SOLOPOS.COM - Agus Yulianto, Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Agus Yulianto, Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan Institut Agama Islam Negeri Surakarta

(Tanggapan untuk Mutimmatun Nadhifah)

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ketika saya membaca artikel Mutimmatun Nadhifah berjudul Ironi Mahasiswa Berorganisasi di SOLOPOS, Selasa (11/6), saya sangat tertarik untuk menanggapinya. Sepemahaman saya kesimpulan tulisan tersebut kurang lebih menyatakan secara idealnya para mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi intra dan ekstrakampus belum bisa disebut sebagai mahasiswa karena mereka belum bisa menjadikan budaya literer sebagai bagian hidup mahasiswa.

Sepengetahuan saya yang aktif di lembaga organisasi mahasiswa realitasnya tidak seperti apa yang disampaikan Mutimmatun. Pertama, Mutimmatun mengemukakan organisasi mahasiswa merupakan salah satu jembatan untuk memperoleh indeks prestasi komulatif (IPK) yang tinggi, menjadi manusia nomor satu di kampus dan masuk daftar orang-orang penting.

Realitasnya, berdasar pengalaman saya, tidak demikian. Dengan berorganisasi mahasiswa didorong untuk belajar lebih rajin, tidak hanya menjadi mahasiswa yang aktif di organisasi saja akan tetapi harus diimbangi dengan prestasi akademik yang bagus. Ketika dikatakan dengan berorganisasi mahasiswa dapat menjadi nomor satu di kampus  dan masuk daftar orang penting, itu merupakan hal yang wajar. Di mana pun berada yang namanya berorganisasi itu kita selalu berhubungan dengan orang-orang penting, baik itu di kampus maupun di masyarakat.

Dengan berorganisasi kita dilatih bagaimana cara berkompetisi yang sehat,  bukan kompetisi yang tidak logis. Jabatan [di organisasi] bukanlah segala-galanya. Dengan berorganisasi sesungguhnya kita dilatih menjadi seorang pejabat. Dengan seperti itu, kita belajar bagaimana mengatasi permasalahan di kampus maupun di masyarakat. Jangan hanya jadi mahasiswa yang sekadar menjadi penonton dan pandai berkomentar.

Dalam kehidupan sehari-hari, organisasi menjadi sebuah kebutuhan nyata bagi manusia. Ini kembali kepada hakikat manusia sebagai makhluk sosial, yaitu manusia tidak dapat berdiri sendiri untuk menjalankan kehidupannya. Di dalam kehidupan sehari-hari, seorang manusia akan selalu bersinggungan dengan manusia lain. Persinggungan tersebut dapat menguntungkan (kerja sama) dan dapat pula merugikan.

Pepatah mengytakan sepotong lidi akan mudah dipatahkan dengan sekali serangan, namun seikat lidi akan sangat sukar dipatahkan dan dapat pula kita pergunakan sebagai alat untuk membersihkan kotoran dan debu. Dengan berorganisasi akan terjadi persatuan yang erat dari kelompok manusia yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Manusia tersebut harus membentuk organisasi sebagai wadah persatuan dan kekompakan. Mahasiswa harus turut serta berorganisasi jangan sampai menjadi mahasiswa yang apatis.

Kedua, menurut Mutimmatun mahasiswa aktivis itu cenderung jauh dari buku. Realitasnya tidak demikian. Selama ini buku merupakan makanan sehari-hari kalangan mahasiswa aktivis sebagai wahana untuk memperkaya khazanah keilmuan dan intelektualitas. Di dalam sebuah organisasi ada yang namanya program di mana sebagai mahasiswa aktivis itu harus terus mengasah keilmuan melalui membaca buku dan diskusi. Mustahil sekali jika ada yang mengatakan aktivis cenderung jauh dari buku dan dunia diskusi.

Saya yakin pasti Mutimmatun selama ini tidak pernah merasakan dunia organisasi. Atau, hanya berorganisasi untuk sekadar ikut-ikutan atau bahkan hanya ingin mendapatkan nilai plus dari dosen. Banyak dosen yang dulu ketika menjadi mahasiswa mereka juga aktif di lembaga kemahasiswaan karena hal tersebut sangat mendukung pengembangan soft skill.

 

Penentu Kesuksesan

Berdasarkan hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill), tetapi justru lebih ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Realitas pendidikan di Indonesia memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Menurut Anies Rasyid Baswedan, soft skill justru harus dominan di tataran kegiatan ekstrakurikuler, dalam hal ini adalah organisasi mahasiswa.

Menurut Anies, IPK hanya penting untuk menarik datangnya seleksi lowongan kerja. Jika diterima pun, mereka akan kalah oleh pekerja lain yang memiliki jiwa kepemimpinan. Tanpa kemampuan kepemimpinan, lulusan perguruan tinggi akan tumbang dan gila (Suara Pembaruan Daily, 18 Juli 2008). Pendapat senada juga dikemukakan Aditia Sudarto (Kompas, 19 Februari 2010). Menurut Aditia, keahlian teknis berdasarkan nilai akademis hanya berpengaruh 10% saja untuk karier mereka lulus, sebaliknya karier lebih mengutamakan soft skill.

Dunia kerja atau industri itu justru menjadikan keterampilan nonakademis sebagai salah satu faktor penentu dalam penerimaan karyawan atau tenaga kerja. Ini yang seharusnya perlu di ingat. Dari hal tersebut betapa pentingnya fungsi berorganisasi sebagai salah satu penunjang soft skill kita ketika berada di dunia kerja. Dan sungguh ironis ketika masih ada mahasiswa yang apatis berorganisasi. (yuliagusyulianto@gmail.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya