SOLOPOS.COM - Maulana Kurnia Putra, Mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret (FOTO: Istimewa)

Maulana Kurnia Putra, Mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret (FOTO: Istimewa)

Puluhan orang mendengarkan ucapan-ucapan Suparto Brata, Minggu (24/6) malam, di Balai Soedjatmoko Solo. Penulis yang telah menerbitkan puluhan buku itu  berbagi harapan tentang kaum muda sebagai penentu nasib sastra. Malam itu, perbincangan mengalir hangat untuk membedah novel Generasi yang Hilang (1980), novel yang berlatar sejarah Solo dan skandal percintaan di keraton pada masa kekuasaan Paku Buwono X.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Suparto Brata berbicara dengan bahasa yang renyah tetapi menggugah. Dia  berharap besar pada  kaum muda untuk kembali mengingat sastra dan budaya literer sebagai gerak pembentukan jati diri sebuah bangsa. Dia mengungkapkan seharusnya para siswa yang belajar di sekolah dasar hingga menengah atas dididik untuk membaca dan menulis buku. Artinya, kultur literer itu seharusnya terbentuk sejak awal. Harapannya itu terbangun ketika berlimpahnya toko-toko buku dan perpustakaan namun tidak juga meningkatkan jumlah dan kualitas pembaca.

Suparto Brata adalah seorang tua, berumur 80 tahun, tetapi bergairah memimpikan sesuatu yang lebih besar dari budaya literer. Tak ada yang salah dari mimpinya dan usahanya. Apalagi terhadap Kota Solo yang memiliki biografi kesusastraan yang gemilang pada masa lalu. Kaum muda yang malam itu duduk lesehan menyimaknya dengan takzim. Dia  serupa penyulut asa literer kota meskipun dengan napas tuanya. Harapannya serupa dengan Suprapto Suryodharmo, budayawan dan pemilik Padhepokan Lemah Putih, yang tidak lelah mengampanyekan Solo adalah kota pusaka, pujangga dan pustaka.

Di lain ruang dan waktu, asa literer terus bergeliat oleh gerakan kaum muda di Kota Solo (dan sekitarnya). Kita mengenal beberapa lokasi asa itu dibangun. Kaum muda berkumpul di Balai Soedjatmoko, Taman Budaya Surakarta (Taman Budaya Jawa Tengah di Solo), Bilik Literasi, Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan beberapa tempat lain untuk menggerakkan sastra dan literer.

Geliat sastra dan literer secara kuantitatif bergerak masif oleh banyak kaum muda yang berkumpul dan menyebarkan ide, cara pandang, gagasan dan kebersamaan. Gerak sastra dan hasrat literer kemudian menjadi sebuah modal kota untuk merekatkan kembali keterpecahan dunia sosial setelah modernisasi yang lekat pada kaum urban. Secara kualitas, gerak literer oleh kaum muda di Kota Solo patut diacungi jempol. Yudhi Herwibowo, koordinator Pawon Sastra, pada Mei lalu memenuhi undangan Wordstrom & National Poetry Festival di Australia.

Sedangkan pada Oktober mendatang, Indah Darmastuti (novelis) dan Bandung Mawardi (esais) yang bergiat di kota ini juga akan memenuhi undangan Ubud Writers and Readers Festival 2012 di Bali. Peristiwa berkelas internasional itu barangkali bisa dimaknai sebagai tanda menguatnya gerak literer oleh kaum muda. Interaksi keluar, memenuhi panggilan seni dan perjumpaan-perjumpaan yang mengusung nilai-nilai kultural menjadi sangat mungkin dan realistis melalui gerak literer kaum muda.

 

Lirih

Hasrat literer di Kota Solo terus bergerak oleh kaum muda. Perlahan berbagai tulisan lahir dari berbagai perspektif: sosial, antropologi, sejarah, ekonomi, pendidikan, budaya, politik dan lain-lain. Tulisan-tulisan atas nama literer terbit menjadi buku dan tampil di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Kita bisa menilai tulisan-tulisan itu sebagai rekam jejak perjalanan gerakan literer selama beberapa waktu. Namun, gerak literer di Kota Solo serupa suara lirih yang tak terdengar dan terbaca oleh pemerintah kota.

Gerak literer di Kota Solo tak dianggap sebagai agenda kultural oleh pemerintah kota. Agenda kultural oleh pemerintah kota didefinisikan sebagai agenda politik, ekonomi dan pariwisata. Banyak acara yang diselenggarakan oleh pemerintah kota dalam Kalender Event Kota Surakarta 2012. Tidak satu pun mencatatkan sastra atau literer sebagai salah satu agendanya. Barangkali bisa dicurigai, terdapat pamrih praktis dari agenda kultural Kota Solo, yaitu pamrih ekonomi, politik dan citra kota. Dengan agenda-agenda kultural ala pemerintah kota ini seperti ada percobaan pendefinisian kota sebagai sebuah tempat yang ramai, orang-orang berkumpul dan menonton.

Akibatnya, sastra (literer) yang merupakan dunia kontemplasi dipinggirkan dari agenda publik. Barangkali memang Kota Solo tidak ingin merenung, memilih keramaian sebagai bukti kemajuan dan citra kota. Kita bisa menilik biografi literer Kota Solo pada zaman dulu. Beberapa pujangga besar menjadikan Solo sebagai kota yang penuh cerita.

Kita ingat Yosodipuro I, Yosodipuro II, Ranggawarsita dan Padmasusastra. Kemudian pada zaman mutakhir, tersebutlah nama Arswendo Atmowiloto, WS Rendra, Sapardi Djoko Damono dan Wiji Thukul yang menggerakkan literer di Kota Solo. Hasrat besar mereka terhadap literer terus bergerak, yakni menceritakan Kota Solo dalam berbagai perspektif.

Ironisnya, kegemilangan gerak literer Kota Solo saat ini meredup. Ada yang kita lupakan dan disingkirkan dari sejarah identitas kota, yang pada masa lalu terbentuk oleh fondasi pusaka, pustaka, pujangga. Hasil kerja literer tidak lagi terbaca oleh publik, padahal kota ini memiliki sejarah awal dari kemunculan perpustakaan. Kita ingat, Radya Pustaka merupakan rintisan perpustakaan dan gerakan literer di Indonesia. Kota Solo lupa literer, lupa sejarah. Saat ini, Kota Solo malah menawarkan berbagai arus kesenian dan hiburan yang semakin meninggalkan identitasnya masa lalu.

Walaupun situasi kurang begitu memihak, kaum muda sepertinya tidak akan berputus asa oleh kebijakan pemerintah kota yang mengabaikan sastra dan literer. Buktinya, kaum muda masih terus mengadakan acara-acara produktif dalam gerak literer, antara lain diskusi, workshop, obrolan buku, sidang esai. Hebatnya lagi, semangat membara kaum muda dibuktikan dengan tetap menerbitkan beberapa produk literer, antara lain Buletin Pawon, Koeping Lemoet, Edaran [Ora] Weruh dan Papirus. Ada yang dibagikan secara gratis, ada juga yang dijual dengan harga murah. Sungguh, bara literer tak pernah redup, apalagi mati.

Mereka mengingatkan kita, Kota Solo tidak hanya kota keramaian dan pertunjukan. Kota ini adalah kota yang penuh cerita, kota yang perlu berkontemplasi dalam dunia kata. Kota Solo boleh terkenal maupun tumbuh jadi kota metropolitan tetapi seabgian kaum muda sepertinya yakin bahwa sastra dan literer sangat diperlukan agar identitas kota tidak tergerus ambisi-ambisi pragmatis.

Kaum muda dalam gerakan literer di Kota Solo adalah bagian masa depan kita, yang mungkin saja tidak tercatat di benak para penentu kebijakan kota. Mereka tidak ingin mabuk popularitas tapi mereka tak akan berhenti untuk menceritakan segala hal di Kota Solo. Semoga saja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya