SOLOPOS.COM - Udji Kayang Aditya Supriyanto (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar mahasiswa kali ini, Selasa (2/2/2016), ditulis Udji Kayang Aditya Supriyanto. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Pada 4 Maret 1957, seorang remaja berumur 15 tahun mengawali catatan hariannya. Dengan mantap dan tegas tangannya bergerak. Tak lama kemudian satu paragraf selesai ditulisnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Paragraf tersebut diawali dengan kalimat: Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Remaja termaksud bernama Soe Hok Gie, tetapi nama belakangnya lebih sering dikutip.

Ekspedisi Mudik 2024

Gie memulai kiprah intelektual dengan amarah membara. Sejauh yang terekam di buku catatannya, Gie menentang ketidakadilan dalam tradisi keilmuan. Ia tak berjuang agar mendapat beasiswa atau supaya kebijakan uang kuliah tunggal tak memberatkan.

Hal-hal tersebut berada di luar pendidikan. Gie melawan kebebalan, ”bebalisme”, bila meminjam istilah Syed Hussein Alatas. Ingat kalimat ”guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah”? Itu kata Gie. Mahasiswa sekarang berani berkata begitu kepada dosen?

Gie terus melawan selama hidupnya. Sebelum menjumpai kematian ia berbincang dengan kakaknya, Soe Hok Djin alias Arief Budiman. Gie (2008: xxi) merenung, ”Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya.”

Sejauh itu, ia dikenal sebagai penulis esai-esai kritis di berbagai surat kabar. Ia tidak punya dinasti, bukan seorang yang berada di pucuk pimpinan badan eksekutif. Meski memiliki kawan dan jaringan, sejatinya ia soliter. Bertarung sendirian dari kamar suram bernyamuk.

Pernah dengan tegas Gie (2009: 484) berkata, “Saya bukan anggota KAMI.” Pada zaman ini Gie justru jadi idola aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). “Saya tak punya ormas,” kata dia. Ironis, hal itu tidak digubris.

Para pengultus Gie di kemudian hari justru banyak yang menjelma organisatoris, alih-alih esais kritis. Para organisatoris itu hobi meringkas Gie sebagai slogan-slogan supaya bisa dibawa berdemonstrasi ke jalan-jalan.

Biasanya juga disertai lagu Darah Juang dan perampasan puisi Wiji Thukul yang berbunyi: … kebenaran akan terus hidup, sekalipun kau lenyapkan, kebenaran tak akan mati. Jadi, kebenaran hanya milik… [Baca selanjutnya: Pidato Retak]Pidato Retak

Nama Gie muncul kembali, bukan dalam demonstrasi, maklum mahasiswa sedang berlibur, beberapa lainnya magang dan ikut kuliah kerja nyata (KKN). Gie muncul sebagai pembuka tulisan di Mimbar Mahasiswa Solopos edisi 26 Januari 2015 berjudul Munas BEM SI IX & Gerakan Mahasiswa.

Tulisan yang berada di persimpangan antara press-release dan imbauan resmi itu (yang pasti bukan esai kritis) dibikin presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS). Bukan Presiden Joko Widodo, tapi Presiden Prabowo, lengkapnya Presiden Doni Wahyu Prabowo, Presiden BEM UNS periode 2016.

Melalui tulisannya, Doni berpidato, berkhotbah, dan selayaknya pemimpin baru: mengimbau rakyatnya. Ia tampak belum lihat berpiadato. Mungkin karena baru menjabat jadi presiden, ada salah-salah sedikit, mengingatkan kita pada Lurah Sukab dalam cerita pendek Seno Gumira Ajidarma yang melafalkan ”semakin” jadi ”semangkin”.

Terasa betul upaya Prabowo, eh Doni, menjaga wibawa dirinya dalam pidato tersebut. Namanya juga presiden. Sayang, ia kebanyakan totem pro parte. Ia menulis, ”Kita semua menginginkan kekuatan mahasiswa bersatu”.

”Kita semua” yang dia maksud ya tentu orang-orang BEM UNS saja. Selain itu, gerakan BEM dia perluas secara radikal dengan klaim ”gerakan mahasiswa”. Paling arogan tentu mengklaim BEM UNS sebagai representasi universitas.

BEM UNS seakan wakil sungguh-sungguh tertinggi seluruh mahasiswa yang sudah taken for granted. “Universitas Sebelas Maret (UNS) dipercaya memegang koordinator isu pendidikan,” begitu tulisan Doni. BEM UNS setara dengan UNS itu sendiri dalam ”mengawal” pendidikan. Hebat!

Kita abaikan saja pretensi ”wakil rakyat” itu, yang penting adalah diputuskannya BEM UNS sebagai penggiat isu pendidikan di garis depan. Itu penting, bahkan Presiden Doni pun mengimbau seluruh elemen mahasiswa, Dewan Mahasiswa (Dema), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), BEM tiap fakultas, serta Himpunan Mahasiswa Jurusan agar mendukung dan berada di bawah garis koordinasi dan komando BEM dalam rangka mengawal isu-isu pendidikan.

Ingat, kalau mahasiswa mau bergerak, harus di bawah payung hegemoni BEM. Mau? Lucunya, isu pendidikan yang dimaksud BEM SI dan diamanahkan ke BEM UNS ialah seputar anggaran pendidikan, uang kuliah tunggal (UKT), UU tentang perguruan tinggi, masa kuliah, guru honorer, kurikulum, dan pendidikan profesi guru.

Kebanyakan yang disorot ialah kebijakan-kebijakan. Lho, berarti beda jauh dengan Gie, yang bikin obrolan film, diskusi, dan sebagainya. Merujuk perspektif BEM SI, Gie bisa disebut minim kontribusi dalam pendidikan karena ia tak mengawal kebijakan. Begitukah?

Pertama, gerakan mahasiswa direduksi jadi sekadar ”organisasi” lewat BEM dan BEM SI, mengabaikan potensi gerakan ”anarki” yang disingkap pemikir mutakhir hari-hari ini. Kedua, isu pendidikan direduksi jadi sekadar mengawal kebijakan.

Pengelolaan isu pendidikan tak berupaya membenahi tradisi etos keilmuan dengan membuat diskusi, cetusan pemikiran, publikasi ilmiah, mendatangkan intelektual, dan sebagainya ketimbang bikin beauty class.

Jangankan buat mengawal kebijakan, mengurus tata tertib sidang saja masih berbelit-belit dan menghabiskan waktu seharian. Lucu, ironis. Kita bisa membayangkan Gie bersedih mendengar hal ini.

Isu pendidikan sebagai tradisi etos keilmuan yang dikelola Gie dengan giat dan kritis sejak masa mudanya, mereka ganti jadi pendidikan sebagai kebijakan formal-politis belaka. Sudah begitu, masih tetap ngotot mengimbau seluruh elemen mahasiswa UNS bergerak dalam “satu pijakan yang pasti”, dalam “bingkai perjuangan yang sama”.

Artinya, gerakan mahasiswa wajib terbingkai hegemoni BEM, hanya BEM yang sanggup memberi “satu pijakan yang pasti” karena kebenaran hanya milik…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya