SOLOPOS.COM - Nur Faidatun Naimah faidatunnaimah@gmail.com Mahasiswi Bahasa Inggris Fakultas Tarbiah IAIN Walisongo Semarang Ketua Umum HMI Komisariat Tarbiah

 

Nur Faidatun Naimah  faidatunnaimah@gmail.com     Mahasiswi Bahasa Inggris  Fakultas Tarbiah  IAIN Walisongo Semarang  Ketua Umum HMI  Komisariat Tarbiah

Nur Faidatun Naimah
faidatunnaimah@gmail.com
Mahasiswi Bahasa Inggris
Fakultas Tarbiah
IAIN Walisongo Semarang
Ketua Umum HMI
Komisariat Tarbiah

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dulu, mahasiswa yang ingin mendapatkan referensi untuk mengerjakan tugas kuliah atau mempelajari banyak hal guna memperkaya khazanah intelektual harus meluangkan waktu untuk mencari di rak-rak buku di perpustakan.

Sering kali mereka juga harus bersusah payah menulis dengan tangan ketika ada hal-hal yang tergolong sangat penting dan diperlukan, sementara jumlah buku yang bisa dipinjam sangat terbatas. Cara-cara manual tentu saja menjadi tak terhindarkan.

Kini, keadaan berubah drastis seiring dengan revolusi di bidang teknologi informasi (information technology atau IT). Kehadiran Internet disusul dengan ditemukannya mesin pencari google.com telah membuat semua itu menjadi jauh lebih mudah.

Untuk mendapatkan informasi terkini atau berbagai referensi untuk tugas akademis, mahasiswa tidak lagi harus mencari dengan susah payah di perpustakaan. Tinggal duduk di depan komputer, buka google.com, memasukkan key word, lalu dengan mengeklik tombol sekali saja, dalam hitungan detik semua yang memiliki hubungan dengan kata kunci yang ditulis akan muncul.

Tinggal pilih mana yang diinginkan atau dirasa memiliki relevansi dengan kebutuhan. Mudah sekali. Kemudahan itu membuat para pengguna Internet sangat termanjakan. Tugas yang dulu membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh dan pemikiran atau kontemplasi yang mendalam, kini bisa diselesaikan dengan cara yang terbilang sangat instan.

Namun, itu tidak membuat mahasiswa menjadi semakin cerdas. Sebaliknya, justru membuat pola pikir para mahasiswa menjadi dangkal. Dulu, seorang mahasiswa yang diberi tugas oleh dosen untuk membuat makalah akan pergi ke perpustakan untuk mencari buku dan kemudian membacanya, hingga ia menemukan pemahaman apakah memiliki relevansi dengan tugas tersebut atau tidak.

Walaupun sangat banyak dan tebal buku yang harus dibaca, tapi mahasiswa tetap melakukannya demi melaksanakan tugas dari dosen. Hal yang sama tidak akan terjadi di era Internet sekarang. Kebanyakan mahasiswa saat ini  lebih suka memilih menggunakan jalan pintas.

Bisa dipastikan sebagian besar dari mereka hanya akan membuka google.com atau mesin pencari lain dan kemudian mencari apa saja yang dibutuhkan. Tanpa perlu membaca hingga akhir serta banyak pertimbangan, mereka akan langsung memotong dan menempel materi di Internet itu dan mengganti identitas penulisnya dengan identitas mahasiswa itu.

Dari sinilah praktik plagiarisme menjadi marak. Ironisnya, tidak hanya mahasiswa saja yang melakukannya, tetapi juga tidak sebagian dosen, bahkan yang sudah bergelar profesor. Pernah terjadi seorang calon doktor batal mendapatkan gelar akademis itu lantaran belakangan diketahui ia menggunakan hasil penelitian orang lain. Juga pernah mencuat kasus plagiarisme yang dilakukan dua calon profesor dari Manado.

Sesungguhnya semua itu adalah bukti faktual bahwa sering kali di balik kemudahan yang ditawarkan Internet terdapat efek negatifnya, yakni kecenderungan untuk melakukan plagiarisme di segala kalangan dalam dunia akademis.

Menumpulkan Otak

Plagiarisme hanya mempertumpul otak, dan membuat malas untuk dapat berpikir kreatif. Nicholas Carr dalam buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains? menegaskan tentang bahaya Internet bagi otak karena berpengaruh pada cara berpikir.

Menurut dia, kurangnya wawasan mengenai bahaya Internet telah membuat sebagian orang terjerumus ke hal negatif, yaitu kecenderungan untuk mengarah kepada alam kedangkalan dan budaya instan sehingga menyebabkan kreativitas mati.

Budaya instan itu telah mendorong manusia (mahasiswa) tidak mau menggunakan otak untuk berpikir secara maksimal. Memang tidak ada aturan yang melarang untuk mengandalkan pemenuhan informasi dari Internet. Namun, jika Internet hanya akan semakin memperdangkal pikiran dan kreativitas serta mendorong untuk melakukan plagiarisme, lebih baik meminimalisasi penggunaannya.

Sesungguhnya membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan akademis dan komunitas ilmiah. Membaca adalah pintu gerbang yang akan mengantarkan kepada kemampuan menulis. Tidak akan ada yang bisa ditulis jika tidak ada bahan-bahan yang ditulis.

Dalam konteks ini membaca dan menulis sangat penting artinya bagi orang yang dikarunia mata untuk melihat dan otak untuk berpikir. Dan agar semuanya bekerja optimal, akan lebih baik dan bermanfaat jika kedua anggota tubuh itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan selalu membaca dan kemudian menuliskan apa yang dipahami dari bacaan itu.

Internet sesungguhnya membantu manusia, utamanya mahasiswa dalam melaksanakan tugas-tugas perkuliahan dari dosen. Namun, tidak dapat dimungkiri pula bahwa Internet juga memicu plagiarisme yang menyebabkan kedangkalan berpikir dan mematikan kreativitas.

Budaya membaca dan menulis harus digalakkan. Keduanya akan melatih otak untuk terus berpikir. Semakin berpikir maka akan semakin cerdas dan kreatif, sehingga mampu menambah kepercayaan terhadap kemampuan diri dan akan semakin jauh dari plagiarisme yang merupakan ”dosa” terbesar dalam dunia akademis. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya