SOLOPOS.COM - Setyaningsih, Pimpinan Redaksi LPM Locus IAIN Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Setyaningsih, Pimpinan Redaksi LPM Locus IAIN Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Di zaman kontemporer saat ini, perempuan memang patut berbangga dengan kehidupan yang tak lagi memarginalkan perempuan. Apalagi di dunia hiburan, perempuan semakin punya kesempatan. Namun, disadari atau tidak perempuan saat ini lebih banyak tereksploitasi dalam dunia hiburan dan euforia media. Perempuan tidak banyak berperan dalam produksi, tapi lebih kepada objek tontonan; mulai dari penyanyi, presenter, reporter dan pemain film.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jagad hiburan saat ini memang banyak memberikan ruang kepada perempuan, khususnya di jagad panggung. Mereka pun dengan senang hati memasukinya tanpa peduli hal tersebut malah menghabisi identitas mereka sebagai perempuan Timur. Dengan dalih feminisme para perempuan berlomba-lomba menampilkan apa yang mereka miliki termasuk kemolekan fisik mereka. Tak ada lagi kesopanan dan dedikasi dalam berkarya. Semua demi popularitas dan materi.

Hal inilah yang kini sangat sah dan dan diamini oleh khalayak dengan hadirnya grup-grup penyanyi wanita yang hanya menampilkan gerakan tubuh yang erotis. Apalagi kini musik dangdut sedang populer di pasaran. Perempuan-perempuan itu laris diundang dalam berbagai acara. Bahkan acara hiburan para TNI pun berkutat seputar dangdut dengan penyanyinya yang seronok. Betapa rendahnya kualitas masyarakat kita. Perempuan dengan senang hati menyerahkan diri untuk ditonton dan dijadikan objek hiburan demi sebuah materi dan popularitas semu.

Ekspedisi Mudik 2024

Situasi ini berbeda dengan kisah Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (2011) garapan Ahmad Tohari. Bagi Dukuh Paruk, hidup terasa tak berarti tanpa adanya ronggeng. Penduduk pun bergembira ketika tahu bahwa Srintil mendapatkan indang yang kelak akan menjadikannya seorang ronggeng. Ronggeng bukan hanya sebuah profesi penghibur atau perempuan panggung tapi juga menjadi sebuah identitas masyarakat tersebut. Jika bukan karena takdir dan juga mandat dari warga Dukuh Paruk, maka Srintil tidak akan memilih menjadi ronggeng. Ia lebih memilih sebagai perempuan somahan yang mengurus keluarga.

Perjalanan menjadi ronggeng bukanlah perjalanan yang mudah. Kehidupan menjadi ronggeng membuatnya kehilangan kebahagiaan sebagai seorang wanita. Harga diri, cinta dan kehormatan. Bahkan, Srintil harus ikut terbawa arus politik. Dua tahun dia dipenjara karena tuduhan keterlibatannya dengan PKI. Padahal dia hanya mengisi sebuah acara yang diadakan PKI. Srintil, si perempuan panggung hanya tahu bahwa dia harus menari.

Keharusan Srintil menjadi ronggeng adalah kehendak Tuhan dan masyarakat. Dengan adanya ronggeng, masyarakat percaya bahwa segala musibah yang menimpa desa akan hilang. Bagi Srintil, panggung bukanlah mimpi tapi takdir. Sedangkan bagi perempuan kontemporer, panggung adalah mimpi, harapan dan pencapaian. Para perempuan rela melakukan apa pun untuk mendapatkan semua itu. Banyak perempuan yang kini hanya menggunakan kecantikan dan kelebihan fisik untuk menjadi penyanyi. Berbagai ajang mencari bakat menjadi loncatan untuk terkenal. Waktu, tenaga dan pikiran dikerahkan seluruhnya untuk menjadi populer. Alasan untuk menghibur pun kini terkesan klise sekali.

Pudarnya Aura Perempuan Modern

Di tengah masyarakat, tubuh perempuan sebagai objek tontonan dalam rangka menjual komoditas atau tubuh itu sendiri sebagai komoditas tontonan mempunyai peran yang sangat sentral. Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan merupakan jembatan atau jalan pintas untuk memasuki pintu gerbang dunia budaya populer, untuk mencari popularitas, untuk mengejar gaya hidup dan untuk memenuhi kepuasan material, tanpa menyadari bahwa mereka sebetulnya telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marginal, dunia citra, dunia objek dan dunia komoditi (Yasraf Amir Piliang: 2010).

Ketika hal yang tabu tidak ditutup lagi, seksualitas diumbar dan tubuh diekspos tanpa batas, yang terjadi adalah pudarnya citra yang alami. Tidak ada lagi getaran keingintahuan dan rahasia dalam suatu realita. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Madonna dan Syuga. Mereka melanggar batas-batas feminitas dan merusak citra perempuan itu sendiri. Tubuh para perempuan kehilangan aura mereka.

Lalu bagaimana dengan perempuan Indonesia yang kini sedang terbawa arus citra semu yang tak tentu? Masih adakah aura perempuan pada diri mereka juga adalah para calon ibu yang akan melahirkan penerus negeri ini. Menjadi super star memang bukan suatu dosa. Namun, sejauh mana ketenaran akan memberikan makna pada pelakunya?

Kita patut belajar dari Srimulat, kelompok lawak yang didirikan oleh RA Srimulat dan suaminya Teguh Slamet Raharjo. Srimulat tak bisa dilepaskan dari kebudayaan Jawa. Dalam buku Indonesia Tertawa: Srimulat Sebagai Sebuah Subkultur (1999) juga dikatakan bahwa tugas utama Srimulat adalah menghibur masyarakat sampai masyarakat puas, tanpa menyinggung perasaan lapisan masyarakat mana pun.

Dengan orientasi itu, Srimulat mampu bertahan dengan menampilkan Jawa sebagai akar budaya yang dihidupkan dalam setiap pertunjukannya. Hal ini membuktikan bahwa Srimulat dalam jagad hiburan memang membawa suatu identitas dan bukan karena materi atau popularitas semata.

Seorang Marlyn Monroe pun pernah mengingatkan para perempuan dengan pernyataan, “Waspadailah popularitas wahai wanita. Waspadailah setiap kegemerlapan yang menipumu. Saya adalah wanita termalang di muka bumi ini, sebab saya tidak bisa menjadi seorang ibu. Sesungguhnya wanita itu seharusnya menjadi penghuni rumah utama. Kehidupan berumah tangga dan berkeluarga secara mulia di atas segalanya. Sesungguhnya kebahagiaan wanita yang hakiki adalah dalam kehidupan rumah tangga yang mulia dan suci, bahkan kehidupan berumah tangga adalah simbol kebahagiaan wanita dan manusiawi.” Sekali lagi, menjadi bintang bukanlah dosa, tapi jangan sampai materi baik itu uang, popularitas dan panggung hiburan dijadikan tumpuan untuk hidup. Apalagi jika semua itu menggerus sisi etika, moral dan spiritual. Bukan materi yang mengontrol kehidupan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya