SOLOPOS.COM - Kalis Mardi Asih, Mahasiswa FKIP UNS, Pegiat Komunitas Education For Indonesia (#EduForID) (FOTO/Istimewa)

Kalis Mardi Asih, Mahasiswa FKIP UNS, Pegiat Komunitas Education For Indonesia (#EduForID) (FOTO/Istimewa)

Rasa-rasanya, kita terpaksa harus bertanya kembali tentang siapa sebenarnya yang memikul tanggung jawab sektor pendidikan di negeri ini. Biasanya, jawaban teoretis akan selalu mengarah pada institusi pendidikan bersama perangkat fasilitas serta kualitas guru yang menjadi ujung tombaknya. Selama ini kita hanya sering mendengar berita tentang oknum-oknum pendidik amoral yang mengajarkan siswanya untuk menyontek saat Ujian Nasional (UN) hingga sertifikasi guru yang tidak murni untuk mengejar standardisasi mutu melainkan kebutuhan akan peningkatan gaji belaka. Namun,apakah benar kebobrokan pendidikan kita hanya disebabkan oleh asumsi terhadap rendahnya kualitas institusi pendidikan sebagai lembaga pelaksana Kegiatan Belajar Mengajar?

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bersama Komunitas Education For Indonesia, beberapa waktu lalu saya melakukan survei di SDN Temuireng 2 Blora. Kebetulan sekolah tersebut membuat kami penasaran karena sempat menjadi liputan utama di sebuah stasiun TV karena kondisinya yang teramat memprihatinkan. Hasilnya, ketika sampai di lapangan kami mendapati kondisi yang lebih buruk. Tampak sekolah kandang ayam yang beralaskan tanah, dinding kayu kas, kelas yang hanya dipisahkan oleh sekat kayu serta tidak terdapatnya alat-alat olahraga maupun alat penunjang pembelajaran seperti globe. Bahkan sekolah ini tidak memiliki ruang Tata Usaha, perangkat komputer maupun kamar mandi. Walaupun begitu, bicara soal prestasi, siswa di SD ini selalu mendapat peringkat pertama pada Ujian Nasional se-Kecamatan.

Ekspedisi Mudik 2024

Kesimpulan membawa kami pada fakta ternyata bukan soal institusi pendidikan. Faktanya sekolah kandang ayam dengan empat guru yang tiga gurunya merupakan guru tidak tetap (GTT) dengan gaji jauh dari layak selama bertahun-tahun pun tetap melaksanakan tugas dengan ikhlas bakti. Lagi-lagi, birokrasi kita yang menjadi tersangkanya. Dana untuk perbaikan gedung dan fasilitas sekolah bukannya tidak ada. Namun, Dinas Pendidikan selama ini terlalu sering menggunakan teknik pilih-pilih. Sekolah yang mendapatkan dana bantuan adalah sekolah yang letaknya di kota. Alasannya,selain kinerja birokrasi akan lebih terlihat oleh masyarakat juga karena biaya pengeluaran akan dapat semakin ditekan. Sisanya, tentu saja membawa kita pada asumsi bagi-bagi sisa anggaran. Itulah sebabnya ketika “orang kota” melakukan perjalanan ke suatu daerah terpencil, logika mereka tidak dapat percaya melihat kondisi sekolah yang memprihatinkan di tengah isu kejar standardisasi pendidikan lewat RSBI atau sekolah-sekolah swasta yang rajin membeli kurikulum luar negeri.

Menyoal dana bantuan operasional sekolah (BOS) pun jumlahnya seringkali juga tidak adil. Bagi saya yang kuliah di FKIP, dana pendidikan masing-masing sekolah seharusnya relatif sama karena kebutuhan pembiayaan pendidikan tidak bisa dibeda-bedakan berdasarkan jumlah siswa, jumlah guru bahkan kualitas mereka. Persoalan jumlah seharusnya hanya membedakan pada pemenuhan jumlah fasilitas terhitung, contohnya buku. Itupun, biasanya Dinas Pendidikan masih memberikan daftar buku wajib beli ke sekolah. Belum lagi, kondisi sekolah di pedesaan dengan sosiologi masyarakat yang miskin membuat mereka tidak tega untuk memungut dana pribadi dari orangtua siswa untuk urusan pemenuhan kebutuhan fasilitas. Berbeda dengan orangtua siswa daerah perkotaan yang relatif nyah-nyoh ketika dimintai dana yang dinamai iuran pengembangan fasilitas.

Konstitusi yang menjadi penyangga pendidikan yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sayangnya justru memuat nilai privatisasi antara lain pada Pasal 46, 50, 51 dan 53 ayat (1). Pasal-pasal tersebut menjadi pembenaran untuk pemerintah lepas tangan terhadap tanggung jawab pembiayaan pendidikan. Sebagai calon pendidik, saya tentu tidak rela ketika kelak sekolah berubah menjadi institusi bisnis yang memenuhi kebutuhannya lewat hal-hal transaksional yang diluar logika “institusi terpuji”. Sebab, pendidikan yang memarjinalkan generasi yang terpaksa lahir di tengah kondisi miskin nantinya akan membawa kondisi negara ini pada kesenjangan sosial yang lebih curam lagi.

Teringat pada pejabat di SDN Temuireng 2 Blora yang mengatakan bosan untuk memperjuangkan keadilan pada pemerintah, saya rasa tak ada salahnya kita kembali berteriak lantang pada pemerintah untuk sedikit waras dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pendidikan. Masyarakat juga harus berpartisipasi aktif memberi dukungan pada pendidikan dengan bijaksana dalam memilih. Tidak hanya sekedar memilih sekolah yang memiliki kemilau fasilitas namun mengembalikan pendidikan pada esensinya untuk menciptakan manusia seutuhnya seperti pesan Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Selain itu, jangan sungkan untuk melakukan penyelidikan ketika melihat kondisi pendidikan yang jauh dari layak karena setiap instistusi sebenarnya memiliki jatah pembiayaan untuk meningkatkan kualitasnya.

Selama ini, perubahan selalu terlahir dari orang-orang yang memiliki kepedulian. Tafsir peduli diharapkan bukan hanya dengan aktif memberikan bantuan yang bersumber dari dana pribadi tetapi sikap kritis terhadap penyimpangan yang terjadi kemudian berkolaborasi bersama masyarakat serta institusi terkait untuk mengembalikan pada porsi yang seharusnya. Cukup sudah kita mendengar konspirasi dana wisma atlet, Hambalang maupun kelakuan bejat para wakil rakyat. Jika hanya dunia pendidikan tempat kita menaruh harapan akan lahirnya generasi terpuji, apakah kita tega membiarkan sistem dan kebijakan dunia pendidikan kita ikut-ikutan menjadi amoral?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya