SOLOPOS.COM - Danang Muchtar Syafi’i, Mahasantri Pondok Hj Nuriyah Shabran Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

Danang Muchtar Syafi’i, Mahasantri Pondok Hj Nuriyah Shabran Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

Hari ini, 7 Mei, adalah kesempatan yang tepat untuk mengenang tokoh pendidikan yang memengaruhi Ki Hadjar Dewantara. Ia adalah Rabindranath Tagore, penyair dan pendidik di India. Ia akrab disapa Tagore. Dia lahir di Calcutta, 7 Mei 1861. Meninggal di Santi-Niketan, 7 Agustus 1941.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Tagore merupakan sastrawan Asia pertama peraih Hadiah Nobel Sastra (1913). Tagore pernah melawat ke Indonesia, tepatnya ke Kota Solo dan berkawan baik dengan Ki Hadjar Dewantara. Mungkin peristiwa itu yang menjadi salah satu alasan adanya Jl Rabindranath Tagore di Kota Solo.

Salah satu sumbangan Tagore adalah ide dan inspirasi pendidikan yang diabadikan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam Perguruan Taman Siswa. Ide dasar Taman Siswa sesungguhnya diilhami pusat pendidikan yang di dalamnya Tagore banyak berperan yaitu Santhiniketan di India. Gagasan-gagasan Tagore tentang pendidikan banyak termaktub di buku Rabindranath Tagore sebagai Pendidik (Soeroengan, 1956) susunan HJ Van de Berg.

Selain buku kecil tersebut, ada karya sastra dari Tagore yang sangat masyhur. Cerita pendek (cerpen) Kisah Seekor Burung yang Bodoh dapat menjadi ingatan kembali saat masalah pendidikan di negeri ini (selalu) mengundang komedi. Amburadulnya UN kiranya hanya salah satu komedian itu. Sebagai hasil imajinatif, selain sebagai hiburan yang menyenangkan, karya-karya Tagore itu juga berguna untuk menambah pengalaman batin bagi pembacanya (dulce et utile).

Cerpen  Kisah Seekor Burung yang Bodoh dibuka dengan cerita ketika sang raja menyaksikan seekor burung yang bodoh. Burung itu  menyanyikan lagu-lagu, tetapi tidak bisa membaca buku-buku suci dan terbang ke sana kemari dan tidak tahu tata krama. Sang raja menganggap burung itu tak ada gunanya. Burung itu suka makan buah-buahan di hutan. Burung itu tidak berguna bagi pasar buah kerajaan.

Sang raja beranggapan pasar buahnya tidak akan menghasilkan keuntungan yang banyak jika seekor burung yang bodoh itu tidak menjadi burung yang pintar. Sang raja akhirnya memanggil menterinya dan memerintahkan sebaiknya burung itu dididik. Tanggung jawab mengajari burung diserahkan kepada para kemenakan raja. Para ahli pun menyatakan berbagai pendapat tentang penyebab kebodohan itu.

Berbagai cara dilakukan agar seekor burung itu menjadi pintar dan mampu membawa keuntungan bagi sang raja. Burung itu akhirnya mati saat tak seorang pun mampu berkata apa pun, namun sang kemenakan raja masih mengatakan bahwa burung tersebut telah mendapat pendidikan yang lengkap. Burung itu dibawa ke hadapan raja. Burung itu tidak mengeluarkan suara. Hanya bunyi kering halaman-halaman buku yang dibalik-balik yang terdengar di perutnya.

 

Sebuah karya sastra tersebut merupakan ungkapan pengarang terhadap masalah pendidikan di masyarakat. Burung dijadikan simbol pengungkapan hati pengarang betapa pendidikan di sekitar kita masih belum bisa sepenuhnya terlepas dari godaan nafsu materi yang dimanifestasikan ke dalam amalan bisnis.

Sinkretis-Pragmatis

Pola sinkretisme memang telah merambah sektor pendidikan kita. Pencampuradukan antara niat mulia dari amalan pendidikan dan bisnis rupanya kian tak terhindarkan. Padahal, sejatinya ada perbedaan visi dan misi yang signifikan antara dunia pendidikan dan dunia bisnis. Di dalam dunia pendidikan, para pemain adalah profesor, dosen, guru, mahasiswa dan siswa. Sedangkan ”komoditas” yang menjadi objek adalah ilmu pengetahuan (knowledge).

Sementara di dunia bisnis, visi-misinya ditentukan untuk mencari keuntungan (profit) yang sebesar-besarnya. Output dari lembaga bisnis ialah kepuasan konsumen (consumer satisfaction). Dalam dunia bisnis dikenal para manajer dan para pekerja yang bekerja berdasarkan keputusan-keputusan yang efisien. Dunia bisnis juga dikenal dengan budaya perusahaan (corporate culture) yang pada intinya ialah produktivitas dan kualitas yang tinggi.

Dalam dunia pendidikan dikenal school/university culture yang ditekankan kepada penguasaan kognitif, psikomotorik, afektif serta pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk memanusiakan manusia (humanis). Dengan menyadari perbedaan tersebut, seharusnya para pendidik yang hidup di lembaga pendidikan dapat menerapkan prinsip pendidikan yang sesuai dan patut dengan orientasi dunia pendidikan.

Sengaja memindahkan prinsip-prinsip bisnis ke dunia pendidikan dapat berakibat merugikan atau kegagalan dalam mencapai cita-cita dunia pendidikan yang berkualitas. Tidak ada artinya lembaga pendidikan yang memiliki kuantitas banyak, tetapi kualitas adab dari pendidik dan peserta didiknya memprihatinkan. Sikap sinkretis ini hanya akan melahirkan manusia-manusia pragmatis.

Disorientasi

Bisnis yang masuk ke sektor pendidikan membuat orientasi pendidikan salah kaprah (disorientasi pendidikan). Hanya karena tujuan bisnis, para guru/ pendidik rela bersikap amoral. Baik amoral dalam bentuk niat yang keliru maupun perilaku yang merugikan banyak orang (parasit). Padahal sejatinya guru adalah pahlawan. Saya sebut pahlawan karena seorang guru/ pendidik diciptakan untuk memerdekakan sekaligus memajukan bangsa.

”Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Mohammad Natsir, salah satu pahlawan nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr GJ Nieuwenhuis tersebut. Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah ”guru” dan ”pengorbanan”. Awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak ”guru-guru yang suka berkorban”.

Guru yang dimaksud Natsir bukan sekadar guru pengajar dalam kelas formal. Guru adalah para pemimpin, orangtua dan juga pendidik. Guru adalah teladan yang bisa digugu lan ditiru. Alih-alih dicontoh, malah para guru sekarang tidak merasa berdosa membiasakan sikap tak terpuji demi bisnis. Manifestasi bisnis tersebut sangat kompleks. Disorientasilah mungkin kata yang tepat untuk merangkum manifestasi tersebut.

Celakanya, realitas amoral di wajah pendidikan itu yang mengakibatkan disorientasi pendidikan tidak jarang justru dilakukan oleh ”sang pahlawan” itu sendiri (pemimpin, guru, orangtua, kiai, ustaz, pendidik). Betapa kita sering mendengar banyak kalangan pragmatis ikut bermain untuk menangguk untung. Sebut saja sejumlah kasus yang lumrah menjadi rahasia umum dalam pendidikan kita.

Hampir semua sekolah dan otoritas pengelola pendidikan menjadikan lulus 100% dalam ujian sebagai target utama dengan menghalalkan berbagai cara, setor rupiah demi lolos sertifikasi, dana BOS yang dijahili ”pengutil”, namun harus dipertanggungjawabkan dalam nominal penuh serta penerbitan buku dari negara yang tak humanis. Ironisnya, sikap sinkretis-pragmatis itu disela gencarnya pendidikan karakter (character building).

Barangkali motif seseorang berkiprah di dunia pendidikan bukan lagi terdorong bakti untuk mengabdi kepada Tuhan, namun lebih karena mencari keuntungan yang sebesar-besarnya di sektor pendidikan. Pergeseran ini menunjukkan bahwa kemuliaan manusia diukur oleh gebyar prestise dan gengsi ala sinkretis-pragmatis. Sebagai pemangku kepentingan utama institusi pendidikan malah menceburkan diri dalam aktivitas dan permainan ”bisnis pendidikan”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya