SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 

Priyadi     kerupukcair@gmail.com  Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Priyadi
kerupukcair@gmail.com
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Wahmuji dalam esainya yang berjudul EYD dan “Amnesia” Nasional (Basis, 2010) menanggapi pendapat Harimurti Kridalaksana tentang ejaan yang disempurnakan. Harimurti berpendapat tak semua orang mampu memberi ketepatan pandangan tentang bahasa meski bahasa adalah milik masyarakat.

Orang bahasalah yang memiliki hak untuk berpandangan tentang nasib bahasa. Orang dengan latar belakang keilmuan tertentu punya legitimasi untuk merecoki wacana sesuai dengan ilmu yang dipelajari. Ahli bahasalah yang punya kuasa untuk menentukan keputusan-keputusan persoalan bahasa.

Ekspedisi Mudik 2024

Ahli hukumlah yang boleh memberi telaah seluk-beluk hukum. Ahli pendidikanlah yang berhak berkomentar tentang nasib pendidikan. Menurut Wahmuji, hal ini berujung spesialisasi bidang keilmuan. Wahmuji memberi contoh Enstein tak diperbolehkan bicara tentang sosialisme, Chomsky tak boleh bicara ihwal politik, atau Mangunwijaya tak bisa berkomentar jauh tentang tragedi Waduk Kedung Ombo.

Mengikuti pendapat Harimurti menegaskan bahwa persoalan bahasa hanya boleh diurusi dan direcoki oleh para ahli bahasa, sedangkan orang lain yang bukan ahli bahasa tak diperkenankan beropini tentang masalah bahasa.

Pada Sabtu-Minggu, 26-27 Oktober lalu, sebuah komunitas di Solo yang dikenal dengan sebutan Bilik Literasi mengadakan Sidang Umum Bahasa Indonesia. Orang awam berkumpul mengurusi, menelaah,  memperdebatkan, dan menikmati bahasa Indonesia di sebuah rumah di kawasan Colomadu, Karanganyar.

Sidang umum tersebut dihadiri puluhan pemuda-pemudi dan dari berbagai daerah, seperti Kudus, Kediri, bahkan ada beberapa yang berasal dari luar Jawa seperti dari Lampung dan Makassar. Poster acara tersebut telah beredar sejak awal Oktober 2013 dan mengundang orang-orang awam hal ihwal bahasa untuk turut berbagi pendapat dan bersaing penjelasan tentang bahasa Indonesia.

Acara tersebut memang bukan acara seperti yang dilakukan lembaga-lembaga formal yang membikin acara pada bulan bahasa sebagai peringatan Sumpah Pemuda. Acara tersebut memang dilaksanakan oleh komunitas orang awam dan dihadiri oleh orang awam yang bersimpati dengan bahasa Indonesia.

Ruang sidang umum tak berpendingin udara, lesehan tanpa kursi empuk, diselingi jamuan makan sederhana. Dan yang jelas, haram ada istilah coffe break atau contact person, istilah yang sering digunakan pada acara-acara formal yang dilakukan orang Indonesia, bertempat di Indonesia, hadirinnya orang Indonesia, tapi istilah-istilah yang digunakan sumpek dengan bahasa kulon kali.

Hadirin Sidang Umum Bahasa Indonesia saling menyahut dan menyela untuk memberi tanggapan tentang persoalan-persoalan dalam bahasa Indonesia. ”Pertarungan” argumentasi membikin suasana kian basah oleh keringat yang menetes selain disebabkan udara panas oleh sengatan matahari.

Acara sidang umum diawali paparan persoalan yang disampaikan Gawang Kristiana, mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta perihal buku lawas dengan ejaan lawas atau biasa disebut ejaan Soewandi.

Para pemuda masa kini sulit mengakrabi bahasa Indonesia dalam buku-buku lawas karena kesulitan mengeja. Buku-buku lawas terbengkalai, tak disentuh, tak dicium, tak dibelai, dan tak dicumbui.

Banyak buku lawas tak dicetak ulang dengan ejaan baru. Kesulitan membaca ejaan lawas oleh pemuda-pemudi masa kini membuat pengetahuan sejarah mereka  mengabur. Perubahan ejaan Soewandi ke Ejaan yang Disempurnakan (EYD) berdampak kronis bagi hasrat membaca generasi masa kini.

 

Amnesia Nasional

Menurut Benedict Anderson, EYD adalah rencana besar rezim Orde Baru untuk membuat garis tegas pemisahan antara apa yang tertulis pada masa Soekarno dengan masa sesudahnya. Menurut Wahmuji, hal ini menyebarkan virus “amnesia nasional”.

Perubahan ejaan ini berdampak pada buku paket pelajaran sekolah yang digunakan khususnya sejarah. Sejarah “liar” tak diperkenankan muncul, tumbuh, dan mengendap dalam ingatan dan imaji para siswa. Narasi sejarah mesti sesuai dengan versi yang dibuat pemerintah.

Penanaman pengetahuan sejarah selama tiga dekade lebih masa Orde Baru dengan EYD telah memberangus nalar kritis para siswa. Penggunaan bahasa dengan ejaan EYD dalam buku-buku sekolah telah mengubah bidang apa pun, termasuk bidang yang tak politis sama sekali.

Berbagai tema dan masalah dalam bahasa Indonesia bermunculan dari pengalaman orang awam. Persoalan yang disampaikan Uun Nurcahyati dari Kediri menarik karena menyinggung isu yang masih hangat yakni tentang Vicky Prasetyo.

Tuturan kebahasaan Vicky yang banyak dicemooh publik diparodikan oleh banyak orang di laman Youtube turut serta dibahas dengan sengit. Wawancara Syahrini yang banyak memasukkan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, dalam tuturannya tapi tidak tepat, turut serta disinggung.

Sebenarnya yang terjadi pada Vicky atau Syahrini adalah hal yang biasa dan umum terjadi dalam masyarakat kita. Kita terlalu reaksioner membuat tanggapan bahkan cemoohan. Kunjana Rahardi (2009) dalam Bahasa Prevoir Budaya pernah menjelaskan persoalan persentuhan dan pesinggungan antara bahasa dengan yang terjadi dalam masyarakat.

Kita tak tahu apakah bahasa Indonesia memang terlalu inklusif sehingga ia bisa dengan mudah dimasuki oleh lema bahasa asing atau memang pribadi penuturnya yang tak terlalu mengurusi persoalan bahasa Indonesia.

Kita bisa perhatikan bagaimana para elite politik kita ketika diwawancarai banyak bertutur dengan selipan kata bahasa asing dalam ucapan mereka. Kunjana Rahardi menyebut fenomena tersebut sebagai Indoglish (Indonesia-English). Itu tak hanya terjadi dalam bahasa Indonesia saja tapi juga bahasa Jawa.



Ada kerepotan nalar berbahasa dalam tubuh penutur karena tidak menguasainya atau tidak paham dua bahasa yang dituturkan. Esai Remy Sylado dalam Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005) yang berjudul Disumpahi Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, Dua Languages akan menjelaskan kepada kita bagaimana ketakkonsistenan kita dalam berbahasa.

Dalam Sidang Umum Bahasa Indonesia terus bermunculan persoalan-persoalan kebahasaan dan memantik perdebatan hingga hari terakhir. Orang-orang awam yang selama ini memang hampir tak diberi kemungkinan untuk berkomentar dan membenahi bahasa Indonesia yang mereka gunakan berkumpul untuk mengurusi bahasa itu.

Tak perlu ada instruksi, tak perlu ada proposal, tak perlu ada hotel dan tempat pertemuan yang mewah, atau undangan-undangan resmi, tak perlu ada rekomendasi-rekomendasi untuk pemerintah. Orang-orang awam itu berkumpul atas dasar kesadaran untuk mengurusi dan menikmati bahasa Indonesia.

Di balik kebingungan memformulasikan kebudayaan nasional yang kadang kala diungkit oleh budayawan Radar Panca Dahana di media nasional, menurut Remy Sylado satu-satunya hal yang bisa kita pergunakan untuk mempersatukan dengan erat suku-bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia! Bukan batik. Bukan tari saman. Bukan reog. Melainkan, bahasa Indonesia. Sekali lagi bahasa Indonesia!

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya