapati berita tersebut dengan sekian tanda tanya. Persoalannya, apakah anak-anak sepuluh SD tersebut akan terdorong dengan berbagai cerita pengalaman tentang profesi mereka selama ini? Dan, apakah gerakan pendidikan dengan cara serta program seperti ini mampu menyudahi krisis wawasan tentang cita-cita atau justru sebaliknya?

Anak-anak SD diinspirasi hanya dengan cerita pengalaman yang hanya sehari lantas ditinggal! Bukankah cita-cita itu hanya akan menjadi angin lalu? Tidak membekas, apalagi membantu siswa dalam menggapainya. Kelas Inspirasi yang terealisasi di Jakarta, Bandung, Surabaya, Pekanbaru, Jogja dan Solo (2013) ini memahamkan masyarakat khususnya kepada anak-anak SD agar mengerti cita-cita.

Tujuan Kelas Inspirasi ini tidak lain untuk membuka wawasan agar memilih cita-cita mereka sejak dini, berupa pengenalan berbagai jenis profesi kepada murid-murid. Para profesional yang meliputi dokter, psikolog, apoteker, pebisnis, penyiar, jurnalis, tenaga marketing, public relation officer dan sebagainya mengajar sepuluh SD di Solo pada Rabu (20/2). Para profesional itu menceritakan pengalaman sesuai dengan profesi masing-masing.

 

Pamrih

Anies Baswedan, Ketua Gerakan Indonesia Mengajar, mengajak semua profesional di kota besar untuk membenahi dunia pendidikan nasional dengan mengikuti program tersebut. Nalar seperti ini yang tidak disadari akan menyesatkan anak-anak SD dalam mengarungi cita-cita. Mereka akan berpikir profesi seperti diceritakan ”guru sehari” yang berkesan hebat.

Kita mengingat masa kecil dengan beragam mimpi. Lalu bagaimana mereka mendapati indahnya mimpi-mimpi bila akhirnya terjerat nalar profesi? Kita menyayangkan  mengapa hanya para profesional yang digadang-gadang dan dipercaya  mampu memotivasi sekian ribu murid SD, sedangkan para nonprofesional yang nyata-nyata dekat dengan mereka tak diberi ruang untuk itu. Para nonprofesional seperti petani, nelayan, peternak, penjahit dan sebagainya tak diberi kesempatan.

Pekerjaan demikian memang tak memiliki label profesional dan gelar tetapi mereka menghendaki keikhlasan, kegigihan, loyalitas, tanggung jawab dan perjuangan yang tiada banding! Selain itu, mereka juga dapat berkisah tentang kehidupan yang banyak memuat aspek pendidikan, keterampilan dan kemanusiaan. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan profesi yang diangankan dalam Kelas Inspirasi.

Model profesi yang diceritakan kepada anak-anak SD secara tidak langsung menuntun anak-anak mengikuti jejak profesi yang mereka ceritakan serta menghendaki pamrih supaya kelak mereka (anak-anak SD) akan menjadi seorang profesional. Nalar seperti ini yang memaksa anak-anak bermimpi mengikuti profesi orang lain, bukan mengikuti kehendak hati berdasarkan kemampuan mereka masing-masing.

Andrea Hirata, penulis buku yang pernah mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi di Universite de Paris, Sorbonne, Prancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom, mengaku mendapat wawasan luas tentang pendidikan dan merawat mimpinya sejak kecil bukan semata-mata dari orang-orang profesional.Motivasi itu justru datang dari Tuhan, keluarga, sahabat, guru, pengalaman keseharian dan bahkan sekolah yang hampir musnah!

Melalui proses alami dan panjang yang demikian itu dapat membawa dirinya kepada kesuksesan. Nalar kultural dan nalar spiritual inilah yang justru harus ditanamkan sejak kecil. Nalar spiritual yang meyakini kekuasaan Tuhan dan nalar kultural yang akan menguatkan dirinya agar tak berpaling dari identitas. Artinya, ia (pun) akan tetap memiliki cita-cita tetapi bukan dari bentukan iming-iming atau angan-angan sesaat yang menggelincirkan.

Menginspirasi masyarakat, khususnya anak-anak, dalam membuka wawasan serta membenahi pendidikan nasional tidak cukup hanya mendatangkan orang-orang yang dianggap profesional dan menceritakan pengalaman profesi masing-masing. Program Kelas Inspirasi yang melibatkan para profesional yang memberi masukan ekstra sebagai tambahan tidak berarti buruk, hanya saja kita tidak ingin sesuatu hal (buruk) bakal terjadi. Hal buruk itu terjadi ketika Kelas Inspirasi itu gagal memenuhi mimpi dan menjadikan anak terjebak nalar profesi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya