SOLOPOS.COM - Setyaningsih langit_abjad@yahoo.com Mahasiswa Bahasa dan Sastra IAIN Surakarta Bergiat di Pengajian Selasa Siang dan Bilik Literasi Solo

 

Setyaningsih langit_abjad@yahoo.com Mahasiswa Bahasa dan Sastra IAIN Surakarta Bergiat di Pengajian Selasa Siang dan Bilik Literasi Solo

Setyaningsih
langit_abjad@yahoo.com
Mahasiswa Bahasa dan Sastra
IAIN Surakarta
Bergiat di Pengajian Selasa Siang
dan Bilik Literasi Solo

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Pada 22-23 Februari 2014, sebagai peringatan tahun ketujuh Komunitas Sasatra Pawon mengurusi sastra, kata, dan buku di Solo dan sekitarnya, bukan kue ulang tahun atau pesta meriah beriring lagu dan tepuk tangan yang diagendakan para pegiatnya.

Selama dua hari, Komunitas Sastra Pawon membuka ruang bersama demi merayakan sastra: Festival Sastra Solo 2014. Serangkaian acara dibuat untuk mengundang orang-orang mengurusi sastra, kata, dan buku.

Orang-orang berdatangan dari pelbagai tempat: Solo, Jakarta, Purbalingga, Bandung, Yogyakarta, Salatiga, Madura, Magelang, dan lain-lain. Hari pertama, Pawon mengagendakan empat acara.

Bincang buku Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo di Balai Soedjatmoko Solo bersama Andreas Susanto (dosen sejarah UNS) dan Muhidin M. Dahlan (penulis dan peneliti I:boekoe) menjadi acara pembuka.

Novel Student Hidjo merupakan sebuah novel berlatar Solo awal abad ke-20. Imajinasi Solo di masa lampau membawa pembacaan atas pelesiran, keluarga, priayi, transportasi, hotel, perjodohan, dan hiburan.

Marco menghadirkan sosok Hidjo sebagai kaum terpelajar di masa lampau yang melanjutkan studi di negeri Belanda. Ada pertarungan dalam diri Hidjo untuk menunjukkan bahwa pribumi bukan orang rendahan.

Ada keterkejutan dari orang-orang yang datang di Balai Soedjatmoko, tempat acara diskusi itu diselenggarakan. Nama Mas Marco Kartodikromo dan Student Hidjo kelihatan masih terasa asing.

Obrolan pun memantik tanya atas pertimbangan yang dipilih oleh Pawon yang memilih Student Hidjo sebagai buku yang diobrolkan. Bandung Mawardi sebagai salah satu koordinator festival berkisah dan mengundang ingatan-ingatan kembali bahwa banyak karya sastra (novel) yang lahir berlatar Solo.

Novel-novel berlatar Solo itu antara lain Student Sulaiman, Widyawati (Arti Purbani), Kirti Njunjung Drajat (R. Tg. Jasawidagda), Dari Peristiwa ke Peristiwa (Matu Mona), dan beberapa karya lain yang ternyata semakin menambah keterkejutan peserta diskusi.

Ada waktu mengingat masa lampau bahwa Solo bukan hanya dikenal sebagai kota pusaka dan kota pujangga. Kota Solo juga banjir pustaka. Pada siang harinya, agenda berpindah ke Kepatihan Artspace, Kelurahan Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, Solo.

Obrolan berlanjut dengan tema Melacak Iklan-Iklan Sastra Solo Tempo Dulu bersama Bandung Mawardi. Melacak iklan membangkitkan pencarian iklan-iklan bersastra di masa lampau.

Iklan bukan hanya menawarkan produk demi kepentingan publik membeli. Iklan juga memuat pesan edukatif, sastra, dan artistik. Hari ini kita melihat kecenderungan bahwa sastra berhadiah dan berfilm dipilih demi kepentingan promosi.

Ada perlombaan membeli buku karena berlabel ”segera difilmkan”. Atau, membeli novel demi berhadiah tiket menonton film, rumah, atau umrah. Saat senja tiba, agenda berpindah ke Wisma Seni dan Teater Arena Taman Budaya Surakarta.

Hujan mengguyur, tapi agenda Buku Bicara tidak lebur. Di Wisma Seni, ada lima buku diulas. Lima buku itu adalah Jaka Wulung (Hermawan Aksan), Upacara Bakar Rambut (Dian Hartati), Jurai (Guntur Alam), Dada yang Terbelah (Ratna Ayu Budiarti), dan Rembulan Merah (Abednego Afriadi).

Lima pengulas dihadirkan untuk merayakan buku. Jepretan kamera mengabadikan diskusi. Buku menjadi doa agar ide tidak buntu dan membeku dalam foto saja. Solo dalam Puisi menjadi agenda keempat demi keinginan mengingat Solo dalam aksara.

Lewat buku Solo dalam Puisi, 85 penyair dan 101 puisi berusaha membedah, memaknai, dan mengabadikan Solo. Mereka meramaikan buku antologi ini: puisi memotret kota Solo.

Bengawan Solo, Gladak, Sriwedari, Pasar Klewer, Stasiun Balapan, Sarekat Islam, Jl. Slamet Riyadi, Stasiun Purwosari, Balai Kota Solo, Kecamatan Laweyan, atau nasi liwet menjadi tema penulisan.

Solo menjadi ingatan tidak hanya dalam foto tapi juga puisi. Buku ini  memunculkan para sastrawan yang memiliki pertautan dengan Solo. Salah satunya Sutan Takdir Alisjahbana. Sebuah puisinya berjudul Pohon Beringin, yang diambil dari buku Tebaran Mega (1935), menjadi pewarna yang menggairahkan pembacaan Solo.

Imajinasi yang disampaikan: Tinggi melangit puncakmu bermegah / Melengkung memayung daunmu bodi / Berebut akar mencencah tanah / Masuk membenam ke dalam bumi…

Pemerintah Malu

Pada Minggu, hari kedua Festival Sastra Solo 2014, ada diskusi tentang Alice Munro bersama Beni Setia dan Dewi Kharisma Michellia (pemenang lomba penulisan novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta atau DKJ) di Balai Soedjatmoko.

Alice Munro tidak menulis novel. Namun, dengan cerita pendek (cerpen) Munro bisa menjadi peraih Nobel Sastra 2013. Membicarakan Alice Monroe tidak bisa dilepaskan dari kehidupan pribadinya.



Mengobrol sastra dengan Raudal Tanjung Banua menjadi agenda kedua. Perjalanan dan proses lahirnya karya-karya Raudal menjadi obrolan di siang hari. Kerja menjadi penulis membutuhkan tekad dan kesabaran.

Para Mudha Remen Cerkak lan Geguritan bersama Agus Budhi Wahyudi (dosen di Universitas Muhammadiyan Surakarta dan penulis) dan Impian Novitasari (penulis crita cekak atau bisa disingkat cerkak) di Rempah Rumah Karya, Colomadu, Karanganyar menjadi agenda berikutnya sebelum penutupan fetsival.

Bicara crita cekak dan geguritan menjadi ajakan untuk tidak melupakan bahasa dan budaya Jawa. Edisi mengingat Jawa ini juga dibuktikan dengan kehadiran buku Timur Gumregah yang berisi kumpulan 38 geguritan dan 17 cerkak. Orang-orang pun bergantian membacakan geguritan.

Tempat yang berpindah memang diagendakan oleh Komunitas Sastra Pawon untuk mengenalkan Solo kepada para peserta yang datang dari berbagai daerah dan kota.

Meskipun agenda bersastra tidak kembali ke rumah, tempat-tempat di Solo diniatkan membuka kembali ingatan-ingatan dan keinginan bersastra. Agenda dua hari ditutup dengan tumpeng beriring doa-doa.

Ada sebuah momentum singkat untuk mengingat Joko Sumantri, salah satu pendiri Komunitas Sastra Pawon, yang meninggal sebulan yang lalu. Joko Sumantri bergerak dan mengajak orang-orang bersastra tanpa harus meributkan biaya, kesibukan, alasan, atau keminderan.

Sastra dan buku bukan hanya milik para penulis, seniman, sejarawan, penerbit, atau pemilik toko buku. Sastra dan buku juga bukan hanya milik kampus atau perpustakaan. Solo juga bukan hanya milik pemerintah kota atau pengusaha.

Tahun ketujuh eksistensi Komunitas Sastra Pawon menjadi momentum merayakan waktu dengan hadiah buku, membeli buku, peluncuran buku, gairah membaca Solo, berpuisi, dan bersastra.

Andaikan pemerintah dan pemangku kepentingan di Solo mengetahui acara-acara tersebut, mungkin mereka merasa malu, sebab sering menghamburkan uang untuk pentas-pentas kolosal yang diadakan untuk mencitrakan Solo sebagai kota budaya.

Padahal, sastra ikut andil dalam menceritakan Solo meskipun tidak pernah dilirik oleh pemerintah sebagai bagian penting dari sejarah dan perkembangan Solo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya