SOLOPOS.COM - Christine Berliana Pradipta Manurung (Istimewa)

Mimbar Mahasiswa kali ini, Selasa (16/6/2015), ditulis Christine Berliana Pradipta Manurung. Penulis aktif sebagai Research Assistant di Laboratorium Pengembangan Anak Usia Dini, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Bak sinetron. Kesan itulah yang mungkin diperoleh publik atas peristiwa pembunuhan yang menimpa seorang gadis cilik di Bali bernama Angeline.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kronologi pembunuhan sungguh tidak mencerminkan bagaimana manusia seharusnya bersikap dan berperilaku. Angeline kecil yang seharusnya menikmati masa-masa bahagia bermain dan mengeksplorasi dunianya ternyata bernasib tragis.

Hilangnya sosok Angeline selama-lamanya itu hingga kini masih menjadi teka-teki. Kisah memilukan ini dimulai dari pengumuman hilangnya Angeline pada 16 Mei 2015 yang membuat para sukarelawan dan netizen berempati untuk membantu menemukan gadis berusia delapan tahun itu.

Pihak sekolah, masyarakat, dan kepolisian  berusaha sekeras mungkin menemukan si kecil Angeline. Sayangnya, Angeline, si gadis cilik yang manis dan pendiam ini, ditemukan terkubur di halaman belakang rumah orang tua angkatnya sendiri.

Hingga Selasa (16/6), berita di berbagai media massa mengungkapkan banyak kejanggalan yang mewarnai peristiwa itu sehingga membuat publik bertanya-tanya.

Kejanggalan itu mengemuka dari peristiwa pembunuhan dan penyembunyian jenazah di rumah orang tua angkat Angeline hingga misteri siapa sebenarnya otak di balik kejahatan ini.

Berdasarkan keterangan guru sekolahnya, Angeline memiliki sikap yang cenderung pemurung dan pendiam saat di sekolah. Sikap pemurung dan cenderung diam di sekolah menandakan secara implisit kondisi anak yang sedang mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan secara psikologis.

Selain itu, kondisi fisik Angeline yang kurus kering dan terkesan tidak memperlihatkan keadaan yang higienis adalah petunjuk bahwa Angeline tidak dirawat orang tua angkatnya dengan baik.

Sejatinya orang tua adalah sumber perlindungan dan pemenuhan kebutuhan anak secara psikologis dan fisik. Entah itu orang tua biologis, orang tua tiri, maupun orang tua angkat semuanya memiliki kewajiban yang sama dalam memenuhi kewajiban dan pertanggungjawaban sebagai orang tua.

Perkara membesarkan anak tidak hanya memberi makan dan menyekolahkan. Banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi bagi anak-anak, seperti keamanan, cinta, dan kasih sayang sebagai bekal dalam menghadapi tugas perkembangan hidup di masa depan.

Hidup dalam bukan keluarga inti tentu memiliki tantangan dan kebahagiaan tersendiri. Meskipun demikian, hak dan kewajiban antara orang tua angkat dan anak angkat (adopsi) harus tetap dilaksanakan dengan selaras dan seimbang.

Berdasarkan kasus yang mengemuka di berbagai pemberitaan di media massa, tentu Angeline tidak mendapatkan hak yang seharusnya ia dapatkan semasa hidupnya sebagai kanak-kanak.

Hubungan antara orang tua dan anak dapat dilihat setidaknya melalui dua hal. Pertama, pola kelekatan (attachment). Kedua, pola komunikasi dalam keluarga. [Baca: Pola Komunikasi]

 

Pola Komunikasi
Kelekatan antara orang tua dan anak seharusnya terjalin semenjak anak masih bayi. Kelekatan yang seharusnya terjalin adalah secure attachment atau kelekatan keamanan.

Ketika anak sudah mendapatkan keamanan dari orang tua sejak dini maka ketika anak menjadi manusia dewasa nanti akan dapat membina hubungan interpersonal yang hangat dengan orang lain (Santrock, 2011).

Pola komunikasi dalam keluarga terbagi menjadi dua, yaitu terbuka dan tertutup. Pola komunikasi yang terbuka akan memberikan kesempatan kepada anak untuk dapat mengemukakan pendapat, perasaan, dan ide-ide secara bebas dan terbuka, langsung, serta tanpa hambatan.

Pola komunikasi tertutup cenderung satu arah, membingungkan, kacau, dan menyalahkan anak. Hubungan antara orang tua dan anak secara umum mencerminkan fungsi keluarga sebagai sebuah sistem.

Keluarga sebagai sebuah sistem memiliki keterkaitan dan timbal balik antarkomponen sistem itu, baik anak maupun orang tua. Akan terjalin interaksi, ketergantungan, dan hubungan dalam sebuah keluarga yang.

Apabila terdapat salah satu komponen dalam keluarga (dalam hal ini adalah anggota keluarga) yang hilang dan mengalami gangguan maka seluruh sistem yang bekerja dalam keluarga tersebut akan mengalami gangguan pula.

Harapan kita tentu tidak akan ada lagi Angeline lain pada masa yang akan datang. Seperti yang telah diulas sebelumnya, hubungan antara orang tua dan anak serta kesiapan menjadi orang tua merupakan hal yang penting dan mendasar sebagai bekal mengarungi dunia berkeluarga.

Perlu diperhatikan pula dinamika yang terjadi dalam keluarga yang mengadopsi anak yang terbangun hubungan antara orang tua dan anak angkat.

Pertama, sikap penerimaan anak angkat dalam keluarga. Kedua, ”hantu” yang menyelimuti perasaan orang tua terkait konsekuensi status biologis anak angkat (Hajal & Rosenberg, 1991).



Artinya, orang tua, terutama ibu sebagai ”malaikat pertama”, harus memiliki kesiapan dan keikhlasan bahwa ia akan mendapatkan anak dengan tahap yang tidak lengkap seperti keluarga pada umumnya.

Misalnya, ibu angkat tidak akan merasakan momentum mengandung bayi selama sembilan bulan 10 hari. Ibu angkat tidak akan mendapatkan pengalaman memiliki anak sebagaimana ibu kandung. [Baca: Identitas Biologis]

 

Identitas Biologis
Muncul pula ketakutan-ketakutan bahwa alasan identitas kebiologisan anak angkat dapat memengaruhi aspek-aspek kehidupan sosial lain dalam keluarga, misalnya soal warisan dan status keturunan.

Berkaca dari kasus Angeline, kita bersama-sama dapat menyusun langkah-langkah strategis untuk mencegah kejadian serupa. Selain persiapan secara mental maupun fisik menjadi orang tua, regulasi mengenai kebijakan pengangkatan/adopsi anak juga perlu diperhatikan.

Hal ini supaya anak juga mendapat perlindungan yang sah secara hukum. Perbaikan regulasi dapat diawali dengan mendapatkan fakta-fakta empiris.

Pengumpulan fakta ini harus melibatkan seluruh komponen masyarakat dan ahli yang sesuai dengan bidangnya untuk membangun kondisi agar kasus Angeline tak terjadi lagi.

Pemerintah harus merumuskan alternatif kebijakan terkait peristiwa-peristiwa tidak terduga yang mungkin terjadi di masa depan. Selain itu, diperlukan pengawasan dan pengawalan terhadap regulasi tersebut sehingga kasus yang menimpa Angeline tidak terulang kembali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya