SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Anna Nur Khasanah
Mahasiswa Pendidikan
Bahasa Inggris
Universitas Sebelas Maret. (FOTO/Istimewa)

Mahkamah Konstitusi memutuskan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)/Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar  1945. Begitu kira-kira topik utama di beberapa media nasional lebih dari sebulan lalu. Topik itu kini sepi seiring dengan kepasrahan atau mungkin terpelintir topik sapi impor seperti halnya kurikulum 2013 yang juga kian sepi dari pembahasan.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

RSBI/SBI dianggap telah mengabaikan tanggung jawab negara untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua warga negara. Dengan keputusan ini maka RSBI pun dihapus. Hal ini tentu saja bukan sembarangan menghapus, mengganti nama, atau masalah legalitas kelembagaan karena ini menyangkut nasib 1.305 sekolah berlabel  RSBI, mulai dari SD, SMP, SMA  dan SMK.

Penghapusan RSBI bukan perkara mudah untuk dilakukan. Tidak semudah mengganti label RSBI atau sekadar ”berganti baju” dengan label sekolah biasa, sekolah teladan atau sekolah unggulan. Bagi saya, keputusan ini bisa disebut sebagai kejahatan psikologis dalam dunia pendidikan.

Banyak ejekan yang diterima siswa yang bersekolah di RSBI/SBI sebagai produk gagal. Bahkan hal ini juga menyangkut sekian banyak mahasiswa yang dipersiapkan untuk mengajar di RSBI/SBI di berbagai kampus di Indonesia. Selain itu, disadari atau tidak, muncul kekhawatiran tentang masa depan mereka kelak pasca-RSBI. Apakah eks RSBI/SBI akan menjadi sia-sia?

Pertanggungjawaban moral seperti apa yang akan diberikan pemerintah? Pertanggungjawaban pemerintah tidak cukup menyuruh tenang karena sekolah eks RSBI/SBI tetap berjalan meski tanpa label RSBI. Tidak cukup pula hanya menunggu nasib eks RSBI/SBI hingga selesainya masa transisi Juni 2013 kelak.

Kualitas

Tampaknya sudah disadari oleh para orangtua, para pendidik dan para siswa bahwa keputusan penghapusan RSBI/SBI merupakan bentuk nyata atas pengakuan betapa jeleknya kualitas pendidikan Indonesia dan sekaligus ketidakmampuan pemerintah menyediakan pendidikan yang berkualitas. Pemerintah gagal memenuhi hak pendidikan yang berkualitas untuk generasi muda bangsa Indonesia.

Kebijakan pemerintah yang tidak bijaksana mengenai cara penyampaiannya itu semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak matang dalam merencanakan RSBI/SBI di masa lalu, setidaknya secara legal-hukum. Pemerintah selalu saja mengambil jalan praktis dan pragmatis yang tidak mempertimbangkan dampak dan risiko masa depan.

Secara historis kita gagal membuat pendidikan menjadi berkelas dan bermutu dibandingkan dengan lembaga pendidikan di luar negeri, sejak zaman Belanda sampai sekarang setelah kita merdeka 67 tahun! Yang ada adalah pendidikan diciptakan secara berkelas-kelas alias berstrata, pendidikan nan tidak bermutu, meski Kartini, Soewardi Soeryaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soekarno, Hatta, maupun Sjahrir telah memperjuangkan pendidikan kerakyatan. Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan belum berhasil memberikan pendidikan seperti yang diharapkan Soewardi dan kawan-kawan kepada setiap warganya.

Sebenarnya sudah disadari semua orang bahwa pendidikan di Indonesia harus berubah. Tantangan dari dalam dan dari luar terus mendesak. ASEAN Free Trade Area (AFTA) memungkinkan Indonesia melakukan ”pergaulan bebas” dengan berbagai negara anggota AFTA. Pergaulan dengan bangsa lain ini di masa depan akan mendatangkan banyak tantangan bagi bangsa Indonesia. Contoh saja tantangan bahasa dalam berkomunikasi.

Bayangkan saja, lima tahun ke depan, penjual makanan di samping rumah kita sangat mungkin ternyata pedagang dari Singapura, Malaysia atau Thailand. Seperti halnya penjual nasi padang dari Padang  atau penjual sate dari Madura yang menjamur di berbagai tempat. Bisa kita  bayangkan bahasa yang akan digunakan saat memesan makanan kepada mereka.

Kita tidak sedang mengurung dunia pendidikan hanya dalam soal nasionalisme bahasa Indonesia. Pengajaran dan penggunaan bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) bukan sebuah pengkhianatan terhadap bahasa Indonesia. Seperti halnya penggunaan bahasa Indonesia dalam rangka menyatukan bangsa Indonesia, bahasa asing khususnya bahasa  Inggris, salah satu contohnya, juga sebagai sarana komunikasi antarbangsa-bangsa di dunia.

Bahasa Indonesia masih terpelihara. Seperti halnya bahasa ibu yang masih berjuang untuk terpelihara (termasuk dengan melawan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Perdebatan tentang bahasa ini seharusnya segera diselesaikan. Kita sedang menghadapi dunia yang berlomba-lomba dalam pengetahuan yang harus terdepan, baik dengan label RSBI/SBI atau tidak!

Masyarakat yang melek ilmu pengetahuan itulah dunia yang kita harapkan dan dicita-citakan semua bangsa. Yang kalah akan tergilas! Pembiasaan menggunakan bahasa asing memudahkan kita melahap pengetahuan yang banyak tercetak dengan teks bahasa Inggris, bahasa Belanda seperti pada zaman Belanda, serta bahasa asing lainnya. Kita tidak cukup mengandalkan buku teks terjemahan yang sangat terbatas. Dengan atau tanpa RSBI/SBI, sudah saatnya kita melek bahasa.

Ilmu pengetahuan selalu berkembang dan tidak terbatas. Kita tidak boleh mengungkung ilmu pengetauan dengan pembatasan bahasa. Sekarang bukan saatnya mengunggulkan ego berbahasa dengan dalih mempertaruhkan nasionalisme bahasa Indonesia. Semua negara melakukan perubahan-perubahan dalam pendidikan yang terus-menerus.

Mereka selalu melakukan inovasi dalam dunia pendidikan. Tanpa henti. Tak boleh terjadi involusi! Dunia pendidikan tidak begitu terikat oleh undang-undang terutama yang akan mengerdilkan kemajuan dunia pendidikan, seperti yang dialami dunia pendidikan di Indonesia sampai babak belur, hancur, berkali-kali diganti! Dunia pendidikan Indonesia perlu berbenah dan berubah untuk kemajuan pendidikan. Jika tidak berubah kita akan tergilas dan ditinggalkan oleh generasi muda Indonesia sendiri!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya