SOLOPOS.COM - Adhitya Yoga Pratama adhityayoga.pratama@gmail.com Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Adhitya Yoga Pratama  adhityayoga.pratama@gmail.com  Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Adhitya Yoga Pratama
adhityayoga.pratama@gmail.com
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Rubrik Mimbar Mahasiswa Solopos edisi 1 Oktober 2013 memuat artikel berjudul Tak Ada PKI di Perpustakaan karya Mutimmadun Nadhifah. Artikel tersebut merupakan bentuk keresahan penulisnya dalam melihat sejarah Indonesia yang dibengkokkan oleh penguasa negeri (pemerintah Orde Baru) yang dampaknya sampai sekarang.

Fenomena sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) ini yang harus ditelusuri ke akar sejarahnya secara mendalam tanpa meninggalkan realitas sekarang: ruang demokrasi terbuka lebar. Menurut saya, substansi artikel tersebut menjelaskan berbagai kegalauan penulisnyadalam membaca kondisi hari ini tentang sejarah Indonesia yang ”kurang benar”.

Saya menggarisbawahi kegalauan penulisnya itu terkait dengan rak-rak buku di perpustakaan yang mewarisi budaya rezim Orde Baru serta tugas dan peran pengajar (dosen atau guru) yang kurang berani menyampaikan pengetahuan sejarah yang sesuai dengan kebenarannya. Itu semua akhirnya berujung pada mahasiswa atau generasi muda sekarang yang kurang berminat memahami dan mempelajari sejarah. Ini berdampak pula pada munculnya generasi yang buta akan sejarah bangsanya sendiri.

Bagi seorang mahasiswa kampus adalah ladang ideologi. Menyimpulkan suatu kondisi hari ini dengan cepat dan pragmatis tanpa mencoba untuk menganalisis dan meneliti kondisi lingkungan, apalagi berbicara mengenai sejarah bangsa, adalah bentuk kedangkalan berpikir. Identitas sebagai mahasiswa yang kelak akan dipertanggungjawabkan di lingkungan masyarakat menjadi kurang bermakna dan berlalu begitu saja.

Kalau kita berpikir lebih luas dan menatap jauh ke depan dengan baik, rasa-rasanya kedangkalan berpikir itu tidak mungkin terjadi kembali. Apa yang tidak mungkin untuk didapatkan pada hari ini? Globalisasi yang semakin dominan membuahkan kemudahan dan kesulitan dalam menginfiltrasi itu seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Saat ini, untuk membaca sejarah masa lalu, berbagai literatur tersedia. Tetapi, kita tidak harus menelan mentah-mentah lieteratur-literatur tersebut. Kita harus selektif, harus dengan metode memilah dan memilih, terlebih jika berbicara sejarah sebagai pembuktian. Kebenaran sejarah menjadi fokus.

Sejarah PKI memang perlu kita telisik kebenaran sejarahnya lebih jauh. Apalagi setelah tragedi 1965 kondisi sosial dan politik di Indonesia begitu mengerikan. Pembantaian massal terhadap mereka dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI adalah salah satunya. Propaganda dan teror yang dilakukan rezim Orde Baru berhasil memengaruhi pola pikir rakyat Indonesia, bahwa yang bersalah dalam tragedi 1965 hanya PKI.

Propogana pemahaman demikian menyebar ke berbagai sektor kehidupan masyarakat. Salah satunya sektor pendidikan. Siswa dan mahasiswa tidak boleh buku-buku tentang PKI. Siswa dan mahasiswa yang diperbolehkan membaca buku-buku terkait PKI versi pemerintah yang berkuasa. Era itu, buku-buku terkait PKI selain versi pemerintah tak boleh ada di perpuspataan.

Tetapi, zaman sudah berganti. Rezim Orde Baru telah runtuh. Pembukaan ruang publik yang berasaskan demokrasi partisipatoris terbuka kian lebar. Kini, tak ada rasa khawatir dan takut saat membaca, menelaah, dan mendiskusikan  sejarah PKI yang sebenarnya guna mencari dan menemukan bukti sejarah yang otentik.

Dulu, buku-buku yang tentang PKI dibakar, baik itu yang bersifat fiksi maupun nonfiksi. Kejadian ini tergambar jelas dalam kesaksian Pramoedya Ananta Toer, salah satu novelis terkenal Indonesia yang beberapa karyanya dibakar. Novel karyanya yang dikenal sebagai Tetralogi Pula Buru, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca pernah dilarang dan bahkan dibakar.

Tapi, hari ini di ruang demokrasi yang kian lebar menyuburkan penerbitan buku tentang PKI. Siswa dan mahasiswa tentu berhak membacanya agar tak lagi terkungkung pemahaman satu versi. Kini, banyak buku tentang PKI, orang-orang PKI, dan komunisme.

Buku-buku itu, misalnya  Penghancuran PKI karya Olle Tornquist, Madiun 1948; PKI Bergerak karya Harry A. Poeze, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie, Badai Revolusi karya Arbi Sanit, Kemunculan Komunisme di Indonesia karya Ruth Mc Ivey, Dalih Pembunuhan Massal karya John D. Rossa dan masih banyak lagi.

Buku-buku itu tak hanya tersedia di ruang khusus di perpustakaan, melainkan juga terdapat di perpustakaan-perpustakaan bebas yang tidak tersekat oleh batasan-batasan formalitas. Buku-buku itu juga dijual bebas di toko-toko buku

Kesadaran Sejarah

Persoalan literatur sejarah seharusnya tidak menjadi masalah yang begitu pelik. Saya duga Mutimatun Nadhifah belum mengetahui dan membaca buku-buku sejarah PKI yang begitu banyak. Hasilnya terlihat dari pembacaannya dangkal dan tak berdasar. Sungguh menggelikan memang jika menyimpulkan suatu kondisi yang terkait dengan sejarah secara terlalu cepat dan pragmatis seperti itu.

Mahasiswa hari ini wajib menguatkan budaya dan laku intelektual: membaca, berdiskusi, dan mengoreksi penyelewengan sejarah itu. Dengan laku ini timbul kesadaran diri mahasiswa dalam membaca kondisi hari ini yang berkaitan tentang sejarah.

Saya pikir kajian-kajian tentang PKI dan sejarahnya oleh mahasiswa juga tidak surut. Kampus-kampus sekarang memfasilitasi kajian hal-hal tersebut. Di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pernah ada bedah film berjudul The Act of Killing atau karya Joshua Openheimer. Film ini berkisah tentang seseorang yang membunuh anggota PKI atau orang-orang yang dianggap anggota PKI.

Diskusi tentang film ini adalah proses membangun dan membangkitkan kesadaran sejarah dan upaya meluruskan sejarah dalam wacana keilmuan dan pengetahuan. Mempermasalahkan tidak adanya buku-buku tentang PKI di perpustakaan justru mengerdilkan daya intelektual mahasiswa.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya