SOLOPOS.COM - Andhika Rakhmanda, Mahasiswa Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. (FOTO/Istimewa)

Andhika Rakhmanda, Mahasiswa Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. (FOTO/Istimewa)

Bicara tentang perikanan Indonesia, kita akan dihadapkan dengan berbagai macam potensi. Lautnya luas, garis pantai panjang, sumber daya alam hayati melimpah dan secara kultural masyarakat kita berasal dari nenek moyang pelaut. Namun, sebenarnya bukan hanya potensi, kita juga dihadapkan pada realitas yang ironis.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sumber daya perikanan yang potensial sebagai alternatif pangan dan mampu menggenjot  penerimaan ekonomi yang tinggi ternyata tidak tecermin dalam kesejahteraan para pelaku perikanan. Nelayan  Indonesia masih tergolong kelompok masyarakat miskin dengan pendapatan per kapita per bulan sekitar US$7-US$10 (Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Februari, Katalog BPS: 3101015, Badan Pusat Statistik Indonesia, 2012).

Indikator ekonomi keragaan perikanan juga belum menunjukkan angka yang menggembirakan. Kontribusi sektor  perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) masih berkisar dua persen, sedangkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan perikanan hanya memberikan kontribusi minim terhadap penerimaan negara. Degradasi lingkungan yang terjadi juga memprihatinkan. Kondisi yang diametrikal ini jika dibiarkan akan  memperburuk kinerja sektor perikanan. Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan dengan jernih mengenai kebijakan perikanan selama ini.

Kebijakan perikanan pemerintah sejak 1960-an cenderung lebih diarahkan pada penyeragaman sistem. Sebagai contoh, revolusi biru yang diterapkan pada pertambakan udang di Indonesia, mengikuti pola revolusi hijau di sektor padi. Hanya satu jenis udang saja yang ditebar di dalam tambak disertai input tinggi berupa pestisida, antibiotik dan pakan buatan. Pada pertengahan 1990-an tambak udang menghadapi epidemi virus udang yang berlangsung empat tahun dan menyebabkan kematian udang hampir 100% terutama di Jawa, Sulawesi dan Sumatra.

Penggunaan antibiotik tetracycline secara berlebihan mendorong perkembangan galur bakteri vibrio yang resisten (lihat Jhamtani, Hira (ed), 2003, Revolusi Biru: Menebar Udang Menuai Bencana, Jakarta, Konphalindo). Ada dua hal penting berkaitan dengan intensifikasi dan monokultur budi daya ini. Pertama, penggunaan pestisida kimia secara terus-menerus dalam jangka panjang telah menimbulkan resistensi dan resurjensi hama. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sektor perikanan membuat sistem perikanan rentan.

Pada sektor perikanan tangkap, baru-baru ini Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip, mencanangkan modernisasi nelayan sebagai salah satu programnya. Ada rencana pengadaan 1.000 kapal untuk nelayan hingga 2014. Kenyataannya, banyak masalah yang muncul. Nelayan tidak bisa beroperasi karena ketidaksiapan modal sehingga niat baik pemerintah untuk meningkatkan kemampuan nelayan menangkap ikan belum terwujud.

Struktur armada penangkapan ikan kita memang masih didominasi armada tradisional. Untuk memajukan perikanan harus ada modernisasi armada. Logika ini tidak salah. Yang jadi persoalan adalah kuatnya cara berpikir bahwa modernisasi armada hanyalah perubahan teknologi dan bukan perubahan moda produksi baru. Perbedaan kultur di tiap daerah dipukul rata oleh kebijakan yang seragam. Akibatnya muncul ketegangan-ketegangan sosial di masyarakat pesisir diikuti dengan gejala-gejala lain berkaitan dengan krisis budaya.

Pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan dan perlindungan sistem perikanan lokal. Kalaupun ada upaya kajian, biasanya tidak tersedia dana dan dukungan politik yang memadai untuk menerapkan hasil kajian. Seluruh perangkat kebijakan dan insentif ekonomi di bidang perikanan diarahkan pada perikanan intensif dan monokultur.

Memilih Paradigma

Uraian di atas menunjukkan stagnansi perikanan Indonesia ini bukan persoalan kelangkaan sumber daya atau teknologi, melainkan sebuah pilihan politik baik di tingkat lokal maupun nasional. Pemerintah bisa mengambil keputusan politik untuk memastikan semua warga tidak lapar dengan mengubah paradigma ekonomi, budaya dan kebijakan nasional yang memihak kepada produsen pangan. Paradigma monokultur perlu diubah menjadi paradigma keberagaman dan pengembangan agroekosistem berdasarkan keunggulan lokal.

Salah urus pembangunan perikanan dapat diluruskan melalui tiga kebijakan berikut ini. Pertama, kebijakan perikanan harus menjadi bagian dari pembangunan pedesaan yang ramah petani dan nelayan, ramah lingkungan dan adil dengan sasaran agar penduduk desa tidak harus keluar desa atau keluar kabupaten untuk mendapatkan pendidikan hingga SMA, atau untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan informasi pasar. Pembangunan infrastruktur (telepon, Internet, listrik, jalan, teknologi pengolahan yang tepat guna) yang terkait perlu diintensifkan di pedesaan. Swasembada desa harus dijadikan tujuan utama.

Kedua, kebijakan perikanan tidak boleh bersifat seragam melainkan harus didasarkan pada keunggulan komparatif lokal. Target yang dibuat di tingkat nasional tidak harus dibebankan kepada tingkat lokal, terutama bila target tersebut dicapai melalui teknologi yang merusak sumber daya alam dan sistem lokal.

Ketiga, kebijakan perikanan harus dirumuskan melalui konsultasi partisipatif dengan akar rumput. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan di mana para pelaku perikanan dianggap sebagai produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi dan kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan.

Pemerintah sering memberikan insentif ekonomi berupa keringanan pajak, subsidi atau dukungan politik bagi perusahaan dan investasi di bidang industri. Hal yang sama perlu dilakukan bagi pelaku perikanan, yang jasanya justru lebih besar yaitu memberi pangan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Perlu diingat bahwa pihak yang menguasai pangan akan menguasai dunia. Kemandirian dan kedaulatan atas pangan akan membebaskan suatu negara dari ketergantungan pada negara lain dan perusahaan multinasional. Kedaulatan atas pangan merupakan kedaulatan politik sebuah negara dan bagi negara yang kaya akan sumber daya seperti Indonesia, tidak ada warga negara yang lapar adalah sebuah pilihan politik!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya