SOLOPOS.COM - Mutimmatun Nadhifah mutimmah_annadhifah@yahoo.com Mahasiswa Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Surakarta Bergiat di Bilik Literasi Solo

Mutimmatun Nadhifah mutimmah_annadhifah@yahoo.com Mahasiswa Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Surakarta Bergiat di Bilik Literasi Solo

Mutimmatun Nadhifah
mutimmah_annadhifah@yahoo.com
Mahasiswa Tafsir Hadis
Institut Agama Islam Negeri
Surakarta
Bergiat di Bilik Literasi Solo

Tampaknya perguruan tinggi sekarang kurang bisa membuktikan diri sebagai tempat penempaan manusia agar memiliki integritas keilmuan yang mumpuni. Sekarang perguruan tinggi lebih banyak dihiasi mode untuk menarik perhatian publik. Lebih mengejar kuantitas daripada kualitas.
Dalam Majalah Ragi Buana edisi Djanuari 1971,  Prof. Dr. Ir. Bachtiar Rifai, saat itu menjabat Direktur Djendral Pendidikan, mengatakan identifikasi problema2 pendidikan tinggi terutama berkisar kenjataan2 kehidupan perguruan tinggi di masa lalu, dimana tampak adanja tekanan pada kwantitas jang kurang memperhatikan faktor2 objektip bagi berdirinja sebuah perguruan tinggi; dijadikannja perguruan tinggi sebagai arena pertentangan politik; kurang adanja partisipasi perguruan tinggi dalam usaha2 pembangunan.
Kontroversi memang menyelimuti dunia kampus. Untuk mengembalikan perguruan tinggi pada fungsinya semula sebagai lembaga ilmiah dan pusat kebudayaan sepertinya kian sulit. Pada Selasa (12/11) lalu di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta ada acara Hari IAIN Surakarta Membaca.
Acara ini, menurut saya, mengundang sedih, iba, serta tawa. Setidaknya sebagaimana diceritakan Musta’in Romli dalam esai berjudul Surat Cinta untuk Petinggi Kampus yang dimuat di Mimbar Mahasiswa Solopos edisi Selasa (19/11).  Dalam tulisannya itu secara implisit Musta’in menampilkan kecemasan.
Menurut dia, acara tersebut akan menjebak mahasiswa hanya pada bentuk pengesahan sebagai mahasiswa. Ringkasnya, seorang mahasiswa akan berpikir bahwa agenda tersebut akan menjadikannya sebagai mahasiswa seutuhnya, tapi selepas mengikuti acara tersebut akan jarang ditemui mahasiswa yang akan mentransformasikan ilmu ke dalam kehidupan nyata.
Setelah keluar dari ruangan maka selesailah acara membaca. ”Keimanan” terhadap buku hanya bersifat sementara. Acara tersebut mengundang tawa kala tema yang diangkat adalah Optimalisasi Potensi Mahasiswa dengan Membaca. Anehnya, membaca masih membutuhkan potensi, bukan kewajiban dan tanggung jawab asasi.
Betapa mengerikan bahwa membaca tidak dianggap sebagai kebutuhan dan ibadah kepada Tuhan. Kemudian, acara tersebut dimeriahkan dengan adanya acara bedah buku. Dalam hal ini saya memahami bahwa setiap orang berhak melahirkan karya. Namun, jika dianalisis lebih dalam, buku yang dihadirkan dalam acara Hari IAIN Surakarta Membaca itu kurang memberikan kontribusi keilmuan ke dalam kampus.
Dari sinopsis buku tersebut dapat kita ketahui bahwa isinya adalah kiat bagaimana agar tidak tegang dalam sebuah forum. Mungkin bagi sebagian mahasiswa (IAIN Surakarta) kejadian ini menjadi sebentuk keberterimaan diri, tapi dampak yang lebih fatal adalah mereka akan terjebak dalam bujuk rayu motivator tanpa ada upaya laku membaca yang asasi, berkelanjutan, dan kritis.
Sepintas apabila memahami selebaran yang diberikan kepada peserta, saya mendapati sebuah kesimpulan menyedihkan bahwa dalam dunia kerja seseorang dengan latar belakang aktif berorganisasi akan lebih terlatih jiwa kepemimpinannya, punya manajemen waktu lebih baik, dan lain sebagainya.
Jika kembali kita renungkan, tulisan tentang organisasi mahasiswa yang dapat membuka peluang kerja yang besar bagi mahasiswa yang mengikutinya hanya akan membuat mahasiswa lebih cinta materi, tak ada keberanian untuk membeli dan membaca buku, dan akhirnya semakin melupakan buku, dan menjauh dari kehendak cita-cita awal dan konsep acara.
Acara tersebut mengemukakan sebuah pemahaman bahwa membaca harus dilembagakan dalam sebuah ”deklarasi” dan ”optimalisasi potensi”, tapi sangat minimalis dalam ”keberimanan” kepada buku. Petinggi kampus dan pegawai perpustakaan ”mengajari” mahasiswa tentang membaca yang harus menunggu acara seminar, tugas membuat makalah, dan menulis skripsi.
Acara seperti ini, menurut saya, menunjukkan petinggi kampus mengesahkan diri telah membawa pencerahan ke dalam kampus, pencerahan untuk para mahasiswa, tetapi tanpa memikirkan bagaimana nasib budaya literer di kampus, dan melupakan realitas buku-buku yang dapat membawa imajinasi pengingat nilai kultural yang jumlah dan jenisnya sangat kurang. Dan semua diamini begitu saja.
Petinggi kampus harus mampu mendorong terciptanya perubahan yang kemudian menjadikan kampus sebagai lembaga pendidikan yang sebenar-benarnya. Seharusnya setiap rencana acara tidak direkomendasikan begitu saja. Harus dilihat bagaimana setiap acara di kampus itu memberikan kontribusi dengan efek pasti pada keutuhan kampus sebagai lembaga keilmuan dan pusat kebudayaan.
Ketika kesulitan mencari figur yang bisa mengajak atau memaksa mahasiswa membaca dan menghasilkan karya maka akan membuat mahasiswa yang terhimpun dalam Forum Mafia Buku (FMB) mencari di luar kampus demi sebuah keinginan suci untuk berbudaya literer.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Gagasan Bertebaran
Orientasi kerja yang didahulukan tanpa memikirkan bagaimana nasib budaya literer di kampus akan berdampak pada hancurnya etos keilmuan kampus. Acara Hari IAIN Surakarta Membaca mungkin akan jadi momentum terindah bagi para petinggi kampus, juga mahasiswa, untuk mengakui kampus yang mengedepankan budaya literer.
Petinggi kampus harus membuat standar pendidikan yang memang dapat membuat mahasiswa menyadari bahwa kampus adalah lembaga keilmuan. Harus ada peraturan yang ketat dan sifatnya memaksa agar budaya literer menjadi yang utama dan yang diutamakan daripada yang lain dalam kampus. Kampus harus berbudaya membangun manusia intelektual.
Pakar komunikasi Idy Subandi Ibrahim mengutip sejarawan Ong Hok Ham yang menyatakan kaum cendekiawanlah yang berperan besar dalam tumbuh dan berkembangnya suatu bangsa. Dengan keterampilan intelektual yang mereka miliki, para cendekiawan dapat merekontekstualisasi gagasan yang bertebaran di dunia pemikiran dengan situasi negara, sehingga menjadi bermanfaat untuk banyak pihak (Andina Dwifatma, 2011).
Gagasan yang bertebaran itulah yang tak bisa dilembagakan dalam sebuah acara ilmiah sehari tapi tidak bisa berlanjut dalam praktik. Urusan berbudaya literer itu tak selesai hanya dalam satu hari. Semoga tanggal 12 November yang menjadi Hari IAIN Surakarta Membaca dapat membangun kesadaran bersama bahwa hari itu tak cukup  hanya dengan menyelenggarakan acara dan mengundang penulis dari luar dan hanya sebagi bentuk formalitas semata. Harus ada wujud karya yang nyata baik dari petinggi kampus, dosen, dan mahasiswa pada hari yang dianggap sakral itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya