SOLOPOS.COM - Masduri, Mahasiswa Jurusan Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Masduri, Mahasiswa Jurusan Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Sejatinya pendidikan hadir sebagai transformasi pengetahuan yang menyediakan karakter dasar kebutuhan manusia untuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab. Begitulah pandangan John Locke tentang pendidikan. Pendidikan dinilai sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang bermoral, berpengetahuan luas dan bertanggung jawab atas diri sendiri dan semua tugas-tugasnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pendidikan memimpikan kehidupan yang berkeadaban menuju pemanusiaan manusia sehingga tercipta tatanan sosial yang seimbang dan menyejahterakan. Pendidikan hadir sebagai sarana menjawab problem kemanusiaan yang sedang kita hadapi saat ini, bukan sebagai sarana menjawab soal-soal ujian seperti selama ini terjadi dalam proses pembelajaran di sekolah di Indonesia.

Proses pembelajaran di sekolah kita hanya menargetkan pencapaian nilai angka-angka prestisius dalam menjawab soal ujian, baik ulangan tengah semester, ujian semester atau ujian nasional. Siswa dipaksa mampu menjawab semua itu hingga mencapai angka tertinggi. Tidak mengherankan dalam proses menjawab soal pun sering terjadi kecurangan, bahkan dalam ujian nasional kecurangan itu sangat sistematis dan melibatkan banyak pihak.

Ekspedisi Mudik 2024

Semua ini dilakukan sebagai upaya mengejar nilai berupa angka-angka tertinggi. Mereka ingin mendapat pencapaian maksimal dalam evaluasi akhir pendidikan sehingga menerobos nilai-nilai kejujuran yang mestinya sangat dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan. Pendidikan hari ini mengabaikan nilai-nilai moralitas yang menjadi penyangga kemajuan peradaban suatu bangsa. Akibatnya, pendidikan banyak melahirkan ”orang-orang busuk” yang tidak bisa bertanggung jawab atas diri dan tugas yang diberikan kepadanya.

Betapa sangat banyak fakta memilukan yang dilakukan kaum terdidik, tawuran antarpelajar atau mahasiswa sering terjadi, demonstrasi anarkistis mewarnai gerakan mahasiswa, seks bebas menyeruak dalam dunia sekolah dan kampus, korupsi kaum terdidik semakin merebak dan beragam tindakan amoral lainnya yang secara sengaja dilakukan oleh orang-orang yang sudah lama belajar di bangku sekolah atau kuliah.

Mereka bertindak seperti orang yang belum pernah mendapat pendidikan. Itu sekelumit contoh produk pendidikan kita. Pendidikan seperti mesin produksi dengan target-target tinggi: meluluskan banyak peserta didik, tanpa melihat kualitas. Apalagi dalam ujian nasional tingkat kelulusan siswa menjadi indikator kemajuan dan kesuksesan sekolah tersebut. Banyak siswa dan pihak sekolah berusaha mati-matian mencapai target nilai tertinggi.

 

Menghapus Angka

Angka dalam dunia pendidikan kita menjadi sesuatu yang keramat. Ia diburu banyak orang. Siswa, orangtua dan guru menargetkan pencapaian nilai tinggi dalam ujian yang digelar sekolah atau pemerintah. Nilai menjadi keramat karena aturan formal dalam negara kita melihat kemampuan orang dari pencapaian angka-angka dalam pendidikan. Seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhammad Nuh, yang baru-baru ini begitu bangga karena 99,48 persen siswa SMA dan 99,95 siswa SMK dinyatakan lulus, bahkan 12 siswa mendapat nilai tertinggi: 9,73-9,87.

Nilai angka itu dijadikan sebagai indikator kemampuan seseorang. Nilai di negara kita menjadi segala-galanya. Dengan nilai yang tinggi kita bisa mendapatkan apa saja. Belakangan ini muncul aturan baru, calon mahasiswa hanya cukup menunjukkan nilai ujian nasional, tidak seperti dulu menggunakan tes masuk terlebih dahulu. Lebih dari itu, banyak aturan formal lain yang meminta kita menunjukkan nilai-nilai dalam ijazah. Kertas itu pun menjadi harga mati yang menentukan nasih seseorang.

Namun, di satu sisi, kita dihadapkan pada suatu paradoks pendidikan. Nilai dalam ijazah yang selama ini sering diagung-agungkan oleh banyak orang sering tidak bisa menyelamatkan nasib seseorang. Sekarang betapa sangat banyak lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang memiliki nilai-nilai tinggi, namun banyak yang menjadi pengangguran. Mereka menenteng kertas ijazah ke banyak tempat, namun tak satu pun perusahaan yang dapat menerima mereka.

Sekarang terlalu banyak pekerja namun lapangan kerja yang tersedia sangat sedikit. Banyak lulusan lembaga pendidikan formal kebingungan mencari pekerjaan. Selama ini siswa atau peserta didik hanya diajari mengejar nilai yang tinggi. Mereka tidak mendapat pengembangan skill yang mapan sehingga mampu mendayagunakan potensi diri dengan baik.

Nilai selama ini telah menjebak siswa dalam kungkungan angka-angka. Kemampuan diri hanya diukur dari pencapaian nilai, bukan dari kualitas subtantif kemapanan moral dan intelektual yang memang dimiliki. Nilai membuat peserta didik lupa bahwa pada prinsipnya pendidikan hendak membentuk kemapanan moral dan intelektual. Akibatnya peserta didik hanya mengejar nilai berupa angka-angka yang tinggi, bahkan dengan cara curang sekalipun.

Problem ini terus menjadi warisan dari masa ke masa, hingga di kampus pun banyak mahasiswa yang curang saat ujian. Pola pikir kita sulit untuk berubah lantaran sejak dini sudah diajari mengejar nilai berupa angka-angka. Nilai dianggap sebagai harga mati pendidikan. Sementara kemapanan moral dan intelektual sebagai tujuan awal pendidikan banyak diabaikan.

Nilai sejatinya tidak bisa dijadikan sebagai indikator kemampuan seseorang. Apalagi itu dicapai dengan cara-cara curang. Banyak fakta anak-anak yang pintar namun tidak lulus dalam ujian nasional. Sebaliknya, anak-anak yang kemampuan keilmuannya minim namun lulus ujian nasional. Contoh sederhana ini semakin mempertegas bahwa nilai angka dalam ujian itu bukan ukuran kemampuan intelektual seseorang. Angka hanya menciptakan banyak kebohongan dan problem kehidupan yang menghambat tercapainya tujuan awal pendidikan.

Angka dalam dunia pendidikan mestinya dihapus. Seseorang tidak perlu diukur kemampuannya melalui angka. Cukup surat keterangan lulus saja sebagai bukti bawah orang itu telah berproses dalam suatu lembaga pendidikan untuk menempa kemapanan moral dan intelektual. Perkembangan seseorang senantiasa dinamis, mungkin sekarang nilai seseorang tinggi, namun lima atau 10 tahun yang akan datang bisa saja bertambah tinggi pengetahuannya, atau semakin menurun karena sudah banyak pengetahuan yang dilupakannya. Angka dalam ijazah itu tetap tidak bertambah dan berkurang meski pemiliknya mengalami perkembangan atau kemunduran intelektualitas.

Pendidikan harus kita fokuskan pada upaya pemanusian manusia dengan pengembangan skill peserta didik sehingga mereka mampu menjawab semua problem kemanusiaan yang sedang dihadapinya. Pendidikan hadir bukan untuk menjawab soal-soal ujian dengan ukuran angka-angka.

Pendidikan hadir sebagai upaya pemanusiaan manusia dengan tindakan nyata mampu menjawab semua problem kemanusiaan yang sedang dihadapinya sehingga tercipta kehidupan yang berkeabadan dan mencerahkan dengan kehadiran pendidikan sebagai pembentuk kemapanan moral dan intelektual. (masduri_as@yahoo.co.id)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya